Recommended

Kandahar

Titik Nol 165: Negeri Para Petarung (1)

Gunung-gunung Kashmir yang megah (AGUSTINUS WIBOWO) Dari segala kisah-kisah aneh yang saya dengar di sini, tidak ada yang lebih tidak masuk akal daripada cerita tentang orang Kandar, suku petarung di puncak gunung. Kandar adalah sebuah desa kecil terletak di puncak bukit yang terlihat di belakang Noraseri. Jaraknya cuma empat kilometer, naik turun gunung, dan butuh waktu tiga jam untuk mencapainya. Walaupun demikian, bagi sebagian besar orang normal, Kandar sama sekali bukan tempat yang bisa dikunjungi. Ada apa dengan Kandar? Namanya tersohor di seluruh pelosok perbukitan. Tak ada orang Noraseri yang tak kenal desa kecil di atas sana itu. Bahkan di kota pasar Pattika dan Muzaffarabad yang jauh di bawah sana, semua orang pernah mendengar nama desa ini. “Walaupun cuma empat kilometer jauhnya,” kata Rashid, sukarelawan dari Islamabad, “orang Kandar sudah nampak jauh berbeda dari penampilan fisiknya. Mereka selalu berjalan ke mana-mana dengan tongkat kayu. Tongkat ini selalu siap untuk memukul orang. Mereka juga menggantungkan syal di leher.” Saya jadi terbayang pejuang Pashtun di Afghanistan, apalagi nama Kandar mirip dengan Kandahar, kota lahirnya Taliban. “Kalau Afghanistan punya Kandahar, maka Kashmir punya Kandar,” Rashid melanjutkan, “orang-orangnya sama-sama suka perang.” Tanggal 12 Januari 2006, pernah kejadian orang Kandar membajak helikopter yang mengangkut bala [...]

April 10, 2015 // 1 Comment

Selimut Debu 46: Gerakan Bawah Tanah

Mereka bukanlah kaum perempuan Afghanistan yang pasif menerima keadaan dan tradisi. Sejak lama, perjuangan mereka adalah revolusi berbahaya. Nama RAWA (Revolutionary Association of Women in Afghanistan) telah menjadi legenda, atau bahkan momok bagi banyak orang. Organisasi ini didirikan tahun 1977, hanya setahun sebelum invasi Rusia, dan selalu dalam bentuk organisasi bawah tanah, komunitas rahasia di Afghanistan. RAWA tidak punya kantor di Kabul, para anggotanya bahkan tidak mengenal satu sama lain. Untuk bertemu anggota RAWA sungguh tak mudah. Aku harus menghubungi kantor pusat RAWA di Quetta, Pakistan. Setelah korespondensi cukup lama, akhirnya mereka memperkenalkanku pada Panveen via email. Nama Panveen ini pun sangat mungkin bukan nama sebenarnya. Aku dan Panveen membuat janji melalui telepon, dan bertemu di sebuah sudut jalan yang agak jauh dari pusat kota Kabul, ke arah utara. Panveen datang dengan seorang temannya. Keduanya mengenakan hijab, tetapi hidung dan mulut mereka tertutup, hanya sepasang mata yang kelihatan. Panveen kemudian berjalan tergesa-gesa menyusuri gang kecil. Aku mengikutinya. Pada setiap langkah, dia selalu melongok ke kiri dan ke kanan, takut diikuti. Rumah itu adalah rumah pribadi, gelap dan kosong, punya seorang teman mereka. Panveen mengembus napas lega ketika kami berhasil masuk ke dalam bangunan, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dua perempuan, membawa [...]

December 30, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 45: Di Balik Burqa

Pernahkah kau berimajinasi ala film animasi Jepang, menjadi manusia tembus pandang? Ada selimut ajaib yang begitu kaupakai, wusss, tubuhmu jadi tak kasatmata. Kau berubah jadi makhluk yang melayang-layang bersama udara. Kau bebas pergi ke mana saja kau suka. Tak ada yang melihat, apalagi mengenalimu. Tak ada yang peduli padamu. Begitu bebas. Lepas. Selimut ajaib membungkus tubuhmu, mereduksi semua jati diri dan wujudmu menjadi nihil. Selimut ini bukan fantasi. Di Afghanistan, kaum perempuan memakainya. Burqa namanya. Hanya ada lubang-lubang kecil di bagian mata, tempat si perempuan itu bisa mengintip dunia. Semua mengenakan model yang sama, seperti seragam, dengan warna-warna yang itu-itu saja. Itulah impresi utama perempuan Afghan yang dikenal dunia. Burqa membungkus sekujur tubuh, mulai dari kepala, rambut, leher, wajah, dan bahkan mata. Semua bentuknya sama, dengan mode yang itu-itu saja, dengan variasi warna yang juga itu-itu saja. Pemakai burqa menjadi sosok anonim. “Mereka justru merasa nyaman dengan menjadi tak kasatmata,” kata Lam Li. Ini adalah kesimpulan Lam Li setelah tinggal cukup lama di Pakistan dan Afghanistan, khususnya di Peshawar dan Kandahar, dua di antara yang paling konservatif di dua negara. Sebelumnya aku pernah berjumpa Lam Li di Peshawar, Pakistan. Dia menyatakan gagal paham mengapa para perempuan di negeri ini selalu [...]

