Recommended

patung

Selimut Debu 32: Legenda Masa Lalu

Ahmad Sabur di Kakrak (AGUSTINUS WIBOWO) Lembah ini bersimbah air mata. Ada sebuah legenda indah namun tragis tentang Bamiyan. Konon, di lembah Bamiyan pernah bertahta raja Jalaluddin. Raja memaksa putrinya menikah dengan seorang pangeran tampan dari Ghazni. Tapi hati sang putri bukanlah pada lelaki itu. Dia tidak rela dipaksa menikah oleh ayahnya. Dalam hatinya tumbuhlah dendam pada sang ayah. Pada saat itu, kabar mengenai keganasan bangsa Mongol sudah tersiar ke negeri-negeri tetangga. Pasukan Jenghis Khan membabi buta menerjang ke negeri-negeri Muslim, menghancurkan semua peradaban, membakar habis kota-kota, memerkosa dan membantai penduduk yang malang. Tidak lama lagi, pasukan Mongol itu akan tiba di negeri Bamiyan. Tebersit dalam benak sang putri, inilah saat  terbaik untuk menghukum ayahnya. Apabila kekuatan seorang wanita tidak sanggup menghukum lelaki jahanam itu, batinnya, bagaimana kalau dengan menggunakan tenaga para lelaki Mongol yang tidak pernah kenal belas kasihan? Hanya dengan kata-kata, sang putri yakin ayahnya akan hancur. Dia membocorkan rahasia benteng kerajaan ayahnya pada pasukan Mongol. Tidak perlu lama, tanpa bertele-tele, pasukan Mongol berhasil menundukkan benteng Jalaluddin berkat informasi rahasia dari sang putri. Jenghiz Khan terkenal sebagai kaisar berhati dingin. Di kebanyakan negeri yang dikalahkannya, semua makhluk dibantai habis. Lolongan ratapan berkumandang dari seluruh penjuru benteng itu. Pria, [...]

December 10, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 31: Perjalanan Hazara

Foto raksasa pahlawan Hazara dalam perang Mujahiddin menghiasi langit Bamiyan. (AGUSTINUS WIBOWO) “Indonesia? Aku tahu Indonesia! Jawa, Bali, Roti!” seru lelaki Hazara di pondok kayu bobrok di pinggir pasar utama Bamiyan ini begitu aku menyebut asal negaraku. Ramazan mengejutkan aku dalam dua hal. Pertama, dia adalah lelaki yang berasal dari pedalaman Afghanistan di tengah pegunungan tinggi yang cukup terpencil. Tidak banyak orang Afghan yang benar-benar tahu apa atau siapa itu Indonesia. Sejumlah orang Afghan yang kutemui malah mengira Indonesia itu adalah kota kecil di dekat London. Atau negara pecahan Uni Soviet. Atau negara mungil lagi miskin di pedalaman Afrika. Kejutan kedua, Ramazan bahkan tahu tentang Roti, sebuah pulau kecil nun jauh di pelosok kepulauan Indonesia, yang tentunya banyak orang Indonesia sendiri pun tidak tahu pasti di mana itu letaknya. Ramazan ternyata bukan cuma tahu tentang Roti. Dia pernah tinggal di sana. Bukan sebagai pengunjung short time sepertiku di Afghanistan sekarang ini, Ramazan tinggal di Roti sampai 14 bulan dari tahun 2001 sampai 2002. Selain Roti, ternyata Ramazan pernah tinggal di Jakarta dan Bali. Ini bukan jalan-jalan piknik suka-suka. Perjalanan Ramazan adalah menembus gunung dan bukit-bukit berdebu, bersembunyi dari terjangan peluru dan kemelut perang, lalu menyelundup dari negeri yang satu ke [...]

