Titik Nol 44: Maling di Tengah Perayaan
Di tengah kemeriahan perayaan Indra Jatra ini saya menangis. Ketika orang lain bersuka cita menyaksikan tarian dan permainan di bawah sinar rembulan di lapangan Hanuman Dhoka, hati saya kacau balau.
Patung seram kepala Seto Bhairab, atau Bhairab Putih, yang biasanya tersembunyi di balik kisi-kisi kayu di pinggir kuil Taleju di tengah lapangan Durbar, di hari yang istimewa ini tiba-tiba muncul. Dalam setahun, hanya pada perayaan Indra Jatra dan Dasain saja patung misterius Seto Bhairab dipertunjukkan untuk umum. Konon, ketika Raja Rana Bahadur Shah membangun patung ini untuk membersihkan daerah istana yang pernah menjadi tempat pembakaran mayat, patung Bhairab ini terlalu seram sehingga penduduk ketakutan. Akhirnya, patung ini disembunyikan di balik kisi-kisi kayu sepanjang tahun. Ada pula yang mengatakan, patung Bhairab disembunyikan karena patung ini bersimbah perhiasan dari batu berharga.
Patung kepala ini berwarna emas dengan mulut menyeringai seram dan memamerkan gigi taringnya yang tajam. Matanya ada tiga. Mahkotanya terbuat dari tengkorak manusia. Seperti Kala Bhairab – si Bhairab Hitam yang juga seram – Seto Bhairab adalah salah satu pusat pemujaan penting umat Hindu di Kathmandu. Umat datang membawa prasad (sesaji) berupa bunga dan dupa ke hadapan patung kepala seram ini.
“Nanti malam adalah acara istimewa,” kata bocah yang bertugas menyampaikan sesaji untuk kepala Bhairab, “karena dari mulut Bhairab akan tersembur jaand.”
Jaand adalah arak lokal. Penduduk nanti akan berebutan untuk meminum jaand yang tersembur dari mulut Bhairab, untuk mendapat berkah dan keberuntungan.
Perayaan Indra Jatra adalah pemujaan bagi Dewa Indra – dewa hujan. Bhairab dan Indra dianggap sebagai dewa yang sama dalam manifestasi yang berbeda. Memuja Indra, berarti memuja Bhairab, sebagai wujud terima kasih pada dewa hujan yang mengaruniakan panen yang melimpah.
Gelap mulai membayang. Terangnya mentari diganti kelap-kelip lilin suci yang dinyalakan umat Hindu di atas tanah di depan Hanuman Dhoka. Lapangan ini ramai oleh penduduk Kathmandu yang gembira merayakan Indra Jatra.
Saya pun dilliputi keriangan yang meluap bersama dengan gegap gempita seruling dan kendang. Empat penari bertopeng dan berambut gimbal berada di tengah lingkaran kerumunan penonton. Musik tetabuhan mengalun. Mereka berputar-putar, melompat, menggelinding. Penonton bersorak, larut dalam kegembiraan festival akbar.
Tak pernah saya melihat lapangan Hanuman Dhoka seramai ini. Orang di mana-mana. Untuk menyaksikan tarian tradisional di tengah lingkaran, saya harus berdesak-desakan. Beberapa orang penonton, tahu saya sebagai turis, memberikan jalan supaya saya bisa mencapai baris terdepan, menyaksikan acara dengan leluasa.
Tetabuhan terus bertalu. Kini datang dua penari berkostum seperti gorila, berbulu hitam lebat, bergulung-gulung ke sana ke mari. Saya sudah tak ingat apa-apa lagi, terhanyut oleh sajian mistis yang eksotis. Tarian demi tarian berganti, hingga seorang penari bertopeng mirip Bhairab, berjubah merah, berputar-putar di tengah, dikelilingi bocah-bocah bertelanjang dada yang semua memakai topeng seram.