December 27, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 44: Jantung Negeri Bangsa Pashtun

Perang memang telah mengubah banyak hal tentang Kandahar. Tetapi tidak sedikit pula pernak-pernik kehidupan bangsa Pashtun yang tidak berubah. Tidak adil kiranya jika kita menganggap Kandahar hanyalah kota yang penuh kengerian dan kekerasan. Kota ini sesungguhnya adalah kota yang menyenangkan, terlepas dari panasnya musim panas nan ganas. Ya, suhu udara naik setiap hari. Saat aku datang 45 derajat, lalu besoknya 46, lalu 47, lalu 48, dan hari ini 49 derajat Celcius. Kenapa Kandahar sepanas ini? Ada dongeng tentang Baba Farid, seorang pertapa Sufi yang menghukum Kandahar karena penduduknya yang tidak ramah. Dia menyamar sebagai pengemis, meminta makanan di pinggir pasar. Tapi tidak seorang pun yang sudi mengasihaninya. Dia marah karena kelakuan para penduduk. Dia menangkap ikan dari sungai, mengangkatnya tinggi-tinggi ke langit. Matahari perlahan turun mendekat, memanggang ikan itu sampai matang dan bisa dimakan. Bukan cuma ikan yang dipanggang. Seluruh penduduk Kandahar pun menjadi bangkai gosong. Matahari yang mendekat, inilah alasan kenapa panas musim panas Kandahar begitu ganas. Panas beberapa hari ini semakin tidak tertahankan, karena pasokan listrik begitu buruk setelah Taliban menyerang pembangkit listrik di Helmand. Terlepas dari begitu banyak peringatan keamanan, aku memaksakan diri sendirian berkelana melewati gang-gang sempit di pasar kuno Kandahar. Ada empat bazaar utama: Herat [...]

December 26, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 43: Teror di Dalam Jiwa

Kemenangan dari teror adalah ketika ketakutan itu sudah merasuk-rasuk ke dalam jiwa. Kita bahkan tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang kita takuti. Lam Li adalah seorang jurnalis Malaysia yang sudah dua bulan ini tinggal di Kandahar, menumpang di rumah seorang sahabatnya. Lam Li malah ingin mendapat pekerjaan di Kandahar. Dia sudah mengajukan surat lamaran ke banyak organisasi, seperti PBB, ANSO, UNAMA, dan sebagainya. Bukan cuma untuk mencari kerja sebenarnya, tapi Lam Li penasaran mengetahui ada apa di balik desas-desus penyelewengan dana miliaran dolar yang dilakukan oleh organisasi-organisasi raksasa di Afghanistan itu, yang tampaknya juga tidak memberi kemajuan berarti pada negeri ini. Begitu banyak surat lamaran yang dia kirim, tapi tidak ada balasan positif sama sekali. Dua bulan berlalu di Kandahar, hanya menunggu dan menunggu. Paspornya sampai dipenuhi stiker perpanjangan visa Afghan. Jangan lupa untuk melihat tulisan besar di bagian “Tempat Penerbitan Visa” yang berupa nama salah satu kota terseram di dunia: “KANDAHAR”. Memperpanjang visa di Kandahar juga berarti mengalami prosedur keamanan yang khas kota ini. Kantor Departemen Luar Negeri terletak tidak jauh dari kantor gubernur, dikelilingi tembok padat yang tinggi. Seperti halnya kantor pemerintah dan organisasi kemanusiaan penting lainnya di kota ini, tidak ada tanda-tanda sama sekali di kantor ini. [...]

December 25, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 42: Zona Perang

Di zona perang, ada sebuah kebijaksanaan yang harus kita ingat: tempat yang paling aman justru adalah tempat yang paling tidak aman. Saat berada di Kandahar, ingatlah jangan nongkrong di dekat polisi atau tentara. Pada tanggal 3 Juli 2006, di sepanjang jalan pusat perbelanjaan utama di Kandahar, yaitu di daerah kota baru (Shahr-e-Nao) di barat Perempatan Syahid (Shahidan Chowk), tiga orang pemotor menembaki jalanan secara acak. Ya, memuntahkan tembakan begitu saja ke berbagai arah, seperti anak kecil yang menembakkan pistol airnya sembarangan. Mereka sebenarnya menarget polisi, tapi penembakan liar ini bisa membunuh siapa saja yang sedang apes berada di jalanan. Untunglah, penembakan acak ini tidak membunuh siapa-siapa, dan para pelaku berhasil diringkus saat itu juga. Sesudah aksi penembakan, tidak perlu juga 10 menit, kehidupan di jalan itu sudah kembali normal. Para fotografer di pinggir jalanan Kandahar yang nongkrong sepanjang hari untuk menunggu pelanggan membuat foto identitas dengan kamera kuno mereka yang sudah berabad usianya, kini sudah kembali lagi melanjutkan pekerjaan mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Pepatah Inggris bilang, rasa ingin tahu bisa membunuh kucing. Di Kandahar, rasa ingin tahu bisa membunuhmu begitu saja. Apalagi kalau yang ingin kau ketahui adalah bom. Ini sudah sering terjadi. Bom meledak. Seketika datanglah pasukan mau [...]

