Garis Batas 15: Tajikistan Sudah Kuat
Impian orang-orang desa, baik di Tajikistan sini maupun di Afghanistan sana, tentang sebuah pertemuan kembali, masih berupa impian. Bazaar bersama yang disambut dengan penuh suka cita itu ternyata hanya buka sekali saja. Jembatan kembali disegel, dijaga ketat oleh penjaga perbatasan yang tak kenal kompromi.
Tiga bulan lalu, saya mengintip-ngintip Tajikistan dari seberang sana. Bersama dengan para petinggi Afghan yang penuh dengan mimpi dan harapan. Saya melihat secuil Tajikistan: beberapa tentara Tajik yang dengan fasih berbicara bahasa Persia, menandatangani surat-surat dan mengucapkan selamat kepada Shah dari Panjah. Saya datang kembali ke jembatan ini. Kali ini dari sisi Tajikistan, mengintip-intip Afghanistan yang berupa barisan gunung gundul di seberang sana.
Tempat ini sepi. Mati. Tentara perbatasan Tajikistan menjaga rapat-rapat pintu gerbang menuju jembatan. Mereka juga perlahan-lahan dibunuh kesepian dan kebosanan. Tentunya tentara-tentara muda ini datang ke sini bukan karena pilihan mereka. Sebagian besar mereka datang dari tempat-tempat yang jauh. Ada yang dari kota modern Dushanbe, ada yang dari kota Khojand jauh di utara sana. Mereka datang ke sini karena terpaksa.
Anak-anak muda ini sedang menjalani wajib militer. Di Tajikistan semua pemuda wajib mengikuti program ini selama dua tahun penuh, dan harus siap ditempatkan di mana-mana di seluruh pelosok negeri ini yang hampir seluruh wilayahnya termasuk daerah terpencil. Yang beruntung bisa ditugaskan di kota besar macam Dushanbe. Yang tidak beruntung, termasuk di antaranya, datang ke Langar menjaga sebuah jembatan kayu.
Barak militer yang ditempati para tentara muda di sebelah jembatan, adalah sebuah bangunan kubus kecil dari batu yang dicat putih. Pintunya sudah reot. Dingin dan gelap. Bukan tempat tinggal idaman pastinya. Anak-anak muda yang ditugaskan di sini sebenarnya cukup beruntung. Selain mendapat seragam gratis, makanan dan tempat tinggal cuma-cuma, mereka masih mendapat upah. Satu sampai dua dolar per bulan.
Saya kembali memandang ke seberang sana. Barisan gunung-gunung gundul di tempat paling terpencil dalam sebuah negara yang termasuk urutan terakhir dalam daftar tempat impian wisata. Orang-orang masih hidup dalam kegelapan. Tak ada listrik. Tak ada jalan raya. Bahkan umur sendiri pun tak ada yang tahu karena tidak pernah sekolah. Perang berpuluh-puluh tahun telah mengunci daerah seberang sungai sana dalam dunianya sendiri.
Sedangkan di Langar sini, tak banyak pula mimpi yang ditawarkan. Daun-daun kuning berguguran sepanjang jalan beraspal mulus. Bocah-bocah belajar dengan riang di sekolah mungil di punggung bukit. Orang-orang mulai sibuk membajak sawah untuk mempersiapkan lahan untuk ditanami di musim semi nanti. Memang cantik. Tetapi hidup di sini tak secantik kelihatannya. Langar, bersama GBAO dan negeri terisolasi berjudul Tajikistan, bukanlah negeri impian seperti yang diidam-idamkan orang dari seberang sungai sana. Sebagian besar orang tak punya pekerjaan. Uang tak ada sedangkan harga barang-barang terus melambung tinggi. Kelaparan, ambisi-ambisi yang dicampakkan oleh takdir, dan kebosanan hidup dalam kesunyian, terus membayangi desa-desa terpencil di Tajikistan.
