Recommended

visa

Titik Nol 30: Nyaman di Nyalam

Dari pegunungan salju Himalaya…. (AGUSTINUS WIBOWO) Jalan raya Friendship Highway yang menghubungkan negeri China dengan Nepal beraspal mulus, walaupun masih ada perbaikan jalan di sana-sini. Ukuran keberhasilan negeri ini adalah pembangunan di mana-mana, merambah semua sudut negeri, meningkatkan kesejahteraan dan memperadabkan penduduknya. Bahkan gunung dan padang di kaki Himalaya pun kini sudah terjamah listrik dan jalan raya. Di padang rumput yang menghampar itu, air sungai bergemericik. Bocah-bocah bertelanjang, berlarian di tepi sungai, menceburkan diri dalam airnya yang segar. Tak ada malu, tak ada sungkan. Mereka hidup dalam surga mereka yang tak terjamah. Sementara kami, di dalam truk Dongfeng yang penuh sesak, dihantui kecemasan menuju Nyalam. Baru saja saya memberitahu Ding bahwa sejatinya saya orang asing. Di Nyalam, ada pos pemeriksaan besar. Orang asing yang tanpa permit akan kena hukuman. Sopir truk yang nekad memberi tumpangan pada orang asing juga akan didenda. “Jangan kuatir,” kata Ding menghibur, “kamu adalah mahasiswa Tsinghua. Langit pasti akan menolongmu.” Langit senja kemerahan, membilas puncak salju Himalaya yang berbaris di hadapan. Salju putih berubah menjadi kuning kemerahan, cantik sekali. Ding sering menghentikan mobilnya hanya untuk memberi kesempatan untuk memotret. “Mobil ini adalah punyamu, tak perlu berterima kasih. Justru saya merasa sangat terhormat mengangkut seorang anak Tsinghua.” [...]

June 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 15: Balik Haluan

Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa. (AGUSTINUS WIBOWO) Peruntungan saya mungkin memang tidak terlalu baik. Sampai pukul lima sore, di bawah bayang-bayang wajah tergores Gunung Kailash matahari masih panas menyengat, saya memutusukan untuk balik haluan. Kembali ke Darchen, lalu Ngari, kemudian dari sana baru cari bus ke Lhasa. Sudah seharian saya menunggu ke Barga, tak ada satu pun kendaraan yang lewat dari arah mana pun. Man Fai, si turis Hong Kong, sudah menampakkan wajah pasrah. Dahinya mengilap, kumis tipisnya tak karuan. Senyumnya sangat aneh. Tanda-tanda backpacker putus asa. Saya pun tak jauh beda sebenarnya. Sekali lagi, debu mengepul di kejauhan. Ini kendaraan ketiga yang datang dari arah Burang di selatan menuju ke Darchen atau Ngari di utara. Sebenarnya bukan tujuan kami, tetapi nampaknya cuma ini pilihan kami satu-satunya. “Saya sudah tidak mau menginap lagi di sini,” kata Man Fai, “saya harus cepat-cepat ke Lhasa. Waktu saya sudah tinggal sedikit. Tidak tahu lagi kalau menunggu di sini kapan akan ada kendaraan menuju ke Lhasa. Hao nan shuo…. Susah dikata…” Sama sepertinya, saya pun tak punya waktu banyak dengan visa China saya yang tinggal hanya dua minggu lagi. Walaupun bus ini bukan yang kami tunggu, tetapi melihat sebuah kendaraan sebesar ini terhenti [...]

May 21, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 8: Polisi

Kota Ngari di ujung barat Tibet dihuni oleh mayoritas penduduk etnis Han dari pedalaman China. (AGUSTINUS WIBOWO) Sungguh tak enak rasanya menjadi pencuri. Saya yang masuk tanpa izin sama sekali ke daerah terlarang ini, sekarang malah duduk satu mobil bersama polisi China. Terminal bus kota Ngari, seperti sebelumnya, sepi. Tempat ini jauh dari mana-mana. Jangankan ke Beijing yang dipisahkan ribuan kilometer di balik puncak gunung salju dan padang gurun luas, dari sini ke Lhasa pun butuh perjalanan berhari-hari melintasi medan yang berat. Pintu keluar Ngari yang paling dekat adalah propinsi Xinjiang di utara, itu pun dua hari perjalanan melewati Parit Kematian. Tetapi terlepas dari keterpencilannya, Ngari justru paling dekat dengan ‘Pusat Dunia’. Sekitar tiga ratus kilometer di selatan Ngari, Gunung Kailash yang dimuliakan umat berbagai agama berdiri dengan gagah. Ke sanalah tujuan saya berikutnya. Harga angkutan di Tibet terbilang mahal. Untuk jarak Ngari sampai Kailash, harga karcisnya 230 Yuan. Kalau orang asing lebih mahal lagi, 300 Yuan. Untunglah saya masih bisa menyamar sebagai orang Tiongkok. Tetapi Seum dan Kim dengan bahasa kemampuan bahasa Mandarin yang pas-pasan, terpaksa membayar lebih. Kami bertiga duduk berimpitan di baris paling belakang. Sejatinya jip ini cuma muat tujuh penumpang, tetapi semua dijejalkan sampai sepuluh. Bagasi [...]

