Suwame 13 September 2014: Saya Bukan Bos
Sudah hampir seminggu berlalu sejak saya meninggalkan Daru dalam perjalanan menyusuri Sungai Fly. Namun saya baru mencapai perhentian kedua, Lewada, yang hanya sekitar 50 mil dari mulut sungai, sementara Kiunga—tujuan akhir perjalanan ini—masih 400 mil lagi. Sulitnya transportasi di Sungai Fly mulai membuat saya takut.
Cara perjalanan saya adalah dengan menumpang perahu penduduk dari desa ke desa. Semula saya kira, antara desa-desa di sini bakal banyak perahu hilir mudik. Ternyata tidak. Warga sepanjang Sungai Fly memang berperahu setiap hari, tetapi itu hanya untuk pergi ke ladang, berburu, atau menangkap ikan. Untuk perjalanan jarak jauh mereka hanya pergi ke Daru yang merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan. Mereka hampir tidak pernah pergi ke desa lain, apalagi yang berbeda bahasanya (di negara dengan 820 bahasa ini, bahkan desa yang paling berdekatan pun bahasanya bisa berbeda total).
Sudah dua malam saya menginap di Lewada, di rumah seorang guru desa. Kekhawatiran saya semakin menjadi ketika matahari telah meninggi, dan arus pasang telah membuat sungai yang dasarnya mengering dan menjadi bantaran pasir itu kini telah kembali ke wujud aslinya: sungai raya tak bertepian dan bergejolak hebat. Entah kapan penantian berakhir, tetap tak ada perahu.
Bagaimana pun juga hari ini saya harus mencapai Dewara, yang sekitar dua jam perjalanan dengan kano. Saya tahu, besok bakal ada satu dinghy (perahu speedboat) dari sebuah LSM kenalan saya di Daru akan singgah di Dewara dalam perjalanan mereka menuju Suki, sebuah pos pemerintahan pada mil ke-120 dari mulut sungai.
Menjelang jam makan siang, Gerry si guru SD tuan rumah saya itu berlari tergopoh-gopoh sambil berteriak. “Cepat! Ada perahu mau berangkat!”
Rupanya ada satu perahu yang datang dari arah Daru singgah di Lewada karena kehabisan bahan bakar. Namun tujuan mereka adalah Suwame, desa berikut yang terletak tepat sebelum Dewara. Masalahnya, Suwame bukan berada di tepian aliran utama Sungai Fly, melainkan berbelok ke pedalaman kali kecil di percabangan sungai.
“Tetapi saya tidak mau ke Suwame,” kata saya, “Jangan-jangan saya terperangkap di sana dan tidak bisa ke mana-mana lagi.”
“Jangan khawatir,” kata Gerry, “Dewara sangat dekat dari Suwame, bahkan bisa terlihat dengan mata telanjang.”
Gerry telah bernegosiasi dengan pemilik perahu itu, dengan menekankan bahwa saya adalah tamu istimewa yang harus diantar sampai ke Dewara. Karena permintaan khusus itu, saya harus menyediakan selisih bahan bakar antara Suwame dan Dewara, yaitu 3 liter bensin (yang harganya 9 kina/liter, sekitar Rp 45.000 atau A$ 4 per liter). Si tukang perahu juga minta 4 batang rokok sebagai upah (yang seharga 1,50 kina atau Rp 7500 per batangnya).
Kano yang menggunakan mesin 15 tenaga kuda itu baru berangkat pukul 15. Rombongan ini adalah keluarga yang dipimpin seorang lelaki yang beratnya sekitar satu kuintal—orang tergemuk yang pernah saya lihat di Papua Nugini—yang tak berhenti mengunyah nasi, daging, kelapa, sagu, ikan bakar, rusa bakar, …. Dia dan keluarganya duduk santai seperti menikmati piknik, sementara Sungai Fly bergejolak hebat. Berulang kali ombak menerjang sampai membasahi penumpang di buritan. Kano tradisional dari suku-suku di pesisir selatan Pulau Papua ini umumnya berukuran sangat besar, terbuat dari satu batang pohon raksasa yang dilubangi, dan di atasnya dipasangi papan selebar 2 meter untuk tempat duduk para penumpang. Keistimewaannya adalah adanya bilah-bilah penyeimbang di satu sisi kano yang lebarnya sampai 4 meter, sehingga perahu ini sangat stabil di tengah ombak sekalipun.
