Recommended

polisi

Selimut Debu 74: Everything is Wrong in Afghanistan

Yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ternyata aku sendirian di tengah kerumunan orang-orang pasar ini. Tidak ada yang menolongku berbicara. Si orang Tajikistan yang tadi bersamaku sudah kabur entah ke mana, mungkin mengira aku adalah orang yang penuh masalah. Kemarahanku yang lebih besar adalah, sesungguhnya ada beberapa orang asing di pasar ini. Ada Arnault, ada aku, ada pula si orang Tajikistan, juga kalau tidak salah ada orang India. Tapi mengapa hanya aku satu-satunya yang dikerumuni orang, diperiksa pasporku dengan tidak profesional dan tanpa tujuan? Dan gara-gara pemeriksaan tadi, aku ketinggalan kendaraan menuju Faizabad (Aku tidak mau menginap di Baharak, terima kasih!). Sekarang aku harus mencari lagi kendaraan yang sudah penuh penumpang. Aku sudah tidak tahu semarah apa aku jadinya, ketika tiba-tiba sebuah tangan keras mencengkeram pundakku. Tangan dari seorang lelaki berseragam yang lebih mirip seragam satpam. Aku harus ke kantor, katanya. Tentu aku menolak. Aku hanyalah turis yang menunggu bus, dan sekarang aku menjadi pusat perhatian begitu banyak orang-orang bosan di jalanan, dan menjadi objek permainan para polisi yang sebenarnya tidak mengerti apa itu paspor dan apa tulisan di atas paspor asing. Seorang lelaki berbahasa Urdu berbisik di telingaku. “Menurut sajalah. Tenang, ikuti kata mereka. Koi zabardasti nehi. Tidak [...]

February 6, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 73: Menyelundup

Qadamjoy dan semangat Kirghizia-nya (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia antah berantah ini bertaburan kampung-kampung terpencil yang dikelilingi negara-negara asing. Shakhimardan, tempat yang paling ingin saya kunjungi di Asia Tengah, adalah sebuah lembah tersembunyi milik Uzbekistan yang dikelilingi gunung-gunung tinggi Pamir Alay milik Kyrgyzstan. Tetapi bagaimana caranya ke sana? Saya harus melewati pintu-pintu gerbang perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan, tanpa visa apa pun. Bakhtiyor aka (aka dalam bahasa Uzbek artinya kakak laki-laki), adalah seorang supir taksi dari Vuadil yang kebetulan juga tetangga Sardor. Melihat Sardor yang kelimpungan mencari kendaraan untuk menyelundupkan saya ke Shakhimardan, Bakhtiyor pun menawarkan bantuan. “40 ribu Sum saja,” katanya. Sekitar 35 dolar. Terlalu mahal untuk ukuran kantong kami berdua yang masih standar pelajar. Shakhimardan hanya 25 kilometer jauhnya dari Vuadil, tetapi karena pos-pos perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan itulah yang  bikin mahal. Berkat hubungan tetangga, Sardor berhasil menawar sampai 20 ribu Sum untuk misi rahasia bin berbahaya ini. “Kamu harus berjanji,” kata Bakhtiyor aka, “nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai?” “Davai,” saya mengangguk. Bakhtiyor adalah warga negara Uzbekistan, tetapi mobilnya berplat nomer Kirghiz. Dengan mobil ini, Bakhtiyor bisa melaju melintasi semua pos perbatasan Kyrgyzstan tanpa [...]

September 24, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 63: Diciduk Polisi (2)

Polisi Uzbek berpatroli (AGUSTINUS WIBOWO) Halim yang baru saya kenal di dalam bus, setelah mengajak saya berputar-putar di desa yang sama sekali asing, kini membawa saya ke sebuah apartemen kuno di Ferghana. Saya tak tahu lagi ini ada di mana. Saya hanya memasrahkan nasib saya kepada orang ini, yang kini sedang bercakap-cakap dengan gadis berdaster di sebuah apartemen remang-remang dengan temaram lampu merah jingga. Saya tidak paham apa yang dirundingkan antara Halim dengan perempuan itu. Tak sampai lima menit mereka bercakap-cakap, Halim langsung menyeret saya keluar dari gedung bobrok dan bau itu. “Kita ke tempat lain saja,” katanya. Siapa perempuan itu tadi? “Adik,” jawabnya singkat, seolah ingin menghindari cecaran pertanyaan saya yang dungu ini. Halim memanggil taksi lagi. Saya semakin bingung ada di bagian kota mana ini. Malam yang gelap gulita membuat saya mustahil mengingat jalan dan gedung-gedung yang bisa saya jadikan penanda. “Halim aka…..,” sambut seorang wanita hamil yang muncul dari balik pintu sebuah apartemen kecil di lantai dasar. Aka, bahasa Uzbek, artinya kakak laki-laki. Si wanita itu bicara tanpa henti. Saya tak mengerti apa pun, hanya merasakan nada bicara yang merajuk manja. Semua giginya berlapis emas. Halim mengajak saya untuk masuk ke sebuah ruangan. Kosong, tumpukan kurpacha, matras [...]

