Sapuka 14 September 2014: Bagai Rusa Merindukan Sungainya
Setelah dua jam mendorong perahu yang tertambat di bantaran pasir di dasar Sungai Fly yang mengering, rombongan kami dari Suwame akhirnya sampai juga di Dewara. Seorang pemimpin desa menyambut saya, mencuci kaki saya yang bersimbah lumpur dengan tangannya, sambil berulang kali meminta maaf karena sebelumnya tidak mengetahui kedatangan saya.
Saya berbalik minta maaf.
Sekejap kemudian, saya merasa seperti makhluk dari planet asing yang datang mendarat. Para lelaki, perempuan, anak-anak, berlusin-lusin jumlahnya, berkerumun menonton saya. Tidak pernah ada turis asing yang datang ke sini, kata mereka, turis terakhir datang sepuluh tahun lalu.
Begitu tahu saya datang dari Indonesia, para lelaki di desa itu bertanya apakah benar orang Indonesia masih suka membunuh. Beberapa bulan yang lalu mereka dengar, orang-orang Indonesia membutuhkan banyak tengkorak manusia untuk membangun bangunan besar supaya kokoh, misalnya untuk membangun jembatan Tujuh Waliwali di Merauke. Mereka kemudian berdatangan ke Papua Nugini, membunuhi orang-orang sini dan membawa pulang tengkoraknya. Itu teror luar biasa. Penduduk di desa pedalaman ini sampai selalu pergi berkelompok ke mana-mana bahkan untuk ke ladang sagu, takut diculik dan dibunuh orang Indonesia. Baru satu setengah bulan kemudian mereka cukup berani untuk pergi sendiri.
Itu rumor paling tidak masuk akal yang pernah saya dengar. “Ada dari kalian yang pernah ke Indonesia?” tanya saya.
Beberapa lelaki mengacungkan tangan.
“Kalian lihat sendiri kehidupan di Indonesia seperti apa. Bagaimana kalian masih percaya orang Indonesia perlu tengkorak manusia untuk membangun rumah?”
“Mereka memang tidak datang sendiri,” kata seorang lelaki, “Ada calo yang khusus menjual tengkorak orang-orang Papua Nugini.”
Indonesia dan Papua Nugini adalah negara bertetangga, tetapi rasanya begitu jauh dan asing. Banyak orang Indonesia yang tidak tahu mereka punya negara tetangga bernama Papua Nugini, sedangkan banyak orang Papua Nugini yang dibayangi ketakutan bahwa Indonesia adalah negara komunis yang dihuni orang-orang beringas yang suka membunuh.
Menumpang perahu dinghy milik sebuah LSM, saya melanjutkan perjalanan dari Dewara ke arah hulu sungai. Betapa magis sungai ini. Meninggalkan Dewara, sungai semakin menyempit, dan semakin nyatalah kesuburan tanah ini. Rimba teramat lebat di kiri dan kanan sungai, pohon-pohon raksasa menjulang ke angkasa, mungkin 30 meter tingginya. Beberapa pohon memiliki bunga ungu yang begitu mencolok bagai bejana memercikkan sinar, yang sesuai dengan julukan namanya dalam bahasa lokal: “nyala hutan”. Namun yang paling membuat saya terlena adalah wangi yang begitu eksotik, begitu liar. Aroma itu lembut tetapi menyihir. Itulah wangi gaharu, yang tercium begitu jelas dari pedalaman hutan.
Kekayaan alam Papua yang begitu melimpah membuat banyak pedagang Indonesia rela melakukan perjalanan ilegal berbahaya hingga ke pedalaman rimba dan sungai terpencil ini. Semakin banyak pula penduduk Papua Nugini yang menyeberang perbatasan ke Indonesia untuk menjual hasil hutan mereka. Tetapi, saya pun tak tahu pasti kenapa, kecurigaan dan ketakutan di antara kedua negeri masih begitu hebat.