December 24, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 41: Ketika Semua Telah Menjadi Normal

Semua tampak normal di Kandahar (AGUSTINUS WIBOWO) “Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.” Kandahar adalah kota terbesar kedua di Afghanistan, telah membayangi imajinasi para musafir sejak ratusan tahun silam. Deskripsi dari kisah-kisah kuno tentang Kandahar berkutat pada gelombang panas yang mematikan, gurun yang kejam, juga tentang keramahtamahan bangsa Pashtun yang tiada bandingannya. Anehnya, deskripsi itu masih tetap valid hingga hari ini, walaupun perang berkepanjangan dan fundamentalisme telah mengubah wajah kota ini. Hidup di Kandahar di tengah puncak dari tren “war on terror” tentu didominasi perhatian pada masalah keamanan. Bom bunuh diri dapat terjadi di mana pun. Juga penembakan di jalanan bisa terjadi secara random, langsung mengirimkan peluru melesat ke sebelah kakimu. Taliban adalah pihak yang selalu dituding berada di belakang semua teror ini, tetapi tidak seorang pun yang tahu pasti siapa dalang sesungguhnya. Politik di Afghanistan sangatlah rumit. Bukan hanya para ekstremis religius yang mengenakan topeng agama pada setiap aksi mereka, Afghanistan juga merupakan medan permainan dan incaran banyak negara yang mencampuri politik dalam negeri mereka. Hidup di Kandahar banyak berubah setelah itu. Sejak akhir 2004, situasi di kota ini memburuk dan hanya memburuk. Banyak penduduk setempat yang bahkan tidak berani pulang ke kampung mereka di [...]

December 23, 2013 // 1 Comment

Cosmopolitan Men (2006): Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan

December 2006 COSMOPOLITAN MEN 2006 ADVENTURE Lintas Tengah Afghanistan: Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan Sebuah jalan membentang sepanjang 1000 km antara Herat dan Kabul. Jalan ini sepi. Jalan ini bisu. Tapi dia menyimpan lebih banyak cerita dari pendongeng terbaik di dunia. Mari kita berjalan dan mendengar ceritanya. Ada sebuah jalan di Afghanistan. Jalan yang sepi, berteman debu, panas dan matahari. Tanpa aspal, berbukit tandus, bergunung tinggi, tanpa peradaban dan tanpa hidup. Kontras dengan kenyataan bahwa jalan ini menyimpan 800 tahun cerita. Cerita tentang Hulagu Khan yang membawa 120 ribu pasukan dalam perang. Yang bertanggung jawab atas pembunuhan peradaban Islam di Irak. Atau legenda tentang si Pincang Timur Lenk, keturunan marga Khan yang mencoba ulangi kejayaan leluhurnya. Herat, Angin Sejarah yang Berlalu Kota Herat di bagian barat Afghanistan dulunya adalah ibukota kerajaan Timur Lenk. Di kota ini kebudayaan Persia berharmoni dengan indahnya dengan kebudayaan Afghan. Arsitektur Masjid Jum’at-nya, kolosal. Benteng lkhtiyaruddin berdiri dengan angkuhnya di atas pasar-pasar tradisional yang sibuk, yang hampir semua orangnya mengenakan surban. Dinasti-dinasti yang dulu berkuasa di sini banyak membangun menara-menara megah atau kompleks bangunan religius seperti masjid dan madrasah. Namun sayang, perang berkepanjangan sejak zaman Inggris hingga era Taliban telah menghancurkan hampir semua kekayaan Herat. Yang [...]

December 20, 2006 // 0 Comments

Kandahar – From the Heartland of the Pashtuns

Pottery making is a traditional industry from Peshawar which still survive till today. “Everything here is expensive. But human life is cheap” Kandahar, the second biggest city of Afghanistan, had been lingering in the legends of the country since centuries ago. The description of old folklores about the heatwaves, about the tough desert, and about the hospitality of the Pashtun tribes are still up to date, but no doubt, the prolonged wars and the spread of fundamentalism has changed the face of the city. Living in Kandahar at this peak of the trend “war on terror” is overwhelmed by the concern of security problems. Suicide bombs can happen anywhere, and random shootings on street may deliver hot bullets just next to your feet. Taliban is the one who is always blamed to be the cause of everything, but nobody does really know who was the real actor behind all of the terrors. The politics in Afghanistan is complicated. Not only religious extrimists (thus those who always lay religion as the excuse of everything), manyu foreign nations also have importance and play in Afghan internal politics. Unexpected things can happen here on daily basis The Kandahar life has changed since, and [...]

July 10, 2006 // 2 Comments