Recommended

Titik Nol 42: Freak Street

Lam Li, si gadis Malaysia penghuni Freak Street, pernah membotaki rambutnya untuk menyamar jadi bikuni di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Lam Li, si gadis Malaysia penghuni Freak Street, pernah membotaki rambutnya untuk menyamar jadi bikuni di Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO)

Dari hubungan kawannya kawannya kawannya kawan, akhirnya saya bejumpa dengan gadis Malaysia ini. Ajaib, walaupun belum pernah mengenal sebelumnya, saya merasakan kedekatan yang tak terkira, seperti kami memang sudah ditakdirkan berjumpa.

Namanya Lam Li, umur tiga puluh tahunan, tetapi masih nampak energik dan ceria. Tubuhnya kurus, kepalanya nyaris botak. Sengaja dibotakin, katanya, untuk menyamar jadi bikuni di Tibet supaya bisa masuk kuil gratis. Selain suka menyamar, berkeliling Tibet ilegal, Lam Li juga punya rekor yang cukup membanggakan sebagai seorang perempuan – tak pernah sekalipun ia membayar untuk masuk kuil di Tibet. Semuanya mengandalkan teknik ‘panjat tembok dan loncat’-nya yang menakjubkan. Sungguh saya malu di hadapan perempuan ini. Sebagai lelaki, saya yang sekali meloncat langsung kecemplung lubang kakus sama sekali tidak ada apa-apanya.

Lam Li pernah bekerja sebagai wartawati The Star, media yang cukup besar di Malaysia. Setelah menabung sekian lama, ia memutuskan untuk berkeliling dunia. Seperti saya juga ceritanya. Ia menempuh jalan darat dari Malaysia, melintas Thailand, Kamboja, Vietnam, masuk ke China, lalu Tibet, dan sekarang Nepal. Ia juga berencana menuju India, Pakistan, Afghanistan, terus ke barat sampai Eropa. Karena saya pernah ke Afghanistan, Lam Li sangat tertarik untuk berbagi pengalaman dengan saya.

Berbeda dengan kebanyakan etnis China di Malaysia, bahasa Melayu Lam Li sangat fasih. Sudah lama saya tak bicara bahasa Indonesia, perjumpaan dengannya mengobati rindu saya.

“Nama saya di Malaysia juga macam tak biasa. Kalau telepon orang Malay, saya cakap nama saya Lam Li, mereka tanya apakah saya orang Melayu kah punya nama Ramli.”

Tempat tinggal Lam Li adalah Freak Street, jalan kecil tepat di pinggir lapangan Hanuman Dhoka. Zaman hipi tahun 1960’an, Freak Street yang dulunya bernama Jhochheen Tote adalah tempatnya orang asing di Kathmandu. Sekarang posisinya sudah digeser oleh Thamel tempat sebagian besar turis, backpacker, trekker, pemanjat gunung, pesepeda campur aduk jadi satu.

Hipi adalah sebuah gaya hidup pemberontakan zaman itu, di mana orang dari negara-negara makmur mencari kebebasan dari tekanan hidup, mengunjungi tempat-tempat eksotis, berkelana ke ujung dunia, tertambat hati di Kathmandu yang bagaikan surga. Tak bekerja, tak mandi, berkawan ganja, pemberontakan terhadap hidup yang penuh kepalsuan. Sekarang, hipi sudah tenggelam oleh kultur backpacker, walaupun sebenarnya banyak persamaannya juga antara kedua jenis manusia ini.

Freak Street, cocok seperti namanya, punya kesan freak bin ajaib.

“Kamu tak perlu terkejut kalau nanti lihat dua gumpal awan di losmenku,” Lam Li mengingatkan.

Yang dimaksudnya dengan ‘awan’ adalah orang bule yang tiba-tiba mendapat ‘pencerahan’ setelah bertemu ‘guru’ suci di Dharamsala tempat Dalai Lama sekarang mengungsi.

Dua gumpal ‘awan’ versi Lam Li adalah sepasang orang Rusia. Keduanya memakai jubah kuning, seperti biksu Tibet. Mereka berguru di ashram – padepokan pertapaan – di suatu tempat di India. Kini, hidup mereka sudah berubah, mencapai titik di mana kehidupan duniawi tampak tak lebih dari kesenangan semu di alam tak abadi.

“Lihatlah butir-butir rudraksha ini,” pria Rusia itu dengan nada bicara mengambang menunjukkan koleksi biji pohon sejenis kenari, “ini rudraksha suci, bersudut tujuh dan sembilan. Saya sudah mencari di mana-mana, susah sekali mendapatkan yang sudutnya seperti ini.”

