Titik Nol 55: Tentara Kerajaan
Macam-macam cara orang menikmati perjalanan. Ada yang bersantai, menikmati setiap pemandangan yang terhampar di sekeliling. Ada yang terburu-buru, mengejar target yang dipasang sendiri. Ada yang sambil bermeditasi, merenungi setiap detail yang ditampilkan oleh alam. Perjalanan hidup pun tergantung bagaimana kita ingin menikmatinya.
Namanya Rob, tingginya lebih dari 180 sentimeter, kekar dan gagah. Asalnya dari Amerika Serikat. Matanya biru, wajahnya tampan. Lulusan Phd dari salah satu universitas terbaik di muka bumi – Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Dia datang ke Danakkya ketika langit sudah mulai gelap, ikut bergabung dengan kami menginap di Hotel Snowland di dusun ini. Pemondokan di sepanjang Annapurna memang punya nama garang-garang, menawarkan misteri dari puncak salju Himalaya.
“Hey man, saya berencana mengelilingi Annapurna dalam waktu satu minggu saja. Ini adalah hari kedua saya,” kata pendatang baru itu.
Jörg langsung berseru,
“Satu minggu? Kamu gila? Kamu bisa mati kalau tubuh kamu tidak teraklimatisasi dengan perubahan ketinggian yang tiba-tiba!”
Kami sudah menghabiskan empat hari dengan melenggang santai baru sampai di sini.
Jörg berkisah, ketika ia menginap di Pokhara, ada turis Jepang yang baru saja datang dari mengelilingi Sirkuit Annapurna. Rupanya orang Jepang ini bertaruh dengan kawannya, siapa yang bisa menyelesaikan putaran ini dalam waktu paling singkat. Alhasil, ia hanya terus maju dan maju, berangkat dari Pokhara berjalan kaki sampai ke puncak Thorung La, kemudian turun lagi ke arah timur sampai Pokhara kembali, semuanya hanya dalam waktu satu minggu. Ia tak tahu mengapa, sewaktu di puncak sana hidungnya mimisan dan dari telinganya bisa keluar darah. Kepala pusing tidak karuan. Ia tidak pernah mendengar apa itu Acute Mountain Sickness.
“Orang Jepang itu sudah begitu dekat dengan kematian, tetapi ia tak menyadarinya!”
“Seseram itu kah?” Rob ternganga. Ia pun tak menyadari bahayanya mengejar waktu menyelesaikan lintasan ini.
Esok paginya, rombongan kami sudah menjadi empat orang. Rob rupanya terpengaruh dengan omongan Jörg, memutuskan untuk berjalan perlahan-lahan bersama kami bertiga yang selalu berjalan dengan mode slow motion. Bahkan, lulusan MIT yang sedang mengejar waktu itu, sekarang melahap sarapan omelet dengan santai, belajar menikmati setiap kunyahan.
Jalanan mendaki curam, melintasi hutan hijau yang lebat. Kami mendaki terus, perlahan-lahan, sampai ke desa Thanchok. Di mana-mana terdengar dentuman ledakan keras. Ada pria berteriak-teriak, meminta kami untuk melintas cepat-cepat. Mereka sedang meledakkan dinamit untuk membangun jalan, dan ledakan itu menimbulkan longsor di mana-mana.
Hutan ini sangat ajaib. Di tengah hutan rimbun, ada sepotong jalan beraspal mulus. Ujung dan pangkal semuanya di hutan. Bukan hanya sepotong sebenarnya, tetapi ada beberapa. Entah ini jalan dari mana menuju ke mana, saya tak yakin lintasan Annapurna yang mendaki begitu curam dan terjal bisa dilintasi kendaraan bermotor. Ataukah memang akan terjadi, sehingga di tahun-tahun mendatang, generasi penerus trekker tak perlu lagi bersusah payah berjalan kaki, cukup dengan menumpang mobil dari Pokhara sepanjang lintasan?
“Itulah dilema negara miskin,” kata Jörg, “Di satu sisi, mereka butuh pembangunan, untuk mensejahterakan rakyatnya. Di sisi lain, begitu negara mereka sudah mulai modern, turis-turis yang hanya mencari tempat ‘eksotik’ akan serta-merta meninggalkannya. Turisme ke negara-negara seperti ini mengundang rombongan turis yang menggemari menonton ‘kemiskinan’, ‘keterbelakangan’, ‘kehidupan tradisional’, eksotisme masa lalu yang sudah lenyap di negara mereka sendiri.”
Rob sudah mulai tidak kerasan dengan rombongan kami yang merayap, penuh diskusi dan penikmatan pemandangan. Ditambah lagi saya yang butuh waktu begitu lama untuk turun bukit, setapak demi setapak supaya tidak terkilir. Rob sudah jalan jauh di depan, tetapi ia masih menunggu kami bertiga.
Gerbang Dusun Chame dijaga ketat oleh sekelompok tentara. Security Check Point, demikian tertulis di dekat pintu gerbang. Para turis diminta mengisi buku tamu, untuk mengontrol siapa saja yang sampai ke sini.
“Jangan khawatir,” kata seorang tentara muda berbaju hijau loreng-loreng, “Di sini Maois tidak akan berani menjarah. Di sini aman. Kami adalah tentara kerajaan.”
Usianya masih muda, masih belasan tahun, tetapi sudah pegang bedil. Kawannya pakai seragam loreng juga, tetapi warna biru. Bedilnya pun berbeda jenis.
“Ada tiga macam pasukan kemanan di sini,” kata bocah tentara itu, “tentara, polisi, dan polisi-tentara.”
Melihat bocah belasan tahun begini sudah pegang bedil dan mengklaim sebagai penjaga keamanan yang tangguh, cukup menimbulkan tanda tanya juga. Selain selalu tersenyum dan bersenda gurau, mereka juga masih senang bermain-main dengan para turis, minta dipotret dalam berbagai pose dengan bedil mereka. Kalau Maois benar-benar menyerang, apakah mereka sanggup menghadapi?
Setelah mengisi buku tamu, kami berencana beristirahat di dusun ini saja, dan baru melanjutkan perjalanan esok pagi. Tetapi kecepatan berjalan kami yang hanya merayap benar-benar sudah tak bisa lagi ditolerir oleh Rob yang mengejar target. Ia memutuskan untuk terus berjalan ke desa berikutnya.
“Istirahatlah,” kata Oi Lye membujuk, “Bukankah desa ini indah sekali?”
Rob bersikukuh.
“Tidak. Saya harus cepat-cepat sampai ke Manang. Di sana nanti saya bisa menelepon my boyfriend di Amerika. I miss him very much.”
Rasa kangen yang tak terhingga kepada cowoknya itu yang membuatnya terus melangkah maju, melesat naik turun bukit, menuju garis akhir perjalanan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 17 Oktober 2008
gay ya si rob ?
Kangen cowoknya ?