May 12, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 6: Kerajaan yang Hilang

Pagi hari di Ngari, ketika gunung-gunung salju bersinar kemerahan dibilas mentari. (AGUSTINUS WIBOWO) Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir. Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda. Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan. Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga [...]

May 8, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 86: Hari Massoud

Orang mengingatkanku untuk selalu berhati-hati dengan perbatasan Iran dengan Afghanistan, karena pemeriksaan bisa sangat panjang. Ya, Iran selalu khawatir dengan tetangganya yang lucu ini, yang selalu dicurigai sebagai pemasok opium dan pengungsi. Tapi tidak demikian dengan sebaliknya bukan? Aku rasa, karena aku menyeberang dari Iran ke Afghanistan, seharusnya semua berjalan lancar. Benar saja. Semua lancar. Malah terlalu lancar. Aku tidak pernah melihat imigrasi perbatasan yang selonggar imigrasi Afghanistan ini. Aku sudah menyodorkan pasporku tepat di halaman visa, sehingga si petugas Afghan tinggal mengecap. Petugas itu langsung mengecap, tanpa menghabiskan sedetik pun untuk melihat visa itu, melihat halaman depannya, atau bahkan untuk melihat wajahku. Tanpa registrasi, tanpa wawancara, tanpa rewel. Proses imigrasi hanya memakan waktu 3 detik. Ini adalah proses yang paling cepat dan efisien yang kualami. Dan berita gembira lainnya, tidak ada pula pemeriksaan barang di bea cukai. Datang dari Iran, kita semua dianggap sebagai makhluk tak berdosa. Meninggalkan gerbang perbatasan Islam Qala, aku seperti masuk ke mesin waktu lagi, meloncati dimensi waktu dan mundur ke masa lalu, dari modernitas kembali ke realita negeri berselimut debu. Debu, dalam artian harfiah, lekat dengan kehidupan penduduk Herat. Di bagian timur kota ini, hingga ke perbatasan Iran, terbentang gurun pasir luas. Selama 120 [...]

February 24, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 83: Pakaian

Gerbang perbatasan ini memisahkan kehidupan sampai seratus tahun. Tidak peduli dari negara mana pun, bepergian menuju atau dari Afghanistan sama seperti melewati mesin waktu. Kendaraan mobil Iran ini melaju menuju Mashhad di atas jalan beraspal mulus. Tak ada lagi penderitaan gurun berdebu dan menelan pasir sepanjang hari. Tak ada lagi keledai dan barisan domba yang bersaing ruas jalan dengan mobil dan motor. Tak ada lagi perempuan anonim di balik burqa. Tak ada jubah, serban, gubuk reyot, ranjau darat, bom, perang, dan kelaparan. Iran adalah negara modern. Toko-toko berjajar rapi. Makanan yang populer di sini adalah burger dan sandwich, dijual dengan minuman bersoda produksi dalam negeri. Blokade ekonomi menyebabkan negeri ini mandiri, hampir semua barang adalah produksi dalam negeri. Mobil kuno Paykan melaju di jalan, menyemburkan asap hitam. Terminal bus Mashhad adalah bangunan besar yang bersih, dengan berbagai perusahaan angkutan yang kantornya sudah setara dengan biro travel maskapai udara di Indonesia. Karcis bus dicetak rapi dengan komputer, dengan kertas dan penampilan mirip tiket pesawat, padahal harganya teramat murah—60.000 Rial (saat ini setara dengan Rp 60.000) untuk perjalanan seribu kilometer sampai ke Teheran. Bus berjajar rapi menunggu jam keberangkatan. Tak ada tanah yang lengket karena oli bocor atau sampah bertebaran. Semua begitu [...]