September 10, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 62: Diciduk Polisi (1)

Kovurma laghman, mie goreng yang menjadi santapan saya bersama Halimjon di Ferghana (AGUSTINUS WIBOWO) Bukan maksud saya untuk mencicipi rasanya ditangkap polisi Uzbekistan. Tetapi malam itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan sepanjang petualangan saya di negeri ini. Damas, angkot jarak jauh, penuh sesak oleh penumpang yang semua berjaket tebal-tebal. Kendaraan berbentuk seperti roti ini mengangkut saya dari terminal Qo’ilok Bazaar di Tashkent menuju ke Lembah Ferghana. Seperti halnya Tajikistan yang harus bersusah payah membangun jalan berbahaya lewat gunung-gunung untuk menghubungkan Dushanbe dengan Khojand di utara, Uzbekistan juga harus membangun jalan dan terowongan melintasi Puncak Kamchik untuk menghubungkan Tashkent dengan Lembah Ferghana. Ini karena setelah negara-negara Asia Tengah merdeka, jalan dataran rendah yang biasanya dipakai sudah masuk wilayah negara lain. Jalan paling nyaman dari Tashkent menuju ke Lembah Ferghana adalah lewat Khojand Tajikistan, sekarang musuh bebuyutan yang untuk melintas saja harus pakai visa. Sekarang bus tidak boleh lewat jalan ini, karena sulitnya medan. Angkutan umum hanya dibatasi taksi dan mobil kecil macam minivan Damas ini. Biaya transportasi pun melangit. Sekali jalan, orang setidaknya harus merogoh kocek 5500 Sum, sekitar 50 ribu Rupiah. Kalau naik taksi, harganya bisa lipat dua. Salju sudah mulai turun di Puncak Kamchik. Saya pun sudah mulai akrab [...]

September 9, 2013 // 0 Comments

Garis Batas 49: Kontras

Bergulat dengan kemiskinan (AGUSTINUS WIBOWO) Sebuah dunia lain menyambut saya, persis selepas saya melintasi perbatasan Kazakhstan-Uzbekistan. Kazakhstan yang dingin dan berlapis salju seakan menjadi masa lalu. Malam-malam yang dingin di atas bangku terminal, diobrak-abrik polisi stasiun, plus mie instan yang menjadi makanan pokok saya, sudah boleh dilupakan. Zhibek Zholi yang licin dengan nenek-nenek yang ganas, adalah kenangan terakhir dari Kazakhstan. Uzbekistan menghampar. Rumput-rumput hijau kering mengisi kanan kiri jalan. Entah sudah berapa lama saya tidak melihat rumput. Di Kazakhstan, semuanya tertutup salju. Bahkan di Zhibek Zholi yang cuma lima puluh meter di belakang perbatasan, es masih melapisi semua permukaan. Bayangkan, hanya melewati garis batas negara, dunia pun berubah.  Ramai sekali. Mobil-mobil berjajar di pinggir jalan, mencari penumpang menuju Tashkent. Ibu-ibu penukar mata uang Uzbek sama gemuknya dengan di Kazakhstan sana, cuma punya hidung yang lebih mancung dan mata lebih lebar. Yang paling berbeda, senyum dan tawa menghiasi wajah-wajah tua itu. Kalau di Kazakhstan sana orang sering marah-marah kalau difoto, di Uzbekistan sini, ibu-ibu pencari nafkah di sekitar perbatasan malah berpose manja di depan kamera saya tanpa diminta. Habis dipotret, mereka mengingatkan saya, “Cepat, masukkan kameramu, nanti kalau kelihatan polisi kamu kena shtraf, kena denda.” Sungguh berbeda dengan penjual sayuran di [...]

August 21, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 25: Kota Kuno

Khana Ay (AGUSTINUS WIBOWO) Saya merasa begitu dimanjakan di Osh. Setelah melewati susahnya kehidupan di GBAO, berhari-hari menunggu kendaraan melintas di bawah terpaan angin dingin, menahan lapar dan dahaga di tempat di mana makanan begitu berharga, kini saya berada di Osh. Kota ini benar-benar surga bagi orang yang gila makan. Dalam beberapa hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Pagi ke warung laghman milik Fakhriddin. Selepas itu kembali ke guesthouse menghafalkan kosa kata dan grammar bahasa Rusia. Siangnya kembali makan laghman, dua mangkok. Sorenya berselancar di internet, membaca buku, dan menghafalkan kosa kata lagi. Malam laghman lagi, ditambah mantu. Dalam tiga hari saja saya bertambah gembul. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya datang ke Osh. Musim panas 2004 saya sudah pernah ke sini. Osh, waktu itu, adalah kota bekas Uni Soviet pertama yang saya kunjungi. Memori saya yang paling nyata mengenang Osh sebagai barisan gedung-gedung apartememen berarsitektur khas Rusia – bangunan kotak-kotak seragam yang membosankan, berjajar di pinggir jalan beraspal yang naik turun menyusuri bukit. Ketika kota-kota lain begitu menggebu melepaskan atribut Rusia, Osh masih memelihara patung Lenin yang melambai penuh semangat di pinggir jalan utama yang sepi. Ketika Jalan Lenin di kota-kota lain sudah diganti namanya dengan pahlawan-pahlawan nasional Asia [...]

July 18, 2013 // 0 Comments

1 2