Hujan turun begitu deras ketika perahu speedboat dengan mesin 80 tenaga kuda mengentak-entak di atas permukaan sungai. Perjalanan ini sangat berbahaya. Sungai Fly sudah terlalu dangkal, bantaran pasir terbentuk di mana-mana di dasar sungai—sedimentasi hasil dari aktivitas pertambangan Ok Tedi di hulu sana. Pengemudi perahu harus jeli melihat pergerakan riak di permukaan sungai, untuk mengetahui mana sungai yang dalam, mana yang dangkal. Semua orang di perahu ini adalah pekerja LSM dan pemuda dari Daru; tak satu pun kami yang tahu medan Sungai Fly ini, dan beberapa kali perahu kami nyaris tersangkut di bantaran pasir. Sementara langit semakin gelap, dan Suki, tujuan kami, masih sangat jauh.
Setelah melewati Dewara, desa-desa semakin jarang dan berjauhan. Kami sudah berperahu empat jam dengan kecepatan tinggi, tetapi hanya melihat satu desa. Mungkin malam ini kita menginap di hutan liar? Pemimpin rombongan, seorang dokter perempuan paruh baya, mengambil keputusan: kami akan meneruskan perjalanan setengah jam lagi, siapa tahu ada desa, atau setidaknya kamp ladang, yang bisa kami inapi. Kalau tidak, apa boleh buat?
Langit telah menjadi ungu, lalu biru gelap. Di kejauhan, terlihat kelap-kelip cahaya.
“Sapuka!” kata Sila Wainatti si ibu dokter, “Saya lupa ada desa ini sebelum Suki. Boys, malam ini kita menginap di sana.”
Para pemuda merapatkan perahu ke tebing desa, dan berteriak memanggil penduduk. Para penduduk bergegas menyiapkan sebuah rumah kosong tepat di tepi sungai. Saat saya menurunkan barang-barang dari kapal, seorang pemuda dari rombongan kami membisikiku. “Kamu hati-hati. Di desa ini ada satu orang dari West Papua!”
West Papua adalah bagaimana orang di luar Indonesia menyebut wilayah Papua yang dikuasai Indonesia. Banyak orang West Papua (di sini disebut “West-Pa”) di Papua Nugini, khususnya di sepanjang aliran Sungai Fly, adalah pendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka.
“OPM?” tanya saya lirih.
“Mungkin. Saya pun tidak tahu pasti,” kata pemuda itu, “Kamu hati-hati saja.”
Satu demi satu penduduk desa berdatangan ke rumah yang kami inapi malam itu. Sekadar mengucap salam atau minta diceritai. Tanpa saya sadari, sudah duduk di hadapan saya lelaki dari West Papua itu. Saya langsung tahu, karena lelaki tua dengan topi dan jaket sweter itu adalah satu-satunya di desa ini yang berbicara bahasa Indonesia begitu fasih, dengan logat Papua. Saya tidak bisa melupakan senyum kekanak-kanakan yang tersungging di wajah letih lelaki itu. Senang ada orang yang mengerti bahasanya, dia pun leluasa membagikan cerita hidupnya kepada saya.
“Saya bukan OPM,” katanya, “Tetapi mereka semua bilang saya OPM.”
Timotius sudah 14 tahun tinggal di Papua Nugini. Dia semula adalah kepala suku Yei di sebuah kampung adat di Merauke. Semula hidupnya baik-baik saja. Dia orang terpandang, juga tidak pernah ada masalah dengan pendatang. Dia bahkan kawin dengan perempuan Jawa dari Merauke (“Ja-Mer”). Tetapi hari itu, suatu hari naas di tahun 2001, datanglah tentara Indonesia ke rumahnya, bilang: komandan menginginkan ikan arwana yang dipeliharanya. Timotius tidak mau kasih. “Tentara rampas, saya pertahankan hak,” katanya, “Lalu tentara pukul saya, bilang pada semua orang saya OPM.”
