Tais 29 Agustus 2014: Antara Sihir, Tradisi, dan Gereja (1)
Daerah Morehead di perbatasan Papua Nugini, selain terkenal untuk perburuan kepala, juga terkenal untuk ilmu sihirnya. Orang-orang sini percaya bahwa di balik setiap kematian kerabat mereka pasti ada ulah penyihir jahat yang menjadi penyebabnya.
Contohnya Pali Abai, seorang gadis yang meninggal pada usia lima tahun, yang nisan mungilnya sudah rusak dan hampir tak terlihat lagi karena terkurung rerumputan tinggi di peluaran dusun Tais. Pali meninggal saat berenang di empang di barat dusun. Tidak ada gejala apa-apa, tidak ada gigitan hewan apa pun, tidak juga tenggelam. Lehernya patah, Pali mati begitu saja. Abai ayahnya, seorang pemuda dua puluhan tahun, meyakini bahwa kematian yang tidak biasa ini adalah ulah sanguma—dukun sihir. Namun sayangnya hingga hari ini dia tidak tahu siapa orang jahat yang melakukan sihir kepada anaknya itu, sehingga dia tidak bisa membalas dendam pada siapa-siapa.
Kepala desa Tais, Singai Suku, dulu pernah jadi penyihir, menjelaskan kepada saya bagaimana seorang penyihir bisa membunuh orang lain tanpa menyentuh korbannya. Pertama-tama, kita membutuhkan rambut dari calon korban. Rambut itu kemudian dimasukkan ke dalam rongga gigi buaya. Penyihir kemudian memakai topi bulu kasuari, membubuhkan arang di seluruh wajahnya karena mereka percaya dengan demikian mereka tidak akan dikenali, lalu mereka menjalankan ritual di tengah malam dengan menari dan meniup seruling bambu. Penyihir dengan ilmu tinggi bisa menyebabkan korban sakit-sakitan, bisa mentransfer batu atau pisau yang ada di genggaman tangannya ke dalam perut korban, sehingga akan menyiksa korban itu sampai mati.
Melihat saya bergidik mendengar ceritanya, Singai buru-buru menenangkan. “Jangan khawatir, sihir orang hitam hanya bekerja untuk orang hitam. Kamu orang putih tidak akan mempan oleh sihir di sini.”
Kematian bisa disebabkan oleh sihir. Dan dengan sihir pula mereka bisa mendeteksi siapa pelaku sihir hitam yang menyebabkan sebuah kematian. Pertama-tama, kata Singai Suku, parutlah tulang orang mati dan jahe, campurkan, masukkan ke dalam rongga gigi buaya. Lalu bacakan mantra, dan lemparkan gigi buaya berisi bubuk tulang orang mati dan jahe itu ke angkasa. Benda itu akan terbang, berbunyi pla-pla, dan akan melesat ke mana pun bahkan hingga ke desa-desa tetangga, membidik siapa yang telah menggunakan sihir hitam untuk membunuh almarhum kerabat kita ini. Setelah terbang dan menemukan si pelaku, gigi buaya itu akan terbang kembali kepada kita, dengan membawa rambut atau bagian tubuh si penyihir hitam “si pelaku” itu. Roh dari tulang manusia dalam ramuan gigi buaya itu akan memberitahukan siapa nama dukun penyihir hitam itu. Kita bisa membawa hasil dari ritual gigi buaya ini ke pengadilan.
“Bagaimana jika gigi buaya itu menunjuk pada orang yang salah?” saya bertanya.
Singai menjawab, “Tidak mungkin salah. Hasil ritual ini pasti selalu benar.”
Di Papua Nugini, kelak saya menemukan bahwa ini adalah ritual yang lazim dilakukan dalam upacara kematian. Walaupun almarhum meninggal normal, misalnya karena penyakit TBC (yang sekarang sangat marak di Western Province ini), mereka tetap akan menggunakan ritual itu untuk mencari siapa “si pelaku”.
Sulit bagi saya menerima dengan logika, bahwa hasil dari ritual sihir mendeteksi sihir ini ternyata memang bisa diperlakukan sebagaimana bukti forensik di pengadilan Papua Nugini—sebuah negara yang telah lama memberlakukan Undang-Undang Sihir.