February 19, 2014 // 4 Comments

Selimut Debu 82: Beringas

Eksodus. Orang-orang Afghan ini seperti kesetanan, begitu buru-buru hendak meninggalkan negerinya sendiri, menuju Iran di balik gerbang sana. Aku tercekat melihat barisan panjang ini. Barisan pria-pria berjubah shalwar qamiz menenteng barang bawaan berkarung-karung. Mereka marah, berteriak penuh emosi, seakan semakin keras berteriak dan semakin garang kepalan tangannya akan semakin cepat mereka sampai ke pos pemeriksaan paspor. Aku melangkah gontai masuk ke barisan. Melihat bahwa panjang barisan ini sudah lima puluh meter dan nyaris tak bergerak maju, entah sampai kapan kami akan menginjakkan kaki di Iran. Matahari panas menyengat. Keringat mengucur deras. Orang-orang mengomel karena tidak efisiennya pos imigrasi Afghan. Sebenarnya kalau bukan karena lusinan polisi Afghan berseragam hijau abu-abu yang berkeliling dengan pentungan, pasti sudah sejak tadi para pelintas batas ini akan menyerbu loket imigrasi dengan beringas. Tiba-tiba ada tangan besar mencengkeramku keluar dari barisan. ”Khareji! Orang asing!” Polisi menggeretku ke arah polisi yang menjaga pintu kantor imigrasi. Sebagai orang asing, ternyata ada fasilitas yang boleh kunikmati dan harus kusyukuri: aku bisa langsung memotong antrean panjang warga Afghan. Untuk menyeberang ke Iran, warga Afghan harus melewati banyak pemeriksaan. Barang mereka digeledah dengan teliti. Opium termasuk komoditi yang sering diselundupkan lewat perbatasan ini. Tak heran, dengan lebih dari seribu orang pelintas [...]

February 18, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 81: Visa Iran

Besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, dan dari Herat sini kedutaan Indonesia yang paling dekat adalah di Teheran. Aku sungguh ingin melewatkan Agustusan tahun ini dengan teman-teman sebangsa. Mungkin karena hidup terlalu lama di jalan membuat rasa kebangsaanku sekarang jadi menggebu-gebu. Teheran terletak di Iran. Itu sudah negara lain. Menurut informasi terbaru, Iran sudah memberikan fasilitas bebas visa untuk WNI yang berkunjung kurang dari dua minggu. Tapi kedutaan dan konsulat Iran memberikan informasi yang saling berlawanan tentang hal ini. Konsulat Iran di Peshawar, Pakistan mengatakan bahwa fasilitas bebas visa berlaku untuk semua perbatasan darat. Sedangkan kedutaan di Tashkent juga setuju, namun katanya cuma untuk satu minggu. Sedangkan kedutaan Iran di Jakarta tidak pasti tentang perbatasan darat dan menganjurkan aku untuk terbang ke Iran. Sedangkan kedutaan Iran di Kabul mengatakan aku memerlukan visa untuk berkunjung ke Iran dalam keadaan apa pun. Semakin bertanya, justru aku semakin pusing. Konsulat Iran di Herat sudah penuh dengan ratusan pemohon visa yang berbaris mengular sampai 200 meter, bahkan pada pukul 8 ketika aku datang. Katanya orang Afghan sudah mulai mengantre sejak pukul 4, padahal konsulat baru buka pukul 7. Sepertinya tidak ada kesempatan untukku jika aku mengantre sekarang. Bisa sampai di Teheran besok? Lupakan saja! Untunglah [...]

February 17, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 74: Everything is Wrong in Afghanistan

Yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ternyata aku sendirian di tengah kerumunan orang-orang pasar ini. Tidak ada yang menolongku berbicara. Si orang Tajikistan yang tadi bersamaku sudah kabur entah ke mana, mungkin mengira aku adalah orang yang penuh masalah. Kemarahanku yang lebih besar adalah, sesungguhnya ada beberapa orang asing di pasar ini. Ada Arnault, ada aku, ada pula si orang Tajikistan, juga kalau tidak salah ada orang India. Tapi mengapa hanya aku satu-satunya yang dikerumuni orang, diperiksa pasporku dengan tidak profesional dan tanpa tujuan? Dan gara-gara pemeriksaan tadi, aku ketinggalan kendaraan menuju Faizabad (Aku tidak mau menginap di Baharak, terima kasih!). Sekarang aku harus mencari lagi kendaraan yang sudah penuh penumpang. Aku sudah tidak tahu semarah apa aku jadinya, ketika tiba-tiba sebuah tangan keras mencengkeram pundakku. Tangan dari seorang lelaki berseragam yang lebih mirip seragam satpam. Aku harus ke kantor, katanya. Tentu aku menolak. Aku hanyalah turis yang menunggu bus, dan sekarang aku menjadi pusat perhatian begitu banyak orang-orang bosan di jalanan, dan menjadi objek permainan para polisi yang sebenarnya tidak mengerti apa itu paspor dan apa tulisan di atas paspor asing. Seorang lelaki berbahasa Urdu berbisik di telingaku. “Menurut sajalah. Tenang, ikuti kata mereka. Koi zabardasti nehi. Tidak [...]

February 6, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 73: Hadiah Ulang Tahun

Setelah perjuangan panjang dari Qala Panjah menuju Ishkashim (yang di luar dugaan, memakan waktu sampai tiga hari karena parahnya transportasi!), aku berjuang untuk melanjutkan perjalanan ke arah barat, moga-moga bisa mencapai Kedutaan Indonesia di Teheran untuk merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. (Nasionalisme? Mungkin ini gara-gara perbincangan dengan Arnault sebelumnya). Lagi pula, hari ini 8 Agustus adalah hari ulang tahunku yang ke-25. Semoga saja hari ulang tahun ini melimpahiku dengan keberuntungan. Amin. Jadi hari ini, kami berdua berangkat menuju Baharak, di mana aku bisa mendapat kendaraan menuju Faizabad, dan Arnault berbelok ke utara ke arah Danau Shewa. Orang Afghan ini punya konsep waktu yang aneh. Ketika kami masih sarapan jam 6 pagi, sopir memburu-buru kami katanya mobil segera berangkat. Tetapi setelah kami duduk manis di mobil, satu jam kemudian mesin baru dinyalakan dan dua jam kemudian kami baru meninggalkan Ishkashim. Matahari sudah sangat tinggi sedangkan perjalanan ke Baharak memakan waktu minimal tujuh jam. Sekarang semua berbalik arah. Dulu waktu berangkat dari Baharak ke Ishkashim, Baharak terasa seperti kota pasar yang membosankan tapi jalanannya teramat indah. Sekarang, sepulang dari Wakhan, jalanan bergunung-gunung ke Baharak terasa sangat datar, tetapi Baharak dengan barisan toko-tokonya terasa seperti metropolitan New York. Warung-warung, kios, pedagang asongan, penyemir [...]

February 5, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 21: Agama di Garis Batas

Tasku jebol setelah perjalanan panjang ini, dan tukang reparasi sepatu di perbatasan Pakistan ini begitu piawai memperbaikinya (AGUSTINUS WIBOWO) Di Pakistan, aku sungguh disadarkan bagaimana cara Tuhan menyelamatkan umat-Nya. Bus yang semestinya aku tumpangi kemarin kalau tidak bangun kesiangan di Kabul, ternyata mengalami kecelakaan dan jatuh ke jurang saat melintasi jalan pegunungan Karakoram Highway yang berbahaya. Ada penumpang yang tewas, untungnya aku tidak jadi menumpang bus itu. Penumpang di sampingku adalah seorang pelajar berusia 17 tahun (walaupun wajahnya kelihatan seperti 30 tahun lebih), orang Pathan/Pashtun dan mengaku pernah ke Afghanistan. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Katanya, zaman Taliban dulu mereka tidak perlu pakai paspor untuk pergi ke Afghanistan, karena berewok sudah cukup sebagai paspor. Di zaman Taliban, hukum sangat keras, mereka memberlakukan hukum potong tangan untuk pencuri, potong lengan bagi perempuan yang kelihatan auratnya, atau hukuman mati bagi pembunuh jika keluarga korban tidak mau mengampuni. Kesalahan Taliban, menurutnya, adalah mereka menerapkan hukum Islam secara ekstrem dan sangat mendadak, tidak melalui tahapan-tahapan. Akibatnya, mereka tidak didukung sebagian besar orang Afghan. Hanya saja selama masa Taliban, Afghanistan jauh lebih aman dan stabil. Dia pun tak habis pikir mengapa Amerika menyerang Taliban. Toh bukan Taliban yang menghancurkan WTC? Osama, tokoh utama dalam cerita ini, [...]