Perahu ini berhenti di sebuah ladang di tepi sungai, yang lebih mirip kamp pengungsi dengan tenda-tenda dan gubuk kumuh di tengah hutan. Di kamp inilah warga desa Suwame bertanam sagu, pisang, kelapa, dan ketela. Biasanya, sebagian penduduk desa akan tinggal di kamp ini selama beberapa minggu hingga beberapa bulan untuk bekerja. Yang terlihat di kamp adalah lusinan perempuan dan anak-anak yang masih kecil, karena para lelakinya sedang berburu. Rombongan kami sibuk mengangkuti hasil ladang ke atas perahu, lalu melanjutkan perjalanan.
Langit semakin gelap dan hujan menderas. Tukang perahu menunjuk di kejauhan. “Itu Dewara!” katanya, “Tapi hari ini kita tak mungkin ke sana. Sudah terlambat. Kamu malam ini terpaksa ikut kami ke Suwame, besok pagi-pagi sekali kami antar kamu ke Dewara.”
Perahu berbelok ke kali kecil di kiri sungai. Saya meringkuk memeluk lutut, basah dan menggigil. Perahu kemudian berhenti, para penumpang berteduh di bawah sebuah gubuk yang tampaknya merupakan tempat peristirahatan di ladang pinggir kali.
“Suwame?”
“Belum. Masih jauh!”
Ketika hujan mereda, dan langit hampir gelap sempurna, kami melanjutkan perjalanan semakin dalam ke kali kecil ini. Bukan dengan kano besar yang sama, tetapi dengan perahu kecil tanpa penyeimbang, terombang-ambing hebat begitu orang menaikinya, dan lebarnya hanya cukup untuk berjongkok. Tangan saya mencengkeram erat badan perahu, hanya sejengkal di atas permukaan air. Para lelaki mengayuh dayung menyusuri kali yang terus semakin menyempit ini. Hampir satu jam kemudian, kali sudah menjadi parit yang lebarnya hanya 1 meter saja.
Betapa terpencilnya. Ini adalah lokasi yang takkan kau temukan di atas peta mana pun. Ketakutan semakin menghantui. Saya tidak ada rencana ke Suwame, tidak kenal siapa-siapa, tak punya jaminan keamanan apa-apa. Mereka sebenarnya bisa saja melakukan apa pun atas diri saya, dan kalau terjadi apa-apa pada diri saya di tempat seterpencil ini… ah, saya bahkan tak berani membayangkannya!
Tertatih saya menuruni perahu, kaki saya langsung terbenam dalam lumpur licin yang sampai selutut. Para lelaki itu menuntun saya menaiki tebing, juga menggotong tas saya. Mereka membimbing saya berjalan bertelanjang kaki di atas tanah berkerikil tajam. Kami terus berjalan dalam gelap, hingga tiba di depan sebuah rumah panggung. Mereka berteriak memanggil penghuni rumah, menjelaskan bahwa saya adalah tamu istimewa yang harus dia layani. Lelaki kekar bertelanjang dada itu tersenyum pada saya dan berbicara bahasa Inggris yang sangat fasih, “Naiklah. Sebentar, saya akan menyalakan genset!”
Di pedalaman Sungai Fly, di mana minyak sangat mahal dan langka, listrik adalah sebuah kemewahan. “Tidak perlu repot-repot. Bisa menginap saja saya sudah berterima kasih,” kata saya buru-buru menghentikan tuan rumah saya.
“Bukan karena kamu,” katanya, “Saya memang berencana menyalakan genset malam ini. Baru satu jam lalu saya datang dari Daru. Lihat itu, bahkan tas saya pun belum dibuka.”
Tuan rumah saya bernama Iduama, seorang guru SD yang pergi ke Daru untuk mengambil gajinya di bank dan menerima bantuan perlengkapan sekolah. Karena dia satu-satunya guru di sini, sekolah diliburkan sampai hampir sebulan selama dia pergi. Dari tas besar, dia mengeluarkan semua barang belanjaannya dari Daru yang tentu merupakan kemewahan di sini: beras, mi instan Malaysia, bumbu Maggie Malaysia, kecap Malaysia, tuna kalengan. Itulah makan malam kami.