Tiap jumlah sudut butir rudraksha ada maknanya, ada kemujuran yang dibawa. Di mata saya, semua tak lebih dari koleksi biji-bijian biasa.

Backpakcer atau hipi, adakah bedanya? (AGUSTINUS WIBOWO)

Backpakcer atau hipi, adakah bedanya? (AGUSTINUS WIBOWO)

Tetapi kita mungkin tak mampu memahami kehidupan mereka yang ada di awang-awang. Si perempuan Rusia, berkepala botak dan berbaju biksu, dengan penuh perhatian memilah-milah biji rudraksha. Seperti itulah waktu mereka berlalu sepanjang hari.

“Yang paling parah,” kata Lam Li, “mereka berdua menghabiskan waktu berjam-jam di pagi hari untuk memasak sesaji.”

“Bagaikan gumpal awan yang berhembus ke sana ke mari,” Lam Li melukiskan dua orang kawannya itu, “mereka tak punya beban hidup. Angin berhembus ke barat, awan ikut ke barat. Angin berhembus ke timur, awan pun ke timur.”

Pandangan mata mereka kosong, bicara mengambang, dan setiap saat mereka berada dalam kebahagiaan sempurna.

Mereka adalah generasi baru hipi, orang-orang Barat yang sudah bosan dengan kemunafikan hidup dan menemukan kembali makna kesejatian dalam kebijaksanaan kuno dari negeri timur, tersembunyi dalam alam mistis dan hembusan spiritual dari negeri Hindustan. Mereka menghabiskan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun di ashram,  bermeditasi di bawah bimbingan ‘guru’ suci. Kata ‘guru’ dalam bahasa Indonesia mengalami perluasan makna dari kata aslinya dalam bahasa Sanskrit. Guru, lebih merujuk pada pembimbing spiritual, berasal dari kata gu yang artinya kegelapan dan ru, menghilangkan. Pasangan ‘gumpalan awan’ yang sudah ‘tercerahkan’ ini, dengan wajah pucat dan pandangan kosong, langkah kaki ringan seperti terbang, naik ke loteng untuk memulai ritual mereka – mengisap ganja. Nikmatnya seperti di nirwana.

Para pengelana spiritual, mencari kebijaksanaan maha tinggi di negeri-negeri kuno di bawah kaki Himalaya, menemukan gaya hidup alternatif – kepala botak, baju biksu, hashish dan ganja, meditasi, sembahyang dengan ratusan jenis sesaji, mengoleksi ajimat dari biji pohon. Mata mereka seperti terbuka, menemukan dunia spiritual yang mengalahkan kehidupan modern yang cuma logika dan materialisme.

Saya teringat, seorang gadis Inggris satu losmen yang juga keranjingan meditasi ashram di India.

“Kamu tentu sulit percaya. Guru-ku adalah orang luar biasa. Pertama kali aku datang ke ashram, aku hanya coba-coba saja. Tetapi, belum aku mengetuk pintu, pintu kayu itu sudah terbuka sendiri. Seorang suci duduk di sana. Suaranya dalam, jernih, kuat. Ia berkata: ‘Masuklah, anakku. Aku sudah sedari tadi menantimu’. Sungguh semuanya itu perjodohan yang telah diatur.”

Di India, banyak ashram yang dibanjiri hanya oleh para pencari kebenaran dari luar negeri. Beberapa padepokan pertapaan bahkan mengutip biaya masuk yang sangat mahal.

Di atas loteng, pasangan biksu Rusia itu tengah menikmati surga mereka, pelepasan sempurna dari kemayaan duniawi. Freak Street, jalan aneh yang penuh dengan orang-orang aneh. Tetapi jalan ini tetap menjadi magnet bagi backpacker yang ingin mengirit ongkos dan lepas dari hedonisme Thamel.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 September 2008

8 Comments on Titik Nol 42: Freak Street

  1. O alah.. alah.. mbok yo hati2 to mas agus, kok bisa sampe nyemplung kakus segala lagi, tpi ngomong2 baunya gmana tu?

  2. Ring of fire.. indonesia jg luar biasa

  3. itu yang di foto Lam Li kak?

  4. Jd hipi itu bebas,biasanya melakukan sex bebas gonta ganti pasangan sesama hipi.qm mau?

  5. Pernah sebulan tinggal di freak street, melihat langsung aktivitas para hippi yg memang hari-hari mereka tak pernah lepas dari bang/joint bahkan percakapan diantara mereka pun tak jauh2 dari itu. Interesting 🙂

Leave a comment

Your email address will not be published.


*