Papua Nugini dengan sihirnya mungkin terdengar eksotik bagi para eksplorer dan misionaris Barat, tetapi bagi saya yang berasal dari Jawa Timur, Indonesia, sihir seperti menjadi bagian tradisi dan kehidupan sehari-hari. Saya pernah melihat sendiri bagaimana orang-orang kerasukan, atau bagaimana dukun komat-kamit memanggil roh sampai mengalami trans. Begitu banyak kejadian magis, yang membuat kita yang tidak percaya takhayul pun seolah dipaksa untuk percaya bahwa kekuatan-kekuatan supranatural ini benar ada. Apa yang disebut sebagai “black magic” di Papua Nugini sini, di daerah saya dikenal sebagai santet. Di daerah tapal kuda Jawa Timur, sepanjang tahun 1998 pernah terjadi pembantaian besar-besaran karena santet. Orang-orang dibantai, dipenggal, dibakar hidup-hidup, dan terjadi pembunuhan misterius yang dilakukan oleh orang-orang berseragam hitam-hitam dan menggunakan tutup muka, yang dikenal sebagai “ninja”. Sebanyak 148 orang tewas di Banyuwangi, 118 lainnya dijebloskan ke penjara karena dituding sebagai dukun santet. Padahal, sebagian besar para korban sama sekali tidak terkait dengan santet, melainkan ulama, guru mengaji, dan pengurus masjid. Dan kemarahan balasan akibat pembunuhan itu ditujukan kepada gereja dan kaum minoritas, sehingga di hari-hari itu kami sekeluarga yang warga etnis minoritas juga tidur dengan celurit dan cangkul siap di bawah kolong ranjang kami—untuk berjaga-jaga apabila ada serangan terhadap kami. Masa-masa mencekam karena sihir itu masih begitu segar bagai memori kemarin sore di benak saya.
Pada tahun 2013, DPR Indonesia menggodok rancangan Undang-Undang Santet untuk mengatur pemidanaan aktivitas magis ini. Beberapa anggota DPR bahkan melakukan studi banding ke Papua Nugini, sebagai sedikit negara di dunia yang memberlakukan UU Sihir. Kenyataannya, UU Sihir di negara ini sering dan begitu mudahnya dijadikan pembenaran untuk aksi balas dendam dengan pembunuhan brutal, sehingga Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill justru berancang-ancang untuk mencabutnya.
Sihir mengakar kuat di Papua Nugini, di mana tradisi pemujaan roh leluhur dan alam masih kental dalam kehidupan masyarakat. Sanguma dituding sebagai penyebab dari semua kutukan, bencana alam, penderitaan di desa, bahkan untuk kematian yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar mereka, seperti kanker atau AIDS atau TBC. Sanguma biasanya akan diadili oleh pendeta atau pastor gereja dan aparat desa seadanya, dengan pengetahuan hukum yang seadanya pula, dan hukuman yang berlaku biasanya adalah hukuman mati yang dilangsungkan di hadapan publik oleh anggota suku. Banyak dukun beserta keluarganya yang dibunuh dalam aksi massa yang sadis dan brutal. Bahkan, hanya karena masalah cemburu, iri, dengki, seseorang bisa dengan mudah dituduh sebagai penyihir, yang kemudian dipenggal kepalanya, atau dikubur hidup-hidup, atau dirajam, atau ditembak, atau diikat pada tiang dan dibakar hidup-hidup. Beberapa perempuan yang dituduh sebagai penyihir juga diperkosa ramai-ramai lalu dibikin cacat. Tudingan sebagai penyihir atau dukun bahkan bisa menyebabkan perang antar suku dan kerusuhan berdarah berkepanjangan di negeri ini.
Tetapi sihir bukan hanya sihir hitam, yang dipakai untuk menyakiti atau membunuh orang. Singai dulu pernah belajar sihir untuk menyembuhkan orang sakit. Gurunya adalah seorang penyihir tua yang menginisiasinya di tengah hutan, di bawah pohon besar. Gurunya itu, sangat tinggi ilmunya, sampai bisa terbang dengan hanya mencampurkan tulang orang mati dan jahe—kata Singai dalam 25 menit saja dia bisa terbang sampai ke Merauke. (Saya percaya, yang dimaksudnya bukan terbang secara fisik, melainkan cuma secara roh) Penyihir itu menaruh tangan di atas kepala Singai, dan berkata kepada pohon itu, “Setan, ini ada orang baru yang akan belajar bersama kita. Namanya Singai Suku.”