Dalam kemeriahan ini, saya merogoh tas punggung yang saya cangklong di belakang. Saya melompat terkejut. Risleting tas sudah terbuka. Dompet sudah tak ada.
Seketika, kemeriahan dan kegembiraan yang meluap-luap, menguap bersama keterkejutan. Lam Li dan Qingqing langsung menuntun saya yang pucat pasi nyaris pingsan menjauh dari keramaian.
“Apa yang hilang? Mungkin terjatuh. Mungkin ketinggalan!” hibur mereka.
Terjatuh? Tak mungkin mencari dalam kegelapan seperti ini, di mana ribuan orang tumpah ruah di lapangan yang hanya disinari obor. Terlupa? Saya ingat betul saya membawa dompet itu di dalam tas.
Dompet yang hilang berisi uang tunai sekitar seratusan dolar. Bagi saya yang hanya bermodal sedikit, uang segitu besar sekali nilainya. Tetapi yang paling menyakitkan, semua kartu mahasiswa, kartu tanda penduduk, dan segala kartu identitas saya hilang bersama dompet yang dicopet itu. Kartu-kartu itu adalah kenangan dari masa lalu yang ingin selalu saya ingat.
Tak pernah saya mengalami kejadian kecopetan atau kecurian dalam perjalanan.
“Sudahlah, jadikan pelajaran. Setidaknya maling itu masih berhati mulia karena bukan kamera atau hard disk kamu yang dicuri,” Lam Li menghibur.
Kedua gadis itu memapah saya yang nyaris tak bisa berjalan ke kantor polisi untuk membuat laporan kehilangan.
Kantor polisi Hanuman Dhoka bukan tempat yang ingin saya kenang. Semua polisi sibuk, sampai tak ada waktu untuk menengok saya yang kehilangan roh. Kami menunggu setengah jam, dilempar dari kantor ke kantor, hanya untuk mendapat formulir dan disuruh datang lagi besok lusa membawa foto.
Suasana di Hanuman Dhoka semakin ramai. Gajah-gajahan putih – lambang Dewa Ganesh – diusung ke sana ke mari oleh pria bertelanjang dada membawa obor. Orang-orang berseru keras, dalam histeria untuk mengusir roh jahat. Api tersembur di mana-mana.
Tetapi hati saya sudah padam. Kemeriahan ini sudah tak mampu mengembalikan roh saya yang menghablur karena dompet yang hilang.
“Sudahlah,” kata Qingqing, “jangan terlalu dipikir. Yang hilang biarlah berlalu. Lebih baik kamu nikmati perayaan ini, daripada nanti menyesal.”
Baru tiga puluh menit berikutnya saya mampu menorehkan sedikit semangat lagi, mengangkat kamera dan memotret. Dari mulut Seto Bhairab, gemericik jaand mengalir melalui pipa lurus. Bukan tersembur seperti air mancur, seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Para pria berebutan untuk menenggak minuman beralkhol dari mulut dewa itu.
Karena terlalu tinggi, setiap kelompok lelaki mengusung satu orang, dibawa berlari ke bawah kericikan jaand, untuk menenggak alkohol yang menjamin peminumnya tidak sakit selama setahun penuh. Suasana ricuh karena setiap kelompok saling menerjang untuk menjadi yang paling dulu dan paling lama di bawah siraman jaand.
Melihat saya yang masih lesu, Qingqing membawa saya ke lapangan Basantpur Chowk di depan Freak Street.
“Keluarkan semua perasaanmu. Berteriaklah sekuat-kuatnya,” Qingqing menganjurkan. Melihat saya yang masih ‘kosong’, Qingqing berteriak duluan.
Di bawah sinar rembulan yang membilas gedung-gedung tua, di tengah keramaian orang-orang yang gembira, kami berteriak bersama-sama. “HAAAAAAAAAAA!!!! HAAAAAAAA!!!!”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 Oktober 2008
HAAHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA