Titik Nol 51: Lereng Curam
Perjalanan keliling Sirkuit Annapurna sebenarnya termasuk kategori tingkat kesulitan rendah. Walaupun demikian, bagi saya yang tidak biasa berjalan di medan pegunungan, perjalanan ini melelahkan juga.
Ada pepatah China mengatakan, “Naik gunung mudah, turun gunung susah”. Mungkin lebih tepat kalau pepatah itu dimodifikasi: Naik gunung susah, turunnya lebih susah lagi. Perjalanan ini dimulai dari Besisahar, pada ketinggian 700 meter, melalui jalan mendaki, terus menurun, terus mendaki lagi, menurun lagi, dan seterusnya hingga ke Puncak Thorung La pada ketinggian 5400 meter, kemudian menurun drastis lagi terus sampai ke bawah.
Demikianlah perjalanan hidup manusia. Ada naik, ada turun. Tujuan kita seakan tergambar jelas di awang-awang sana. Tetapi yang paling penting bukan tujuannya, melainkan lintasannya, naik turunnya, senang bahagia dan pahit getirnya hidup. Setiap trekker punya peta Annapurna, lengkap dengan hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, nama dusun-dusun yang akan dilewati, serta ketinggiannya dari permukaan laut. Angka-angka yang menjadi patokan perjalanan ini adalah motivasi untuk terus maju, mencapai tujuan.
Yang paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah ketika kita terlalu menggebu untuk mencapai tujuan yang tinggi itu. Dari ketinggian 700 meter hingga 5400 meter, tubuh manusia harus bisa beradaptasi pada perubahan drastis. Di puncak sana, suhu udara rendah dan oksigen minim. Salju menghampar, membekukan. Sedangkan sekarang di Bahundanda, pagi baru saja bermula, tetapi panasnya sudah minta ampun. Tak semua orang bisa beradaptasi pada perubahan drastis ini. Setiap naik berapa ratus meter, seharusnya para pendaki beristirahat dulu untuk membiasakan tubuh pada ketinggian tertentu, baru boleh melanjutkan perjalanan lagi ke tempat yang lebih tinggi. Jika dipaksakan, ketinggian pun bisa berakibat fatal.
Saya ternganga melihat tangga curam dari tanah menuruni pinggang bukit di Bahundanda, pada ketinggian 1350 meter. Di kanan kiri, berteras-teras sawah hijau menyelimuti bukit seperti tangga surgawi. Yang ada cuma jalan turun, untuk kemudian mendaki lagi di bukit seberang, menuju dusun Ili Bir. Turunnya begitu drastis, melihat ke bawah pun rasanya ngeri dan bikin pusing.
Saya menurun setapak demi setapak. Kaki kanan menurun satu tangga, dilanjutkan kaki kiri di tangga yang sama. Paling takut terkilir di medan seperti ini. Sedangkan penduduk desa, dengan santai meluncur turun sambil berlari tanpa terpeleset sedikit pun di lereng curam ini.
Keledai, seperti dikisahkan dalam berbagai hikayat sebagai hewan bodoh dan keras kepala, kenyataannya memang demikian. Rombongan keledai membopong ransel bawaan grup turis kaya, melenggang santai di lereng curam ini, tanpa mempedulikan orang lain yang hampir terpeleset ke jurang. Mereka tak pernah mau minggir, tak bisa mengalah, dan hanya menjalani hidup di dunia mereka sendiri.
Dari arah berlawanan, datang sepasang trekker Belanda datang dari arah berlawanan. Mereka sudah sampai Manang, sekitar seminggu perjalanan dari sini, pada ketinggian ribuan meter. Di Manang, karena tubuh mereka tak bisa menyesuaikan dengan keadaan puncak gunung, mereka jatuh sakit. Penyakit ini disebut Acute Mountain Sickness, kalau parah, pembuluh darah bisa pecah bahkan sampai menyebabkan kematian.
Tetapi jalan kembali bahkan lebih susah daripada waktu berangkat. Lereng curam dan terjal yang waktu berangkat dituruni dengan susah payah, sekarang kebalikannya, harus dipanjat dengan lebih susah payah lagi.
“Kalau sampai Manang, jangan menyerah,” kata gadis Belanda itu, “jangan sampai kembali seperti kami. Kalau kau lemah, ingatlah selalu bahwa perjalanan mundur tidak mudah. Ingatlah perjuangan kami yang harus mendaki bukit terjal Bahundanda ini!”
Bukit terjal delapan puluhan meter, harus didaki pada kemiringan nyaris tegak lurus.
Mundur, kalah dalam perjuangan, bukan hanya harus menempuh jalan balik yang lebih berat, tetapi juga harus berjumpa dengan barisan trekker yang masih dipenuhi semangat untuk terus melangkah maju. Seperti saya yang banyak bertanya pada si gadis Belanda, ada lusinan pendaki lain yang menanyakan keadaannya, sebab-sebab ‘kekalahannya’, sambil menaburkan sejumput iba. Yang terakhir ini yang paling tidak menyenangkan.
“Seberat apa pun, tetaplah maju! Jangan sampai mundur seperti kami. Tetaplah berjuang, kawanku!” si gadis itu memberi semangat.
Saya menapak perlahan-lahan menuruni ‘tangga langit’ ini. Ucapan itu seakan menjadi siraman segar pada tubuh saya yang sudah banjir keringat.
Setelah tangga langit, masih ada tangga besi rapuh yang melintasi Sungai Marsyangdi. Jembatan gantung ini berayun hebat ketika diseberangi, sedangkan arus sungai menggelegak marah di bawah sana. Porter barang bersandal jepit, yang hampir tertimbun tubuhnya oleh tumpukan barang yang diakutnya, melenggang santai dibuai ayunan jembatan gantung.
Mungkin porter Nepal adalah yang paling tangguh di dunia. Dalam bahasa Inggris disebut sherpa, walaupun sejatinya Sherpa adalah nama sebuah suku gunung Nepal yang hidup di bagian timur negeri ini, di daerah Everest sana dan bukannya di Annapurna. Sherpa di Annapurna kebanyakan suku Gurung dan Tamang – orang-orang pegunungan tangguh yang menjadi bahan baku tentara Ghurka.
Barang yang diangkut mulai dari sayuran, makanan, sampai lemari kayu, dicangklong di pundak, digantungkan pada kepala. Berat beban, bahkan mencapai 80 kilogram, bertumpu pada kepala.
Karena jalanan di sekeliling Annapurna tak bisa ditempuh kendaraan, porter manusia dan tenaga keledailah yang menjadi alat angkut utama menjangkau dusun-dusun terpencil. Dari arah berlawanan juga ada porter, membawa hasil panen dari puncak gunung ke dusun bawah. Seperti truk barang, porter tak ingin berjalan dari arah mana pun tanpa membawa beban.
Akhirnya kami berdua sampai juga di Ili Bir, melanjutkan jalan sampai ke Sangye, dan beristirahat sejenak di Jagat. Keith tampaknya sudah tak sabar menunggu saya yang jalannya merayap perlahan-lahan.
“Benar kamu dari Indonesia?” seru seorang trekker Jerman. Namanya Jörg, kepalanya botak, badannya kekar. Ia bisa sedikit bahasa Indonesia.
“Saya suka sekali negara kamu. Negerimu sangat indah.” Jörg pernah menghabiskan waktu beberapa bulan berkeliling Indonesia, menyelam di lautan Kepulauan Togean, mengunjungi pulau-pulau terpencil.
Bukan hanya mencintai keindahan negeri Indonesia, Jörg juga menggemari lagu pop terbaru macam Raja dan Ungu.
“Waktu saya naik bus dua hari dua malam di Sulawesi, melintasi kota Poso, sopir bus hanya punya satu kaset. Dari awal perjalanan sampai berakhir, yang diputar hanya kaset Raja itu, berulang-ulang. Akhirnya, mau tak mau, saya pun jadi suka. Malah saya sempat beli beberapa CD untuk kenang-kenangan dari Indonesia.”
Jörg memutuskan untuk ikut berjalan bersama kami. Dua tahun sebelumnya, ia sudah pernah ke sini, tetapi tidak sampai ke Thorung La. Mendekati Manang, pacarnya menderita sakit Mountain Sickness akut sehingga keduanya harus putar haluan. Sepanjang perjalanan, ia terus berkisah tentang pengalamannya di Indonesia, dan ketakjubannya menemukan orang Indonesia yang bisa sampai di pedesaan Annapurna.
“Sekarang, orang Indonesia pun sudah mulai merambah negara-negara Asia.”
Menjelang gelap, kami sampai di dusun Chamje, di sebelah air terjun yang bergemuruh sepanjang hari. Suara air terjun ini mengisi tidur saya. Suara alam yang begitu merdu seakan membisikkan, “Jangan menyerah! Jangan pernah menyerah!”
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 13 Oktober 2008
pengalaman yang menegangkan dan seru kyknya klo mengunjungi tempat2 deket lereng gunung gtu