Iduama bercerita bagaimana Suwame bisa berada di lokasi seterpencil ini. Warga Suwame semula tinggal di Lewada, dan memisahkan diri dari desa itu pada tahun 1980an. Orang Suwame bicara bahasa yang sama dengan orang Lewada, yaitu bahasa Makayam.
Dahulu kala, mereka memang tinggal di tempat terpisah. Itu masih zaman headhunter—perburuan kepala—di mana suku-suku hutan ini saling berperang dan membunuhi korbannya untuk diambil kepalanya sebagai bagian dari ritual pemujaan leluhur. Musuh orang Suwame adalah orang Suki. Pada tahun 1940an, karena serbuan orang Suki, orang Suwame mengungsi ke Lewada dan tinggal bersama sampai puluhan tahun. Hingga akhirnya, perkelahian di antara anak muda dan perselisihan tanah membuat orang Suwame memutuskan untuk berpisah dari Lewada, kembali ke tanah asal mereka. Toh di zaman sekarang kultur perburuan kepala sudah tidak ada lagi. Namun, ternyata alam sudah berubah, dan sekali lagi membuat mereka harus menjadi suku nomaden. Pendangkalan sungai membuat Suwame sering kebanjiran, sehingga mereka harus berpindah dari tepi Sungai Fly ke arah kali, lalu berpindah sekali lagi, hingga begitu jauh ke pedalaman. Sekarang, Suwame menempati tanah yang luas dan subur, sementara Lewada kini juga dilanda banjir dan sebentar lagi tampaknya seluruh desa juga terpaksa akan pindah.
Suku-suku pedalaman Sungai Fly masih hidup dari kultur berburu dan meramu, bahkan hingga hari ini. Desa-desa masih terus berpindah, dulu karena perang dan kini karena alam. Di habitat yang keras ini, manusia punya kekuatan hanya kalau mereka hidup berkelompok, sehingga perpindahan mereka pun harus dilakukan bersama-sama sebagai satu komunitas. Pertama-tama, pemimpin harus meyakinkan semua anggota kelompoknya untuk setuju berpindah. Para lelaki pemberani akan terlebih dahulu merintis tanah yang baru untuk membangun ladang. Ladang yang baru harus sudah bisa menghasilkan makanan sebelum seluruh desa dipindahkan. Untuk menanam pisang dibutuhkan waktu 1 tahun, sedangkan kelapa dan sagu 7 hingga 8 tahun. Selama membangun ladang ini, mereka harus bolak-balik antara lokasi baru dengan desa asal, sedikit demi sedikit memindahkan barang dan membangun rumah permanen. Setelah semua siap, barulah semua anggota kelompok berpindah. Sementara desa yang ditinggalkan perlahan akan kembali ditelan oleh alam, hampir tidak tersisa jejak bahwa pernah ada kehidupan manusia di sana. Itulah siklus kehidupan di sini.
Berbeda dengan Lewada yang padat penduduk, Suwame adalah desa yang sangat luas dengan rumah-rumah saling berjauhan dan berbaris rapi di sepanjang jalan yang lebarnya bisa dilalui mobil (tapi tidak ada mobil di sini). Saking luasnya, orang harus berjalan jauh untuk bepergian di dalam desa. Sekolah terletak sekitar 20 menit berjalan kaki dari rumah Iduama. Supaya praktis, Iduama membangun rumah kedua di dekat sekolah, yang dihuni pada hari kerja.
“Kalau di belahan lain dunia, orang naik kendaraan untuk bepergian. Tapi di sini kami miskin, jadi kami cuma bisa membangun rumah,” katanya. Dia tidak sadar betapa mewahnya kehidupannya itu, bisa membangun rumah di mana pun dia mau.
Lokasi Suwame ini juga diberkahi adanya sinyal telepon seluler. Ini kabar gembira. Sejak meninggalkan Daru, saya sudah tidak pernah mendapat sinyal telepon. Padahal saya perlu mengirim pesan kepada kawan saya di Daru untuk memastikan bahwa saya akan menunggu perahu mereka di Dewara besok pagi. Namun, tidak seluruh desa mendapat sinyal; hanya ada pada titik-titik tertentu. Iduama mengantar saya berjalan 1 kilometer di tengah kegelapan total untuk pergi ke rumah kakak perempuannya, titik beradanya sinyal telepon. Si kakak sudah tidur lelap, dan gedoran Iduama membangunkannya. Dia tidak marah, malah mempersilakan saya masuk ke sudut kamar. Titik sinyal terletak di atas jendela kamar. Iduama menyuruh saya melambai-lambaikan telepon saya di atas jendela. Bahkan saya sendiri pun tidak percaya ritual yang tidak masuk akal ini. Ajaib. Lima menit kemudian, pesan saya terkirim.