December 9, 2013 // 8 Comments

Selimut Debu 27: Hati-hati dengan Vaseline

  Para pekerja tim pembersih ranjau bekerja di bawah terik matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka adalah para pekerja yang setiap harinya bergaul dengan maut. Maut justru begitu dekat di tempat sesejuk dan sedamai ini. Beberapa minggu lalu, kata pembersih ranjau, ada seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan patung Buddha, terpaksa kakinya harus diamputasi karena menginjak ranjau yang terletak di antara patung Buddha Kecil dan patung Buddha Besar. Baru setelah kejadian itu, diketahui bahwa daerah sekitar patung Buddha beranjau. Bukan sekadar beranjau, tapi heavily mined. Ranjaunya super banyak! Dan ini pun hanya diketahui baru-baru ini saja. Segera, tim pembersih ranjau diberangkatkan ke sini dua minggu lalu, dan rencananya mereka akan bertugas di sini selama dua atau tiga bulan. Satu tim lain mengatakan, mereka mungkin akan meninggalkan Bamiyan besok, karena ada daerah lain yang juga beranjau di daerah utara ibukota Kabul, pembersihannya jauh lebih mendesak sehingga upaya pembersihan di Bamiyan harus dihentikan sementara. Manajemen yang kacau ini sangat lazim di negeri yang masih bergoyang seperti Afghanistan. Sedangkan daerah yang di puncak bukit patung Buddha, tempat dulu aku bermain perang-perangan dan mengumpulkan suvenir sisa perang, adalah daerah yang teramat-sangat-super-duper bahaya. Sekarang para pengunjung sudah tidak boleh ke sana. Semua orang cuma boleh mengikuti satu-satunya [...]

December 3, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau

  Yang tersisa dari peradaban kuno Buddhisme itu adalah rongga raksasa dan gua-gua kosong. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis. Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau. Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”. Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor [...]

December 2, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 90: Berzengi

Berzengi dan segala mukjizatnya (AGUSTINUS WIBOWO) Di bagian selatan Ashgabat, sebuah dunia surealis menebar nuansa misterius negeri antah berantah. Gedung-gedung tinggi dari pualam putih berjajar megah, tetapi tak ada manusia yang menghuni. Jalan raya beraspal mulus membentang amat lebar, tetapi tak nampak mobil yang melintas. Monumen-monumen megah berdiri, merayakan kegemilangan negeri, di tengah kelengangan alam yang tiada banding. Taman-taman hijau menghampar, gemericik air mancur mengalun sendiri di tengah sunyi dunia. Inilah Berzengi, tempat keajaiban tingkat dunia muncul satu per satu. Inilah Berzengi, tempat bulu kuduk saya berdiri di sebuah dunia aneh yang kosong dan hampa ini. Berzengi adalah sekelumit wajah Turkmenistan yang pertama kali saya intip ketika datang dari Iran dulu. Dalam bis kota modern yang harga tiketnya mendekati gratis, saya terpesona oleh barisan gedung-gedung tinggi dan baru, dengan cita rasa arsitektur entah dari zaman apa. Kekaguman saya juga mengantarkan senyum kebanggaan di wajah Rita, seorang pegawai perbatasan, yang mengagung-agungkan kehidupan di negeri utopis Turkmenistan. Setelah beberapa hari di Ashgabat, saya kembali ke Berzengi, mengagumi barisan gedung-gedung raksasa nan bisu ini.  Gedung-gedung pualam megah berbaris di tengah sepi (AGUSTINUS WIBOWO)   Berzengi adalah jalan panjang yang membentang ke arah pegunungan Kopet Dag di selatan, yang membatasi negeri ini dengan Iran. [...]

October 17, 2013 // 6 Comments

Garis Batas 84: Ketakutan

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih mencoba untuk mencari jawab akan rasa hormat dan takzim yang demikian tiada bandingan terhadap Sang Turkmenbashi. Apakah euforia abad emas yang begitu memesonakan? Atau mungkin hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau bahkan rasa takut yang sudah tersembunyi di sudut hati dan ikut mengalir bersama aliran darah? Rasa takut terus menghantui saya ketika menyusuri jalanan kota Ashgabat. Bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta, karena jalanan megah dan lebar di kota ini hampir selalu lengang. Bukan karena pencopet atau pencuri, karena kota ini tak pernah ramai. Juga bukan karena patung-patung bisu Turkmenbashi. Saya merasa seperti berada di kota perang. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-mana, tanpa henti, sepanjang hari. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus mengintai. Di tiap sudut jalan setidaknya ada sepasang tentara yang mondar-mandir dengan langkah tegap, menyebarkan aura kegagahan dan keperkasaan. Tetapi aura yang mencapai permukaan kulit saya adalah rasa takut yang mencekam. Saya merasa setiap langkah saya selalu diawasi oleh mata-mata tanpa wujud. Setiap gerak-gerik saya terpantau, bahkan mungkin hembusan nafas saya di negeri ini pun ada yang memindai. Pusat kota Ashgabat memang daerah yang teramat sangat sensitif, yang menjadi alasan ketatnya pengamanan. Ada istana presiden yang berkubah [...]