November 25, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 19: Beda Negara Beda Nasib

Birokrasi di negeri yang hancur lebur juga membuat kami hancur lebur. (AGUSTINUS WIBOWO) Pergilah ke jalanmu. Go your way adalah kalimat khas yang diucapkan diplomat Pakistan. Seperti doanya, sekarang aku benar-benar go my way, kembali ke Kedutaan Pakistan demi selembar visa. Membaca kekhawatiranku mengenai visa Pakistan, Pak Kasim dari Kedutaan Indonesia berusaha menenangkan. “Jangan khawatir,” ujarnya, “kita akan berusaha yang terbaik.” Aku diajaknya melintasi gedung kedutaan yang begitu luas dan berlantai marmer (mirip museum barang-barang ukiran dan lukisan tradisional Indonesia) dan sudah beberapa kali direnovasi berkat terjangan roket dan peluru nyasar, melongok sebentar ke lapangan tenis dan kebun buah, lalu ke halaman belakang tempat jajaran empat mobil diparkir, lalu mempersilakan aku duduk di bangku depan salah satu mobil, sementara dia menyetir melintasi jalanan panas dan berdebu kota Kabul. Aku yang sejam lalu bahkan tidak tahu harus ke mana, kini sudah duduk di bangku paling terhormat di mobil kedutaan. Pak Kasim, lelaki Indonesia yang baru kutemui hari ini, begitu penuh semangat membantu hanya karena kami adalah saudara sebangsa. Benar saja, kedutaan Pakistan sudah tutup. Tetapi dengan identitas Pak Kasim, para bodyguard penjaga gerbang memberikan kami jalan, langsung meluncur ke kantor visa. Lelaki tinggi berkumis yang sama masih ada di ruang itu. [...]

November 21, 2013 // 6 Comments

Selimut Debu 18: Setumpuk Masalah

Meninggalkan Kabul, menuju Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) Ya, ini memang mimpi. Dan sudah saatnya sekarang aku bangun dari mimpi. Liburan musim panas yang cuma enam minggu ini terlalu singkat, sama sekali tidak cukup untukku mengenal negeri Afghan. Masih begitu banyak pertanyaan tak terjawab, misteri tak tersingkap, kerinduan terpendam. Tapi, setiap perjalanan harus ada akhirnya. Sering kali, akhir yang tidak diundang justru membuat rasa kita semakin dalam. Saat kami kembali ke Kabul, tujuan pertama yang kami datangi adalah kedutaan Pakistan. Aku harus melewati Pakistan untuk kembali ke China, sedangkan Adam meninggalkan ranselnya di penginapan di Peshawar karena enggan membawa terlalu banyak barang ke Afghanistan. Masalahnya, kami berdua sama-sama tidak punya visa ke Pakistan. Kesalahan utama kami adalah, menganggap visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih ditulis tangan dengan lem yang mudah copot itu semudah dan sesimpel kualitas kertasnya. Lelaki berkumis, langsing dan tinggi, menyambut kami di sebuah kantor sempit di Kedutaan Pakistan yang dikelilingi tembok tebal tak bersahabat. Kami dipersilakan duduk, mengisi formulir, dan menunggunya mewawancara (atau mungkin berbincang?) dengan satu per satu para pemohon visa. Kami para pemohon visa duduk di bangku-bangku yang merapat di tembok ruangan kantor membentuk huruf U. Lelaki itu berdiri di tengah, lalu berjalan ke masing-masing bangku, [...]

November 20, 2013 // 0 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Garis Batas 96: Good Boy

Agustinus Wibowo di Perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Tentara perbatasan Uzbekistan memang terkenal sangat merepotkan. Penggeledahan barang-barang bawaan sudah menjadi prosedur wajib. Tetapi masih ada yang lebih melelahkan dan menjengkelkan dari ini. Sudah hampir satu jam saya berdiri di hadapan tentara muda itu, dengan semua barang bawaan saya tertata amburadul di atas meja bea cukai. Kaos dan celana-celana lusuh bertumpuk-tumpuk seperti gombal, membuat dia mirip pedagang keliling baju bekas, dan membuat muka saya merah padam. Puas mengobrak-abrik semua isi tas ransel, tentara itu langsung memerintah saya cepat-cepat mengemas kembali semua barang itu. Seperti diplonco rasanya. Saya disuruh mengikutinya, ke sebuah kamar kecil dan tertutup di pinggir ruangan. Ukurannya cuma 2 x 3 meter, sempit sekali, dengan sebuah kasur keras di sisinya. Begitu saya masuk, dia langsung mengunci pintu. Apa lagi ini? Saya berduaan dengan tentara tinggi dan gagah yang mengunci pintu di sebuah kamar dengan ranjang yang nyaman, dan sekarang dia menyuruh saya menungging. Dia mulai menggerayangi tubuh saya dengan kedua tangannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Setelah barang bawaan yang diperiksa, kini giliran tubuh saya yang diteliti habis-habisan. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Dan ini dalam arti harafiah. Ujung sepatu saya diketok-ketok. Kebetulan sepatu yang saya pakai ini [...]