Selama berminggu-minggu Singai Suku dan gurunya bertapa di hutan itu. Dia kembali ke desa, bisa dianggap sebagai penyihir pemula. Dia mencoba mempraktekkan ilmu dari gurunya. Dia menempelkan mulutnya pada tubuh pasien, seolah menyedot darah si pasien, yang artinya menyedot semua penyakitnya keluar. Dia ludahkan dari mulutnya. Tapi yang keluar cuma cairan bening. Itu cuma air ludahnya sendiri.
Singai menjerit, “Yesus Tuhanku, kekuatan ini tidak bekerja sama sekali!”
Sang guru mengatakan cara Singai itu keliru. Dia harusnya menjepit jahe putih dengan giginya di dalam mulut, juga batu dan beberapa daun-daunan. Jadi ketika dia “menghisap darah” dari tubuh pasien, dia harus lontarkan semua benda dalam mulutnya itu keluar. Si pasien tentu akan terkejut, mengira ada batu dan segala macam benda aneh keluar dari dalam tubuhnya. Sang sanguma kemudian akan berkata kepada pasien, “Jadi inilah benda-benda dari dalam perutmu yang bikin kau sakit.” Dengan demikian pasien itu akan percaya, dan kepercayaannya itulah yang akan menyembuhkannya.
Jadi “sihir putih” itu hanya sebuah efek plasebo?
“Kami para penyihir sebenarnya cuma memberi iman pada pasien,” kata Singai, “Pasien sembuh bukan karena sihir atau obat, tetapi kekuatan dari dalam dirinya sendiri.” Dan si penyihir mendapat upah karena itu. Singai berpikir, ini tak lebih dari sebuah cara untuk mencuri. Sejak itu Singai meninggalkan sihir, dan berpaling ke gereja.
Lebih dari 96 persen penduduk Papua Nugini adalah penganut Kristen, dan kebanyakan mereka beralih dari agama tradisional menjadi Kristen hanya dalam beberapa puluh tahun terakhir. Di daerah selatan Western Province, gereja yang paling dominan adalah Evangelical Church of PNG (ECPNG).
Salah satu pelopor utama penyebaran Kabar Baik di kawasan pesisir selatan ini adalah Grahame Martin, seorang veteran Perang Dunia II dari Australia. Dalam buku memoarnya tentang kanibalisme dan perburuan kepala di Papua Nugini—yang dikisahkan Singai kepada saya—Grahame menceritakan bahwa dia pernah bertatap muka dengan seorang penyihir ternama dari Kavinanga, di daerah aliran tengah Sungai Fly. Semua orang memberitahu Grahame Martin bahwa penyihir Kavinanga itu sangat berbahaya, orang bisa mati hanya dengan bertatap mata langsung dengannya.
Pagi-pagi, Grahame justru pergi ke rumah penyihir itu untuk mengucapkan selamat pagi.
Penyihir itu berkata, “Aku akan menyihirmu.”
Grahame menjawab, “Silakan lakukan apa pun yang menyenangkanmu.”
Malam itu, penyihir itu teramat sibuk dengan semua mantra dan ramuannya, menjalankan ritual dari pukul delapan malam hingga pukul tiga pagi. Di saat bersamaan, Grahame bersujud di sudut kamarnya, berlutut dan memohon perlindungan dari Yesus yang dia imani.
Sihir itu tak mempan atas diri Grahame. Keesokan harinya, Grahame pergi lagi ke rumah penyihir itu, kembali untuk mengucapkan selamat pagi. Di hadapan Grahame, penyihir itu mengaku kalah, mencampakkan semua perlengkapan sihirnya. Sejak saat itu, penyihir itu menjadi Kristen.
Demikianlah satu per satu dusun di daerah Morehead dan aliran Sungai Fly meninggalkan kepercayaan tradisional mereka, menghentikan pemujaan terhadap leluhur dan ritual-ritual inisiasi tradisional, lalu menjadi Kristen. Di Tais, Grahame juga menghentikan tradisi cerita rahasia (baca: Lelaki dan Cerita) yang disampaikan turun-temurun untuk para lelaki dewasa, dan ini seketika menghentikan tradisi magis yang merupakan cara hidup warga sini.
Masalahnya, Gereja Kristen bukan hanya menghentikan tradisi yang berhubungan dengan sihir, pemujaan roh, dan pembunuhan manusia; tetapi menganggap bahwa semua tradisi lokal di sini berhubungan dengan kegelapan sehingga semuanya harus dilarang. Semua tradisi, tanpa terkecuali. Gereja ECPNG termasuk yang paling ketat dalam hal ini: melarang tari-tarian, melarang lagu selain lagu gereja, melarang minum alkohol, melarang pakaian tradisional (yang mendekati telanjang), juga melarang semua pekerjaan dan perjalanan di hari Minggu.