Keesokan siangnya, menjelang waktu naiknya pasang Sungai Fly, delapan lelaki menjemput saya dari rumah Iduama.
“Semua akan berangkat ke Dewara? Demi saya?” tanya saya.
“Iya, bos. Butuh orang banyak,” kata Sailes, lelaki empat puluh tahunan dengan kumis Hitler, si tukang perahu yang kemarin mengantar saya sampai ke sini.
Air masih surut di kali kecil ini, sehingga tidak mungkin dilewati kano. Saya dan para lelaki itu harus berjalan di tepi kali yang penuh lumpur, beberapa kali menyeberangi jembatan yang terbuat dari batang pohon bundar yang juga licin oleh lumpur. Para penduduk sudah sangat terlatih dengan teknik akrobatik ini, sementara saya harus mereka tuntun agar tidak tergelincir. Sampai di bagian kali yang hanya selebar satu meter, Sailes memapah saya untuk menaiki kano kecil yang hanya muat dua penumpang.
Kali ini hanya selutut dalamnya. Sailes menyeret kano yang saya tumpangi sendiri seperti bocah menyeret mobil mainan, sementara para pemuda lain terus berjalan di tepi kali sambil menggotong tas saya. Pelayanan yang berlebihan ini sangat tidak mengenakkan saya, membuat saya seperti tuan kolonial yang dilayani para budaknya.
Perjalanan kami terhenti oleh pohon tumbang yang melintangi sungai. “Bos, turun di sini. Kita ganti perahu.”
Tepat di belakang balok itu, sudah menanti pemuda lain dengan perahu yang lebih besar. Para lelaki itu kemudian membimbing saya hingga berhasil duduk seimbang di perahu.
Di kiri dan kanan kali kuning keruh ini adalah barisan pepohonan lebat yang teramat hijau. Kami berganti perahu sampai tiga kali, hingga akhirnya sampai di perahu kano panjang yang bisa muat sepuluh penumpang di dekat persimpangan Sungai Fly. Dengan kano yang terus terombang-ambing hebat inilah, kami akan menerjang sang sungai agung menuju Dewara.
“Bos, jangan takut apa-apa,” katanya, “Saya Sailes, pejabat law and order di Suwame. Ada Sailes, seluruh desa aman, bos juga aman. Tapi, bos, para pemuda tadi membisiki saya, mereka minta rokok karena sudah bantu bos.”
Sebelum berangkat tadi saya sudah membayar 4 liter bensin (sekitar 30 kina), ditambah lagi Iduama juga sukarela menyumbang 2 liter bensin kepada Sailes demi saya. Saya hampir tidak percaya perjalanan ke Dewara yang katanya “dekat bisa kelihatan” itu akan membutuhkan bensin sebanyak itu. Sekarang ditambah uang rokok pula.
“Berapa?” tanya saya.
“Sorry, bos. Tiga puluh kina, boleh, bos?”
“Dua puluh kina cukup? Saya hanya bisa kasih ini.”
Sailes menyeringai lagi hingga mulutnya berbentuk seperti bulan sabit. “Cukup bos. Nanti saya beritahu mereka jangan minta lagi,” katanya sambil memasukkan uang itu ke sakunya.
“Satu lagi, bisakah kau berhenti memanggil saya bos?”
“Oh, sorry, sorry, bos!”
“Saya bukan bukan bos!”
Sailes membungkuk-bungkuk seperti hamba di hadapan tuannya. “Terima kasih, bos, sudah mengingatkan saya.”
Hati hati pak
Membc tulisan2 mas agus, seperti nutrisi bg jiwa, terima kasih sudah berbagi
keren narasinya…
keren… berasa lagi ikut berpetualang di hutan Papua New Guinea.. ditunggu lanjutannya 🙂
cak agus iki ancen kurang gawean ogh. ngluyur jebus paran mbuh ngendi.
jo lali tak enteni bukune cak. pisss (y)
always inspired mas,
Saya selalu ikuti petualangan di PNG ini, Kapan terbit bukunya 🙂
Tulisan yang selalu saya nantikan. Luar biasa mas, semoga selalu diberkati