October 25, 2013 // 11 Comments

Garis Batas 95: Tangan Tuhan

Belajar menembak (AGUSTINUS WIBOWO) Saya ingat, tak sampai dua bulan yang lalu, saya datang ke KBRI Tashkent dengan bercucuran air mata. Empat ratus dolar saya tiba-tiba raib dari dompet, yang saya sendiri pun tak tahu bagaimana ceritanya. Ceroboh, ceroboh, ceroboh, saya memaki-maki sendiri. Satu per satu diplomat dan staf KBRI duduk di hadapan saya, memberikan penguatan. “Gus, mungkin Tuhan memang punya kehendak,” kata Pak Pur, seorang diplomat, “mungkin dengan kejadian ini Tuhan mengingatkan kamu supaya lebih rajin bekerja, lebih rajin memotret, lebih rajin menulis. Semua itu ada hikmahnya.” Pak Pur kemudian bercerita tentang puluhan ribu dolar yang dicuri orang waktu naik kereta di Rusia. Lebih sakit rasanya. Tetapi akhirnya beliau juga bisa mengikhlaskan. Bicara tentang Tuhan, mengapa Tuhan tak mengizinkan saya melanjutkan perjalanan lagi, saya ingin sekali melihat negeri-negeri Kaukasus yang dilupakan orang, eksotisnya padang pasir Timur Tengah, serta Afrika yang liar. Apa daya, Tuhan tak mengizinkan, uang saya tak banyak lagi tersisa. Empat ratus dolar, begitu besar artinya bagi saya. Mungkin Pak Pur benar, Tuhan berkehendak lain. Setelah meratap berhari-hari, saya akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan. Saya mencari lowongan kerja di sana-sini, mengontak kawan ini dan itu, hingga pada akhirnya, hari ini, saya tersenyum kecil melihat sebuah visa Afghanistan [...]

October 24, 2013 // 2 Comments

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Detik (2013): Traveling ke Afghanistan, Seberapa Aman?

Sri Anindiati Nursastri – detikTravel – Jumat, 11/10/2013 07:42 WIB http://travel.detik.com/read/2013/10/11/074232/2384172/1382/1/traveling-ke-afghanistan-seberapa-aman Jakarta – Bagi sebagian traveler, Afghanistan membangkitkan rasa penasaran. Negeri itu seperti dirundung konflik tak berkesudahan. Padahal alamnya sangat memukau, sejarah dan budayanya kaya. Seberapa aman traveling ke Afghanistan? Bicara soal Afghanistan, yang terlintas di benak Anda pastilah Taliban. Banyak orang menyebut Afghanistan sebagai ‘negeri perang’. Konflik dengan Taliban bahkan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Padahal, Afghanistan punya banyak cerita. Budaya dan sejarahnya memukau traveler dari berbagai belahan dunia. Ada Kabul sebagai ibukota, Bamiyan yang dulu punya patung Buddha terbesar sedunia, juga Herat yang beratmosfer Persia. Soal keindahan alam, Afghanistan jagonya. Ada dataran tinggi Pamir tempat para pendaki menikmati panorama ala Puncak Dunia. Ada pula Band-e Amir National Park, yang punya 5 danau berwarna biru bak safir! Agustinus Wibowo adalah salah satu traveler Indonesia yang pernah berkeliling Asia Tengah. Perjalanan itu ditorehkannya lewat buku-buku berjudul Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Traveling ke Afghanistan, menurut Agustinus, cenderung aman dan tak selalu berisiko. Afghanistan cukup besar sehingga kondisi kemanannya pun bervariasi. “Daerah-daerah di utara cukup aman. Banyak pendaki gunung dan trekker yang terpukau [...]

October 11, 2013 // 1 Comment

1 2 3 4 5