Ketika pasar internasional dibuka di Langar, menghubungkan desa ini dengan Ghoz Khan di Afghanistan sana, saya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat orang-orang begitu antusias? Di sebelah sini adalah desa terpencil penuh dengan pengangguran. Di seberang sana adalah dusun-dusun yang masih hidup dalam buntalan masa lalu. Apa yang bisa diperdagangkan?
Kenyataannya pasar ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Ada orang-orang yang terharu biru dalam reuni keluarga, seperti Yodgor, Gulchera dan Wali Jon. Ada para saudagar potongan besi Tajikistan yang laris pembeli. Ada rombongan penunggang keledai, kuda, dan penumpang truk dari Afghanistan sana. Yang datang dari Afghanistan hanya laki-laki. Orang sana berpendapat, siasar, si kepala hitam – bagaimana orang Afghan menyebut kaum wanitanya, memang sebaiknya tinggal di rumah saja.
Lalu mengapa bazaar yang disambut dengan penuh suka cita ini hanya berlangsung sekali? Tilo, seorang komandan perbatasan Tajikistan menjawabnya.
“Kami terpaksa menghentikan bazaar ini karena kurang fasilitas. Tidak ada bea cukai, kontrol paspor, karantina. Tugas saya hanya menarik pajak dari para pedagang. Saya hanya tentara, bukan pengambil keputusan. Tetapi semua orang memang berharap bazaar ini bisa dibuka lagi. Kapan? Tidak ada yang tahu.”
Tilo, namanya berarti emas, giginya pun sudah mulai berlapis emas. Tilo ternyata masih ingat saya. Dia adalah secuil Tajikistan yang pernah saya lihat tiga bulan lalu dari seberang sungai sana. Bersama seorang petinggi Tajikistan, dia menyeberangi jembatan itu, bersalam-salaman dengan Shah raja dari Panjah dan pejabat Afghanistan. Saya sempat memotret-motret gambarnya. Dia masih ingat, tiga bulan lalu ada orang asing yang ikut bersama rombongan Shah. Namun sama sekali ia tak menyangka, si orang asing ini kini duduk di hadapannya, di ruang makan keluarga itu yang samar-samar, berbincang-bincang tentang suatu masa tiga bulan yang lalu.
Jembatan ini, lanjut Tilo, adalah salah satu ambisi besar sang pemimpin umat, Aga Khan, untuk membawa kemajuan kepada umat Ismaili dari lembah Wakhan. Dengan jembatan-jembatan baru yang dibangun, keluarga-keluarga yang terpisah karena perbatasan internasional bisa bersatu kembali. Barang-barang murah dan modern produksi China pun bisa mengalir dengan lancar, tanpa harus memutar jauh melewati Pakistan dan Afghanistan. Pembangunan pun pelan-pelan akan merambah daerah-daerah terpencil di sini. Memang sebuah cita-cita yang indah.
Tetapi semua tidak mudah. Negara di seberang sungai sana terkenal akan produksi opium, ganja, senjata, dan ekspor terorisnya. Belum lagi perbatasan kedua negara yang hanya berupa sungai saja, yang mudah diloncati para penyelundup.
“Itu dulu,” sanggah Tilo, “antara tahun 1993 dan 1995, ketika gara-gara perang negara kami sangat lemah. Tetapi sekarang, Tajikistan sudah kuat. Kamu lihat, tentara-tentara Tajikistan dengan gagah berpatroli sepanjang sungai. Gaji saya 100 dolar per bulan. Semua tentara mendapat fasilitas gratis dan upah. Kami sudah kuat. Dan Afghanistan juga sudah kuat.”
Daun-daun kuning keemasan terus berguguran, menyelimuti jalan beraspal. Negeri ini sudah kuat. Kebanggaan seorang tentara Tajikistan itu terus terngiang-ngiang dalam benak saya. Saya terus memandang ke seberang sungai sana, melayangkan kembali angan saya bersama dongeng-dongeng tentang Tajikistan, tentang sebuah negeri impian seberang sungai, yang masih bertaburan di dalam benak orang-orang Afghan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Maret 2008
Leave a comment