Titik Nol 64: Darah, Darah, dan Darah
Dengan jumlah dewa yang melebihi jumlah penduduknya, Nepal adalah negeri yang penuh dengan festival. Hari ini adalah puncak perayaan dua minggu penuh bagi Dewi Durga. Negeri ini dibasuh dengan darah.
Dasain adalah festival terpenting sepanjang tahun bagi rakyat Nepal. Berasal dari kata das yang berarti sepuluh, hari terpenting Dasain adalah sepuluh hari pertama di bulan Kartika. Dikisahkan dalam legenda Ramayana, pada hari Dasain ini, Rama berhasil menaklukan Rahwana yang menculik Shinta di pulau Lanka (sekarang Sri Lanka). Dewa yang paling dipuja dalam perayaan Dasain adalah Dewi Durga, dewi perang manifestasi Parwati istri Dewa Penghancur – Syiwa. Di hari Dasain, Durga berhasil menaklukan Mahisasura, siluman berkepala kerbau.
Terlepas dari legenda Tantrisme Hindu, Dasain juga merupakan perayaan menyambut musim panen, berkumpulnya keluarga sanak keluarga, serta perayaan festival layang-layang dan ayunan.
Perayaan utama Dasain jatuh pada hari ketujuh hingga kesepuluh. Di hari ketujuh, pada perayaan Fulpati, kota Gorkha mengirimkan kereta bunga ke istana di Hanuman Dhoka Kathmandu. Saya tak sempat menyaksikan peristiwa ini karena sedang dalam kendaraan dari Pokhara menuju ibu kota. Tetapi, suasana kemeriahan sudah terasa. Penumpang bus yang saya tumpangi bukan hanya manusia yang penuh sesak, tetapi juga kambing jantan yang tak berhenti mengembik ketakutan. Seorang perempuan desa dan dua anaknya dengan gembira mengatakan bahwa mereka akan mengorbankan kambing-kambing peliharaan untuk puncak perayaan Dasain esok hari.
Semua hewan malang yang terikat tali di pasar dan lapangan akan mengalami nasib yang sama esok hari – disembelih sebagai sesaji untuk Dewi Durga.
Hari kedelapan, Maha Astami, mungkin bukan untuk semua orang. Di hari kurban ini, Nepal berbasuh darah. Pagi-pagi, saya sudah berada di lapangan Hanuman Dhoka. Bukan hanya umat Hindu dan pandita yang sudah memenuhi lapangan kuno ini, tetapi juga kerbau dan kambing.
Di tengah lingkaran, dua orang pandita dikelilingi bunga-bungaan sesaji dan jamara – rumput hijau perlambang kesuburan musim panen. Semerbak asap dupa mengiringi mantra suci. Kerbau malang digiring ke dalam lingkaran, dan sang jagal pun siap.
Maha Astami dimulai dengan penyembelihan delapan ekor kerbau dan 108 ekor kambing jantan di tengah malam. Penyembelihan massal masih berlangsung sepanjang hari. Yang menyembelih adalah orang-orang pilihan, dari kasta pilihan pula, dan punya teknik yang tak biasa. Mereka harus menyembelih hewan-hewan kurban dalam sekali tebas.
Kerbau yang hendak disembelih umumnya sudah membaca nasib yang akan mereka hadapi. Begitu leher mereka diikat dengan tali pada sebuah pasak, hewan malang itu terus menggeleng, menggesek-gesek kepala ke tiang, berayun-ayun, bergerak liar, sedikit pun tak mau diam. Sang jagal, dalam keadaan hewan yang tak tenang ini, harus tetap melaksanakan tugasnya dalam sekali tebas. Salah satu taktiknya adalah mengiming-imingi kerbau dengan rumput. Begitu kerbau tertunduk menikmati rumput terakhirnya, nasibnya pun berakhir. Di sini saya menyadari betul arti peribahasa ‘bagai kerbau dicocok hidung’.
Croot…. darah segar tersembur dari potongan leher kerbau, ketika khora – pedang bengkok besar menebas hewan itu. Kaus putih sang jagal kini terpercik cipratan darah. Kepala kerbau terlempar. Badan hewan tanpa kepala terus menggelinjang.
Potongan kepala kerbau, dengan seringai seramnya yang melukiskan kesakitan tiada tara, kini sudah bersanding dengan dupa dan bunga-bungaan. Pandita melantunkan mantra kepada Dewi Durga. Badan tanpa kepala hewan itu digeret dari pasak, berputar membentuk lingkaran spiral. Leher putus itu mengguratkan lingkaran darah di atas pelataran Hanuman Dhoka.
Setelah kerbau, disusul kerbau-kerbau lainnya, kini giliran kambing. Dibanding kerbau yang besar, kambing lebih polos. Tampaknya mereka tak tahu akan takdir yang akan mereka terima hari ini. Setelah diikat ke pasak, mereka malah asyik melumat sejumput rumput yang sengaja ditaruh di sana. Di tengah kenikmatan itu, sang jagal melaksanakan tugasnya. Sekali tebas. Merah di mana-mana.
Di lapangan luas ini, di mana umat berkerumun, di situlah penyembelihan hewan-hewan bagi Dewi Durga berlangsung. Dewi perang ini di hari Dasain tampil dalam manifestasinya yang paling haus darah – Kali.
Dewi Kali selalu digambarkan sebagai makhluk seram dengan lidah terjulur, tangannya yang banyak membawa potongan kepala manusia, dan kalungnya dari untaian puluhan tengkorak. Dewi Kali, perwujudan Durga dan Parwati, istri sang Syiwa, memang figur yang menakutkan sekaligus menjadi pujaan umat Hindu. Darah yang sekarang membanjiri pelataran Hanuman Dhoka ini adalah untuk memenuhi nafsunya.
Bukan hanya kerbau dan kambing, ayam pun ikut dikurbankan di hari Maha Astami ini, mulai dari lapangan Hanuman Dhoka hingga pedesaan sekitar Kathmandu. Sesaji bukan hanya di depan altar dan ruang Durga Puja, tetapi juga di depan semua kendaraan bermotor. Kendaraan yang disembahyangi dengan darah di hari Dasain akan terhindar dari kecelakaan. Di hari ini pulalah, pesawat terbang Nepal Royal Airlines juga mendapat sesaji darah segar kerbau gemuk.
Bau anyir darah tersebar di mana-mana. Tetapi Dasain masih punya warna lain. Bocah-bocah bermain ayunan raksasa, menyambut datangnya Dasain. Pandita menempelkan tika, pertanda keberuntungan, ke atas dahi para umat setelah membaca mantra suci, diawali dulu dengan raja dan keluarganya di dalam istana.
Darah, keberuntungan, kebersamaan, tawa ria, bunga-bungaan, keikhlasan, semua berpadu dalam hiruk pikuk Dasain.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 30 Oktober 2008
Leave a comment