Recommended

Garis Batas 83: Sang Idola

Sang Idola berputar bersama matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Sang Idola berputar bersama matahari (AGUSTINUS WIBOWO)

Ada satu figur yang cukup untuk menggambarkan seluruh negeri Turkmenistan, terbentang dari pesisir Laut Kaspia hingga gurun pasir hitam Karakum, menangkupi gunung Kopet Dag sampai bantaran sungai Amu Darya. Hanya satu. Sang Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup, Putra besar dari seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang merdeka dan netral, Sang Turkmenbashi… Saparmurat Niyazov.

Kota cinta Ashgabat dipenuhi oleh patung-patung dan gambar wajah sang Turkmenbashi. Sebagian besar patung-patung itu berpoles emas, memantulkan cahaya matahari yang membuat kota ini semakin berkilau. Sang Pemimpin dipatungkan dalam berbagai pose dan gaya: duduk, melambaikan tangan kanan, melambaikan kedua tangan, berdiri, menghadap matahari, membaca buku, bertopang dagu, dan sejenisnya. Para pematung Turkmenistan rupanya harus belajar khusus anatomi sang Turkmenbashi untuk dapat memfigurkan pemimpin agung ini dengan secermat-cermatnya.

Patung-patung emas Turkmenbashi dikawal oleh para tentara, seolah-olah mereka sedang mengawal harta karun nasional. Para tentara berwajah garang tanpa ampun itu berpatroli di seputar patung-patung. Mungkin takut emasnya dicuri. Atau mungkin takut kehormatan sang Pemimpin dinodai orang-orang tak bertanggung jawab.

Mendiang Turkmenbashi pernah bersabda bahwa bukan kehendak beliau untuk membangun patung-patung dan memasang foto-foto dirinya di mana-mana. Semua itu semata-mata karena kecintaan rakyatnya yang sedemikian besar terhadap beliau. Sang Pemimpin tak punya pilihan lain, karena kecintaan ini adalah mentalitas alami bangsa Turkmen.

Wajah Turkmenbashi memang muncul di mana-mana, mulai dari duit logam, uang kertas, televisi, prangko, buku, papan pengumuman, botol vodka, bahkan bertengger di langit-langit kamar hotel bintang lima. Seorang kawan dari Indonesia yang pernah dikirim untuk dinas di Asghabat mengeluhkan bahwa ketika ia membuka mata di pagi hari, hal pertama yang harus ia lihat tanpa bisa ditolak adalah senyum manis Turkmenbashi.

Di mana-mana ada patung emas, tak bisa disangkal. Tapi tak semua bisa terjamah, karena kawalan punggawa-punggawa dan tentara-tentara garang itu. Salah satu patung yang ‘merakyat’ adalah Turkmenbashi yang berdiri di Taman 10 Tahun Kemerdekaan, lebih dikenal orang sebagai Taman Kuda karena ada patung 10 kuda di sana.

Di bawah kemilau patung emas Turkmenbashi di Taman Kuda, sepasang pengantin baru sedang berpose untuk foto pernikahan.

Mempelai pria mengenakan kemeja, dasi, jas hitam, celana panjang, seperti layaknya pegawai kantoran. Mempelai wanitanya berpakaian merah menyala, tebal dan berat. Pakaian itu penuh dengan detail sulam-sulaman. Wajah si mempelai wanita sama sekali tak terlihat. Terbungkus kain super berat yang juga penuh sulaman warna-warni. Saking beratnya kerudung indah yang membungkus rapat-rapat kepalanya, si mempelai wanita sampai harus berjalan terbungkuk-bungkuk.

Pernikahan di bawah patung emas Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Pernikahan di bawah patung emas Turkmenbashi (AGUSTINUS WIBOWO)

Keluarga menari-menari mengiringi kedua mempelai. Semuanya berpakaian warna-warni menyolok, tradisi yang khas dari berbagai suku gurun. Para pemusik tanpa henti menabuh gendang, meniup seruling, memainkan akordian, dan para gadis Turkmen yang menari bergelinjang itu mengajak saya ikut bergabung. Di belakang sana, patung emas Turkmenbashi mengibaskan jubahnya, memalingkan mukanya tinggi-tinggi ke arah langit, seolah sudah bosan dengan hiruk pikuk dan keriangan warganya di bawah kakinya.

Ada yang bisa dipelajari dari pilihan tempat berfoto favorit para pasangan pengantin dari negeri-negeri Asia Tengah. Pengantin Kazakh Turkestan punya kenang-kenangan di tempat suci kuburan ulama sufi Khoja Ahmad Yasaui. Pengantin Uzbek dan Tajik di Samarkand punya memori indah di bawah kedahsyatan gedung-gedung kuno Registan atau kegagahan sang penakluk Amir Temur. Tak kalah dengan negeri-negeri tetangga, para pengantin Turkmen di Ashgabat akan selalu ingat Pemimpin Agung berjubah yang menjadi saksi pernikahan suci. Ada rasa hormat di sini, ketika pernikahan yang demikian meriah dilangsungkan di hadapan patung emas sang idola.

Di antara ratusan patung di Kota Cinta Ashgabat, ada rajanya semua patung yang berukuran luar biasa besar. Itulah patung emas Turkmenbashi, setinggi 12 meter yang berdiri sendirian di atas puncak bangunan tinggi berkaki tiga, Menara Netralitas Turkmenistan (Arch of Turkmenistan Neutrality). Sang Pemimpin  membentangkan tangan memberkati seluruh kota, ikut berputar 360 derajad, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, mengikuti perputaran sang surya, seperti selalu haus bermandi sinar matahari. Bayang-bayang sang Pemimpin ini menangkupi penjuru kota, terlihat dari sudut mana pun, dan membuat orang berdecak kagum akan sebuah mahakarya anak manusia yang diturunkan di bumi Turkmenia.

Mirip Monas, pengunjung pun bisa naik ke atas menara ini dan menyaksikan kedahsyatan pembangunan Ashgabat, dengan lift super canggih yang bergerak penuh semangat modernitas. Bedanya, pemandangan kota Ashgabat yang putih dan steril bisa menggugah semua imajinasi dan argumentasi tentang sebuah tata kota yang steril, absurd, aneh, sekaligus modern, kaya, rapi, sejuk, misterius.

Dari atas terlihat jalan-jalan lebar dan lurus di semua penjuru, barisan gedung-gedung pualam putih dengan cita rasa arsitektur yang tiada duanya, taman-taman hijau dan air mancur menyejukkan kota di pinggiran padang pasir ini.

Di belakang kemegahan itu, masih ada kumpulan rumah-rumah kumuh yang menjadi kontras buruk dari kejayaan abad emas Turkmenistan. Saya membayangkan Sang Turkmenbashi sendiri berdiri di tempat ini, diikuti para pendukung setianya, dan mengeluarkan dekrit-dekrit penuh mukjizat: OK, kita hancurkan rumah-rumah di sini, bangun Disneyland, juga patung-patung emas mesti dibangun di sana…

Demikianlah wajah kota Ashgabat senantiasa berubah, setiap hari, setiap jam, sesuai dengan kehendak hati sang idola yang menjanjikan datangnya abad emas penuh kegemilangan.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Juni 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*