Singai Suku setuju bahwa budaya kejam harus dihentikan, tetapi dia mengkhawatirkan menghentikan semua budaya juga adalah sebuah pembunuhan—membunuh budaya Papua berarti membunuh orang Papua. Sekarang anak-anak sudah tidak tahu lagi bagaimana nenek moyang mereka dulu menyanyi dan menari. Mereka bahkan menertawakan tari-tarian adat leluhur, menganggap berpakaian dan berlenggak-lenggok seperti itu adalah sebuah kebodohan dan dosa. Anak-anak tidak mengagumi leluhur mereka lagi, yang sering digambarkan primitif, terbelakang, kanibal pemburu kepala. Mereka kini malah sibuk bermain rugby dan basket sambil mengidolakan atlet-atlet Australia.
Istri Singai adalah seorang guru Sekolah Dasar. Nyonya Singai bercerita bahwa Departemen Pendidikan Papua Nugini mengimbau agar sekolah-sekolah mengajarkan tarian tradisional, supaya budaya lokal tidak punah. Tetapi ketika dia mengajarkan anak-anak menari, pendeta di desa ini menghentikan mereka. Orangtua murid juga protes, memarahinya karena mengajarkan budaya pada anak-anak mereka. Mempertahankan budaya dianggap sebagai dosa.
“Kami adalah bangsa yang hidup dengan tradisi tumbuna (nenek moyang),” kata Nyonya Singai, “Dulu, tradisi kami ketat melarang hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui ritual, dan laki-laki baru boleh kawin sesudah umur 15. Kalau ada orang yang melanggar, hukumannya jelas: mati. Sekarang Gereja mengajarkan cinta kasih dan pengampunan. Apa akibatnya? Anak-anak sekolah di bawah umur 12 tahun sudah berhubungan seks, mereka mau meniru kebiasaan kalian orang putih. Banyak anak gadis melahirkan bayi tanpa bapak.”
Memang, di Papua Nugini, saya menemukan banyak sekali gadis di bawah umur yang punya anak dari hubungan di luar nikah. Ada yang karena berpacaran suka sama suka, tetapi banyak juga yang merupakan hasil perkosaan. Menurut laporan Lowy Institute Sydney, sekitar 70 persen perempuan Papua Nugini pernah mengalami kekerasan seksual. Di ibukota Port Moresby, dengan raskol yang merajalela dan menjadikannya kota paling berbahaya di dunia, sekolah bisa saja tiba-tiba dihentikan karena ibu gurunya dirampok atau diperkosa. Singai dan istrinya percaya, semua kekacauan Papua Nugini sekarang, termasuk masalah raskol dan kekerasan seksual, adalah karena orang Papua meninggalkan tradisi leluhur.
Yang paling membuat Singai dan istrinya malu adalah ketika orang-orang Marind dari Merauke, Papua di sisi Indonesia, datang ke Tais dan bertanya pada mereka, “Mana budaya kalian? Mana kendang-kendang kundu kalian?” Singai hanya bisa menunduk dan menjawab, “Kami sudah tidak punya.”
“Dulu kami memang punya sihir, tetapi kami masih orang Papua,” kata Singai, “Sekarang, kami tak punya lagi ikatan dengan tumbuna kami, nenek moyang kami. Kami orang hitam tapi kehilangan budaya orang hitam, kami mengadopsi budaya orang putih tapi takkan pernah bisa menjadi orang putih. Kami bukan siapa-siapa.”
Semakin Menarik Alur ceritanya…..
Akar yg hilang …
serem. seru. prihatin
Izin share kak 🙂 ?
Dyana Czessny Silakan kak. dengan senang hati
Makasih kak 🙂
Suka dg tampilan web yg baru. Lebih mobile friendly. Karena web nya mas Agus jd web wajib buka setiap hari.
Saya juga ikut bergidik Mas, karena membayangkannya pun ngeri…
Yaallah.. semua ceritanya bikin kita jd tambah ngrasa kalo kita cuma titik kecil :3
That was so crazy bang agustinus wibowo, pengalaman yg sungguh amat sgt kereeen
Seneng plus sedih
selalu menunggu hal-hal menakjubkan yang bakal kamu tuliskan.
mas agus saya ijin copy foto poster layanan masyarakatnya ya…kapan rencana ke jember?