October 9, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 83: Sang Idola

Sang Idola berputar bersama matahari (AGUSTINUS WIBOWO) Ada satu figur yang cukup untuk menggambarkan seluruh negeri Turkmenistan, terbentang dari pesisir Laut Kaspia hingga gurun pasir hitam Karakum, menangkupi gunung Kopet Dag sampai bantaran sungai Amu Darya. Hanya satu. Sang Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup, Putra besar dari seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang merdeka dan netral, Sang Turkmenbashi… Saparmurat Niyazov. Kota cinta Ashgabat dipenuhi oleh patung-patung dan gambar wajah sang Turkmenbashi. Sebagian besar patung-patung itu berpoles emas, memantulkan cahaya matahari yang membuat kota ini semakin berkilau. Sang Pemimpin dipatungkan dalam berbagai pose dan gaya: duduk, melambaikan tangan kanan, melambaikan kedua tangan, berdiri, menghadap matahari, membaca buku, bertopang dagu, dan sejenisnya. Para pematung Turkmenistan rupanya harus belajar khusus anatomi sang Turkmenbashi untuk dapat memfigurkan pemimpin agung ini dengan secermat-cermatnya. Patung-patung emas Turkmenbashi dikawal oleh para tentara, seolah-olah mereka sedang mengawal harta karun nasional. Para tentara berwajah garang tanpa ampun itu berpatroli di seputar patung-patung. Mungkin takut emasnya dicuri. Atau mungkin takut kehormatan sang Pemimpin dinodai orang-orang tak bertanggung jawab. Mendiang Turkmenbashi pernah bersabda bahwa bukan kehendak beliau untuk membangun patung-patung dan memasang foto-foto dirinya di mana-mana. Semua itu semata-mata karena kecintaan [...]

October 8, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 3: Dushanbe, di Bawah Kemilau Somoni

Patung Somoni di Dushanbe (AGUSTINUS WIBOWO) Dushanbe, dalam bahasa Tajik berarti hari Senin. Dinamai demikian karena dulunya di kota ini, yang seratus tahun lalu masih berupa desa mungil, ada pasar mingguan setiap hari Senin. Untuk menghindari kerancuan, orang Tajik menambahkan kata ruz, artinya hari, di depan kata dushanbe, jadi ruzi dushanbe, untuk menyebut hari Senin. Dushanbe menjadi ibu kota Tajikistan ketika negara bagian ini dibentuk pada tahun 1929, dipisahkan dari Uzbekistan. Kishlak, desa kecil itu, kini berubah menjadi kota yang rapi. Suasana Dushanbe hari ini masih sangat lekat dengan masa lalunya sebagai bagian dari kejayaan Uni Soviet. Jalan utama kota ini hanya satu, Jalan Rudaki, diambil dari nama pujangga Persia yang lahir di Penjikent, sekarang menjadi bagian wilayah Tajikistan. Jalan Rudaki panjang dan teduh. Bagian tengah jalan ini adalah taman tempat orang berjalan-jalan, duduk, dan membaca. Gedung-gedungnya semua berbentuk sama, balok kotak-kotak berwarna jingga. Sebuah keseragaman dan kesamarasaan yang dibawa oleh Uni Soviet, mengharmonikan detak jantung dan denyut nadi orang-orang pegunungan ini dengan para pemimpin merah di Moskwa sana. Jalan-jalan di sini nyaman sekali. Tidak banyak mobil lalu lalang. Orang pun tidak ramai seperti di Kabul sana. Semua berpakaian rapi dan trendy. Dibanding Afghanistan, kehidupan di Tajikistan seperti langit dan [...]

June 5, 2013 // 2 Comments