Pemukulan itu dialaminya di jalanan kampung Kuel, di Kabupaten Merauke. Para tentara menggunakan kayu, lalu dengan popor senjata M-16. Dipukuli di depan rakyatnya sendiri adalah penghinaan terbesar dalam hidupnya. Bukan hanya itu, tentara juga memblokir jalan, sampai satu bulan dia tidak bisa keluar dari kampung adat. Bahkan ke Merauke pun tak bisa. Tak tahan lagi, Timotius akhirnya memutuskan untuk lari. Dia bahkan tak memberitahu istrinya, anaknya, keluarganya, padahal anak keduanya baru saja lahir. Itu adalah sebuah pelarian yang disebutnya “tanpa pesan dan kesan”. Dia lari menuju kebebasan yang ada di seberang garis batas: Papua Nugini.
Sekejap saja empat belas tahun berlalu. Dia sebenarnya ingin pulang, tetapi dia takut tentara. Dia rindu istri dan anaknya, tetapi di sini pun dia sudah punya istri dan anak yang baru. Beberapa pedagang dari Indonesia singgah ke sini, membawakannya tembakau lempeng khas kampung halamannya, sambil membujuknya pulang. Mereka berkata, “Bapa, pulanglah, Bapa! Indonesia sudah tidak sama lagi dengan yang dulu. Bapa, pulanglah, Bapa! Orang-orang yang dulu memukulmu sudah tidak ada lagi.” Tapi Timotius tua tetap bergeming.
“Bagaimana mungkin saya tak ingin pulang? Saya lahir di Papua, saya dibesarkan di Papua, saya rindu Papua. Saya tidak marah dengan Indonesia. Saya tidak marah dengan pemerintah,” katanya, “Tapi saya marah dengan satu oknum Kopassus itu. Saya ingat namanya… Siregar. Nanti kalau saya pulang, dia bisa pukul saya lagi.”
Dunia Timotius bukan hanya sebuah kampung adat di pedalaman Papua. Timotius pernah melihat Indonesia yang sesungguhnya. Di tahun 2001 itu, dia ikut rombongan pejabat Merauke untuk berkunjung ke perusahaan perkapalan PT PAL di Surabaya. Di sana, dia bahkan bertatap muka dengan Presiden Megawati. Itu adalah kenangan terindah tentang Indonesia yang hingga hari ini pun masih dengan bangga ceritakan. Gedung-gedung tinggi Surabaya, jalanan ramainya, mobil-mobilnya, orang-orangnya…
Sebuah kemarahan mempertahankan sepuluh ribu ikan arwana, sebuah kehormatan yang diinjak-injak itu, sebuah ketakutan akan keberlanjutan hidup, membuat Timotius kehilangan rumah, keluarga, tanah air.
Seperti orang-orang Papua Nugini yang ketakutan akan Indonesia yang mereka negara komunis, saya pun semula memendam ketakutan terhadap orang-orang “West Papua”. Tetapi berhadapan langsung dengan Timotius, berbagi nostalgianya tentang tanah airnya yang hilang, saya mulai menyadari betapa berdimensinya kisah hidup orang-orang yang selama ini kita takuti karena telah kita labeli sesimpel sebagai OPM, “pengkhianat”, “makar”, “separatis”, “teroris”.
Mungkin rasa tercabut dari tanah air itu membuat Timotius sangat mudah dekat dengan saya sesama pendatang. Keesokan paginya, Timotius sudah menjemput saya, untuk membawa saya keliling kampung. Dia membawa saya ke kandang rusa peliharaannya. Dengan penuh sayang, dia memberi hewan-hewan itu sejumput rumput. Dia juga bersenandung “Rusa… rusa…”
Saya semula mengira dia bicara dengan hewan-hewan itu. Saya mendengarkan gumamannya lebih saksama lagi.
“Aku ini rusa, yang merindukan sungainya… aku ini rusa…”
Buku baru? Udah terbit blm?
Cc. Youngga Triananda A
to be continued 🙂
Wow, rupanya ada eksil juga di Papua Timur.
akhirnya mas agus muncul juga!…:). kpn dibukukan mas?..*tak sabar*
tulisannya selalu apiiiiiik 🙂
kereeen mas
agustinus, ditunggu buku terbarunya ya…
Mas agus, ceritamu benar2 refleksi bagi kita orang Indonesia. Kita masih sering melakukan ketidakadilan bahkan pada saudara setanah air kita sendiri. Semoga banyak orang Indonesia membaca cerita mas Agus.