Titik Nol 49: Sirkuit Annapurna
Bagi sebagian besar turis asing, Nepal berarti gunung. Negeri ini memang mungil kalau dilihat secara horizontal. Dilihat dari sudut vertikal, Nepal berada dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia.
Annapurna adalah serangkaian puncak Himalaya terletak di bagian barat Nepal. Annapurna I, puncak tertingginya mencapai 8.000 meter, dikelilingi saudara-saudaranya yang di atas 7.000 meter, senantiasa diselimuti salju dan memancarkan keagungan yang menjadi magnet datangnya turis ke negeri ini.
Semula saya kurang begitu tertarik dengan kegiatan turisme seperti mendaki gunung. Melihat distrik Thamel di Kathmandu yang dipenuhi perusahaan wisata menawarkan jasa porter dan pemandu, saya langsung muak. Saya tak pernah tahu, bahwa trekking berkeliling gunung pun bisa dilakukan secara independen tanpa harus memakai jasa biro tur.
Lam Li, si gadis Malaysia yang sudah berangkat dulu ke Annapurna, meyakinkan saya,
“Keliling Annapurna pasti menarik sekali. Di sana, satu kali putaran, kamu bisa berjumpa delapan macam suku sekaligus, hidup di desa-desa yang masih asli.”
Saya sangat tertarik dengan keragamam suku dan budaya, tetapi saya masih belum yakin saya bisa melakukan perjalanan seperti ini. Saya tak pernah punya pengalaman naik gunung. Sekali naik, mengelilingi gunung suci Kailash di Tibet nyaris celaka.
Kepercayaan diri saya bertambah ketika berjumpa dengan Keith di Kathmandu. Keith, asal Amerika, terbang ke Nepal dari Bangkok khusus untuk mengelilingi Sirkuit Annapurna. Sirkuit ini adalah lintasan sejauh dua ratus kilometer lebih, ditempuh dalam waktu tiga minggu, mengelilingi barisan pegunungan Annapurna berlawanan arah jarum jam. Modelnya seperti ziarah suci mengelilingi Kailash, walaupun trekking yang satu ini lebih bersifat wisata daripada religius.
“Kita bisa berangkat bersama-sama kalau kamu mau,” kata Keith.
Saya semakin mantap berangkat ke Annapurna setelah berhasil membujuk Nefransjah, backpacker Indonesia yang juga baru saja datang dari Thailand. Semula Nef sama sekali tidak membayangkan apa dan siapa itu Annapurna, apalagi jadwal jalan-jalannya cukup mepet gara-gara visa India.
“Nef, kalau kamu belum ke Annapurna, berarti kamu belum ke Nepal,” bujuk saya sok tahu, padahal saya sendiri pun belum pernah melihat Annapurna atau membayangkan seperti apa perjalanan gunung itu.
Jadilah kami bertiga berangkat. Nampaknya hanya Keith yang siap sedia, karena memang itu tujuan aslinya. Ia tahu baju apa yang mesti dibawa, sepatu bot model apa yang harus dipakai. Sedangkan saya, seperti gaya backpacker santai, hanya tas punggung kecil berisi sweater, kaos, celana panjang, jaket, dan dua buku tulis, plus kamera kesayangan yang sudah rusak. Saya dan Nef juga sempat patungan membeli biskuit dan coklat, mungkin berguna di jalan. Tak lupa pula tiket taman nasional seharga 1500 Rupee, harus dibeli di Kathmandu atau Pokhara.
Benar, dengan tas kecil seperti ini tak perlu porter dan pemandu. Tetapi apakah cukup? Entahlah. Saya hanya menyerahkan pada nasib. Lebih berat dari ini, saya malas membawanya.
Tubuh kami dibasahi keringat deras dalam bus antar kota yang sempit dan panas. Keith tak hentinya berkisah betapa senangnya ia bergandeng tangan dengan cowok-cowok Nepal yang imut dalam acara pesta tarian jalanan memperingati Hari Pariwisata Sedunia. Cerita aneh ini membuat Nef mengenyritkan kening penuh curiga.
Biasanya para trekker berhenti dulu di kota Pokhara, kota terbesar kedua Nepal, untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat trekking. Tetapi kami sudah lebih dari percaya diri, langsung menuju Dumre, mencari kendaraan ke Besisahar, titik awal dimulainya lintasan Sirkuit Annapurna.
Dumre adalah sebuah dusun kecil tak layak diingat. Yang ada hanyalah pemilik jip yang rakus mencari mangsa. Dengan segala teknik tipu-tipu, mereka berusaha mengeruk keuntungan dari dompet kami yang tipis. Tak ada buslah, busnya tak nyamanlah, karcis bus mahallah, cuma naik jip yang baguslah, dan sebagainya. Ketika mereka sedang gencar menyodorkan berbagai tipu muslihat, dari Pokhara datang sebuah bus bobrok yang mengangkut kami ke Besisahar.
Kami menginap di sebuah pemondokan di Besisahar. Karakteristik trekking di Sirkuit Annapurna adalah teahouse trekking, di setiap desa ada warung dan penginapan, tak perlu repot bawa kantung tidur, kemah, atau kompor. Julukan lainnya adalah Apple Pie Trail atau Coca Cola Trail, karena segala macam makanan asing kegemaran turis tersedia di dusun yang paling terpencil sekalipun. Karena itu saya nekat dengan tas punggung kecil. Tetapi entahlah, banyak turis asing yang berombongan, bawaannya sampai berkuintal-kuintal seperti orang pindah rumah, dan saking beratnya sampai harus diangkut bagal dan keledai.
Ketinggian Besisahar cuma 820 meter, tetapi Nef sudah menunjukkan gejala tak sehat. Kepalanya pusing, tidurnya berisik. Esok paginya kawan Indonesia ini undur diri, kembali ke Pokhara untuk memulihkan kesehatan. Saya menyesal telah memaksanya ke sini. Mungkin trekking memang bukan untuknya.
Jadilah saya berjalan bersama Keith. Kami melintasi Dusun Bhulbule sampai Ngadi. Jalanan datar, seperti wisata desa saja. Di kanan kiri hamparan sawah padi, mirip pemandangan Pulau Jawa.
“Trekking ini terlalu gampang,” kata saya sombong, “Saya sudah pernah keliling Kailash, jauh lebih berat daripada ini.”
Saking datarnya, bahkan mobil pun bisa lewat.
“Apa gunanya jalan kaki? Naik mobil pun bisa?” komentar saya lagi, yang kesal karena sekarang harus berbasah-basah menyeberangi kubangan air yang menutup jalan.
Saya tidak tahu, petualangan Annapurna sama sekali belum bermula di sini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 9 Oktober 2008
Leave a comment