Recommended

Cosmopolitan Men (2006): Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan

December 2006

COSMOPOLITAN MEN 2006

ADVENTURE

0712-cosmopolitan-men-afghanistan1

Lintas Tengah Afghanistan:

Menapaki Sejarah Panjang Negeri Afghan

Sebuah jalan membentang sepanjang 1000 km antara Herat dan Kabul. Jalan ini sepi. Jalan ini bisu. Tapi dia menyimpan lebih banyak cerita dari pendongeng terbaik di dunia. Mari kita berjalan dan mendengar ceritanya.

Ada sebuah jalan di Afghanistan. Jalan yang sepi, berteman debu, panas dan matahari. Tanpa aspal, berbukit tandus, bergunung tinggi, tanpa peradaban dan tanpa hidup. Kontras dengan kenyataan bahwa jalan ini menyimpan 800 tahun cerita. Cerita tentang Hulagu Khan yang membawa 120 ribu pasukan dalam perang. Yang bertanggung jawab atas pembunuhan peradaban Islam di Irak. Atau legenda tentang si Pincang Timur Lenk, keturunan marga Khan yang mencoba ulangi kejayaan leluhurnya.

Herat, Angin Sejarah yang Berlalu

Kota Herat di bagian barat Afghanistan dulunya adalah ibukota kerajaan Timur Lenk. Di kota ini kebudayaan Persia berharmoni dengan indahnya dengan kebudayaan Afghan. Arsitektur Masjid Jum’at-nya, kolosal. Benteng lkhtiyaruddin berdiri dengan angkuhnya di atas pasar-pasar tradisional yang sibuk, yang hampir semua orangnya mengenakan surban. Dinasti-dinasti yang dulu berkuasa di sini banyak membangun menara-menara megah atau kompleks bangunan religius seperti masjid dan madrasah. Namun sayang, perang berkepanjangan sejak zaman Inggris hingga era Taliban telah menghancurkan hampir semua kekayaan Herat. Yang tertinggal hanyalah lima buah menara yang berdiri sendirian, mencakar langit Herat yang panas.

0712-cosmopolitan-men-afghanistan2

Menjelajah Afghanistan dengan Truk

Meninggalkan Herat, petualangan lintas tengah yang sebenarnya dimulai. Tak banyak kendaraan yang bisa menaklukkan medan keras ini, hanya jeep, coach, dan truk.

Saya memilih yang terakhir karena selain harganya murah, perjalanannya yang lambat juga memungkinkan saya mengamati desa-desa di sepanjang jalan. Dan tentu saja, perjuangan untuk “mencegat” truk, negosiasi dengan supirnya, hingga memanjat-manjat bak truk terbuka dan bermandi debu di Afghanistan merupakan pembangkit adrenalin yang tiada duanya.

Jam-e-jam, Adikarya yang Tersembunyi

Tiga hari perjalanan dengan truk (ditambah dua hari menunggu dan merayu abang supir), saya sampai juga di Menara Jam, Jam-e-Jam, 5 km dari desa kecil Jam. Menara Jam hanya sekitar 300 km dari Herat, namun Jalan tak beraspal, mendaki dan menurun bukit terjal, bukanlah makanan yang gampang bagi sebuah truk tua yang selalu rusak tiap tiga jam perjalanan.

Menara Jam adalah sebuah adikarya. Tingginya 65 m, berdiri sejak 800 tahun yang lalu. Menara ini adalah menara kedua tertinggi di dunia, yang arsitekturnya mengilhami Qutb-Minar di India—menara tertinggi di dunia. Bagian luarnya bertahtakan ayat-ayat suci Al Qur’an serta ukiran yang membungkus menara dari dasar hingga ke puncak adalah pemandangan yang menakjubkan. Menara Jam adalah sebuah misteri. Mengapa adikarya yang begitu agung tersembunyi di antara bukit-bukit gundul dan tandus, di tempat yang nyaris sama sekali tak terjamah oleh peradaban manusia, terlupa oleh roda zaman? Tak ada yang tahu pasti jawabnya. Namun yang jelas, letaknya yang terisolasi inilah yang menyelamatkan adikarya ini dari pengrusakan selama perang berkepanjangan di Afghanistan.

0712-cosmopolitan-men-afghanistan3

Chekchcheran, Pusat Afghanistan

“Kami berada di pusat Afghanistan, tapi kenapa kami miskin?” tanya seorang penduduk Chekcheran. Kota ini hanyalah beberapa ruas jalan berdebu dengan kios-kios serta warung kecil di sepanjang jalan. Jangan salah, tempat ini adalah ibukota provinsi Bhor yang terletak tepat di pusat Afghanistan. Tapi ironisnya, provinsi ini adalah yang termiskin di negeri ini. Kekeringan berkepanjangan menyebabkan panen gagal. Penduduk desa terpaksa hidup dengan berdagang opium. Taliban yang datang dari provinsi tetangga, Uruzgan, juga merupakan gangguan keamanan tersendiri.

Dimensi demi dimensi kehidupan telah berlalu di Ghor dan menjadi dongeng bagi pencerita tua untuk anak-anak mereka. Namun waktu seakan tak bergeser di sini. Desa-desa miskin mengais rumput-rumput kering untuk makanan ternak mereka yang kurus-kurus. Tanah tak menghasilkan gandum. Air pun tak mengalir. Ada rasa takut, ada rasa kecewa, ada rasa putus asa. Entah kapan Chekcheran, yang pada masa gemilangnya pernah menjadi pusat peradaban Persia, boleh mengulang lagi masa lalunya. Tapi seperti biasa, harapan di Afghanistan sering berakhir sebagai sekadar harapan belaka. Semoga perdamaian dan kesejahteraan pada akhirnya menjadi kenyataan di negeri yang indah ini.

Band-e-Amir, Permata Afgtiani

Bamiyan, provinsi tetangga Ghor, boleh dikatakan jauh lebih beruntung. Di sini air melimpah ruah, dan lembah-lembah hijau dengan gandum yang berlipat ganda bertebaran di seluruh penjuru. Adalah danau mukjizat Band-e-Amir yang menghidupi daerah ini. Band-e-Amir adalah permata biru yang bersinar ketika Afghanistan memamerkan kotak pandoranya kepada Anda. Airnya biru kelam, sedalam harapan yang tertanam dalam setiap setiap tatapan mata orang-orang Afghan. Airnya jernih dan bersih, laksana kepolosan dan keluguan suku-suku yang berdiam di seluruh penjuru negeri. Tebing-tebing yang kokoh di sekeliling danau bagaikan keteguhan dan keperkasaan bangsa Afghan mengikuti berputarnya roda dunia.

Kabut putih yang senantiasa menyelimutinya, menggambarkan dengan tepat negeri yang selalu diliputi misteri ini. Dan jika Anda percaya dengan mukjizatnya, silakan mencelupkan tubuh Anda ke danau yang dingin menggigit tulang ini. Niscaya segala penyakit Anda akan sembuh, karena sang khalifah Ali bin Abi Thalib dipercaya pernah berdiri di sini dan membawa berbagai mukjizat ke seluruh penjuru  Bamiyan.

0712-cosmopolitan-men-afghanistan4

Kandahar

“Semua di sini mahal, yang murah hanya satu, nyawa manusia,” demikian komentar seorang penduduk Kandahar kepada saya.

Di kota ini, ledakan bom dan penembakan di jalanan sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Respon ketika mendengar berita-berita ini mungkin dapat disetarakan dengan Anda yang mendengar kabar pencurian ayam. Korban tewas sudah bukan hal yang baru. Memang nyawa sangat murah di sini. Kandahar adalah salah satu tempat basis kekuatan ekstremisme Pashtun. Bangsa Pashtun adalah bangsa yang berpegang teguh pada ajaran agama (sesuai penafsiran mereka). Namun jangan salah, bangsa Pashtun adalah bangsa yang ramah, tangguh, dan setia pada kata-kata mereka.

Ghazni juga adalah daerah mayoritas Pashtun. Masa lalu Ghazni sangat gemilang, di mana kota ini pernah jadi salah satu pusat peradaban dunia. Namun kini, selain menara yang tertinggal, hampir tak terlihat lagi sisa-sisa masa lalu itu. Ghazni pun kini dalam cekaman, di mana milisia dan aparat sering bertarung, dan korban pun sering berjatuhan.

Bamiyan, di Bawah Bayang-Bayang sang Buddha

Selembar sejarah pernah mencatat, dua buah patung Buddha berdiri dengan gagah di relung-relung perbukitan Bamiyan, nun jauh di pelosok pedesaan Afghanistan. Namun kini semua tinggal kenangan sejarah. Taliban meledakkan peninggalan peradaban Afghanistan ini lima tahun yang lalu.

Selamat Datang Kabul

Setelah dua minggu perjalanan yang berat melintasi pedalaman Afghanistan, sampailah saya di Kabul, ibukota Afghanistan yang sedang menggeliat. Miliaran dolar telah dikucurkan ke negara ini, dan Kabul perlahan-lahan menampakkan dirinya sebagai ibukota negeri Afghan. Di sini berbagai suku-suku berbaur mengais rezeki. Jurang pemisah antara yang berpunya dan yang tidak nampak semakin dalam. Pusat perbelanjaan mewah boleh dibangun di sini, namun pemukiman kumuh dengan pelaku kriminal yang menyimpan senjata ilegal pun terletak tak berjauhan. Meski demikian, asap semerbak yang mengepul dari kebab yang dibakar serta pedagang-pedagang karpet di tepi sungai yang berteriak-teriak mencari pembeli, mengingatkan bahwa Anda tengah berada di Kabul. Selamat datang di Kabul, ibu kota Afghanistan.

0712-cosmopolitan-men-afghanistan5

AGUSTINUS WIBOWO

Kontributor lepas National Geographic China ini telah mengarungi benua Asia selama 1 tahun 3 bulan non-stop dari China, Tibet, India, Pakistan, Iran dan saat artikel ini diturunkan, berada di Tajikistan. Probably one of Indonesia’s most hardcore globetrekker/traveler today.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*