Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno
Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini?
Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun.
Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer.
Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan berpakaian warna-warni yang begitu keras menusuk mata menambah kontras kota ini.
Di antara kekunoan itu, modernitas dunia pun berpadu. Orang-orang bule menyusuri jalan, menjepretkan kamera ke segala arah. Toko burger menawarkan makanan nikmat ala barat. Toko buku menjual novel bekas dengan harga miring, peninggalan para backpacker. Internet juga bertebaran di sebelah kuil kuno ratusan tahun. Hotel berlomba-lomba menarik perhatian turis asing dengan papan nama besar, menunjukkan tempatnyalah yang paling bagus, paling direkomendasikan dalam ‘kitab suci’ berjudul Lonely Planet, paling antik, paling nyaman untuk ditinggali.
Waktu kami di bus tadi, ada calo hotel yang membagi kartu nama penginapan di Pushkar. Turis yang datang ke India tentu tak akan pernah lepas dari caloisme. Dari para calo inilah hotel dan rumah makan di India bisa menarik turis sebanyak-banyaknya. Beberapa calo sangat aktif, melakukan teknik jemput bola mencari pelanggan.
“Hotel kami sangat murah,” kata pria yang membagikan kartu nama penginapan di Pushkar ini, “Hanya 150 Rupee saja. Sekarang semua hotel di Pushkar harganya melonjak karena festival unta sudah dekat. Mengapa hotel kami murah? Karena kami masih baru, belum terdaftar di Lonely Planet.”
Hah! Buku itu lagi. Justru kami tak peduli dengan penginapan yang terdaftar di buku itu. Penginapan di India tersebar di mana-mana, kita tak perlu terlalu tergantung panduan buku. Yang menjadi prioritas kami sebenarnya harga yang murah dan sesuai untuk ukuran kantong kami yang cekak.
“Annyonghaseyo…,” sapa pemilik sebuah hotel di gang kecil Pushkar, menyangka kami orang Korea. Begitu mendengar kalimat itu, Lam Li yang sudah bosan dipanggil Korea atau Japani sepanjang hari, tanpa ba bi bu lagi langsung melangkah pergi.
Di losmen lainnya, sebuah rumah kuno berwarna biru milik keluarga kasta Rajput, menawarkan sebuah kamar yang gelap namun lapang. Harganya semula hanya 40 Rupee, tetapi mulai besok akan naik jadi 450 Rupee karena festival unta dimulai.
“Bagaimana mungkin bisa naik sepuluh kali lipat dalam satu hari?” seru Lam Li tak percaya.
“Madam,” kata wanita berkerudung merah pemilik losmen, “festival unta dimulai dan semua harga hotel di Pushkar naik berlipat-lipat. Kami ini sudah termasuk yang paling murah.”
Beberapa penginapan kami singgahi. Semuanya mematok harga yang tak masuk akal. Beratus-ratus Rupee hanya untuk kamar gelap dan kecil yang biasanya juga tak lebih dari puluhan Rupee. Walaupun penginapan ada di mana-mana, mencari yang murah di hari festival seperti ini sungguh tak mudah.
Sampai akhirnya kami sampai di penginapan besar tersembunyi dari jalan utama. Namanya losmen “Yess Please – Taddy is Here”. Siapa itu Taddy? Tak usah dipikir. Setidaknya kamarnya di atas loteng masih murah, 150 Rupee dapat kamar mandi dalam. Tetapi, besoknya kami harus pindah ke tenda, karena harga kamar akan berlipat-lipat menjadi seribuan.
Siapa yang mau tinggal di tenda di atas loteng? Kami akhirnya berhasil merayu Raja, si pemilik penginapan, untuk mengizinkan kami tidur di lantai saja, asal masih di dalam rumah.
“Justru tenda ini yang mahal,” kata Raja, “turis rela bayar 20 sampai 30 dolar untuk menginap di tenda. Ini adalah pengalaman Pushkar yang tiada duanya…”
Tinggal di tenda di padang pasir, saya masih bisa mengerti. Tetapi tenda di atap rumah, di loteng lantai dua? Hanya turis bodoh yang mau bayar mahal-mahal untuk ‘pengalaman Pushkar’ macam ini. Tetapi toh besoknya, ada juga rombongan turis Perancis yang menginap di sana.
Sambil menyeruput teh, Raja berkisah betapa hari festival adalah masa terbaik di Pushkar. Orang Pushkar tak perlu lagi payah bekerja. Kaki tak perlu dihentakkan, cukup diongkang-ongkang saja. Uang jatuh sendirinya dari langit. Saat inilah, para pemilik rumah bisa menyewakan propertinya dengan harga melambung. Puluhan ribu orang berbondong-bondong ke Pushkar, permintaan jauh melebihi penawaran, hanya ada untung yang terpampang di depan mata. Raja bilang, dari hotel dan beberapa petak tokonya yang disewakan semasa festival sepuluh hari saja ia bisa mengeruk untung 200.000 Rupee, lebih dari lima ribu dolar.
“Ketamakan,” Lam Li mendengus, “hanya ketamakan yang melingkupi kota ini.”
Kami mendengar turis Perancis yang tinggal di tenda menjerit marah. Raja baru saja menaikkan lagi harga sewa tenda di atas loteng, ‘pengalaman unik Pushkar’, menjadi 650 Rupee. Kepalanya cuma dipenuhi gemerincing duit yang tak henti mengalir.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 20 November 2008
Orang India di negerinya kemaruk di Indonesia terkenal pelit