Titik Nol 94: Bukan Orang Suci
Sejauh mata memandang, ribuan rumah kotak-kotak berwarna kuning keemasan tersebar semburat. Benteng raksasa dari berusia delapan ratus tahun masih megah berdiri, menantang monotonnya gurun pasir Thar yang membentang hingga kePakistan.
Seperti Jaipur yang kota merah jambu dan Jodhpur yang kota biru, Jaisalmer pun punya julukan manis – kota emas. Bukan berarti bangunan di kota ini terbuat dari emas, terlalu mewah untuk kota di kering di tepi padang pasir ini. Warna emas nampak membara ketika matahari senja membilas barisan rumah dari tanah berwarna kuning yang terhampar di seluruh penjuru. Bahkan benteng raksasa Jaisalmer yang menjulang membayangi seluruh kota pun berwarna keemasan.
Berbeda dengan kebanyakan benteng lainnya di Rajasthan, Benteng Jaisalmer yang didirikan tahun 1156 Masehi oleh seorang bangsawan Rajput, Rawail Jaisal, bukan hanya bangunan kuno yang bertahan dalam gilasan roda zaman. Benteng Jaisalmer bukan monumen bersejarah biasa. Ada kehidupan di balik dinding menjulang ini, dan denyut kehidupan itu masih ada hingga sekarang.
Di dalam benteng, yang mirip kota kecil, saya seperti terlempar ke masa lalu. Jalan setapak sempit berkelok-kelok di antara bangunan rumah kuno. Unta masih menjalani perannya sebagai alat angkutan utama. Nenek tua sibuk menyulam di beranda. Alunan tetabuhan sitar dan kendang di kota benteng, menghidupkan kembali kehidupan zaman prajurit Rajput. Dan haveli, rumah saudagar kaya dari batu pasir warna emas berukir cantik dengan ratusan jendela dan ribuan kamar, masih ditinggali oleh penghuninya yang berlimpah harta turun-temurun sejak ratusan tahun silam.
Seperti segala sesuatu lainnya di kota turisme Rajasthan, kota kuno Jaisalmer pun seakan didekasikan habis-habisan untuk turis asing. Tengoklah rumah-rumah tua di dalam benteng, yang sudah berubah fungsi menjadi pemondokan backpacker hingga hotel berkelas. Belum lagi biro wisata selepas pintu gerbang, mati-matian bersaing menawarkan layanan safari unta, penjualan tiket bus ke Jaipur, sampai tiket pesawat ke Bombay. Ada pula toko buku bekas, dengan koleksi V.S Naipaul dan Salman Rushdie lengkap. Istana milik maharaja, rumah cantik haveli, semuanya memungut karcis masuk. Di luar gerbang, ada toko bhang– minuman dari gerusan daun ganja – yang resmi dan direstui pemerintah.
Kuil Jain di dalam Benteng Jaisalmer pastilah termasuk yang tercantik di seluruh Rajasthan. Bukan cuma satu, tetapi beberapa sekaligus, membentuk sebuah kompleks monumen mewah di tengah gersangnya gurun. Penganut Jain di masa silam termasuk para saudagar dan bangsawan, sehingga kuil-kuil kuno agama ini bergelimang kemewahan pada zamannya – gedung tinggi yang semua dindingnya berukir detail, mengguratkan maha karya yang tak berbanding.
Seperti halnya tempat kunjungan wisata lainnya, kuil Jain di tengah benteng ini pun mengutip karcis dari para turis. Mungkin karena wajah saya yang sudah mirip orang India dari bagian timur laut, dan bahasa Hindi saya yang sudah‘lolos’, penjual karcis tidak memungut harga orang asing dari saya. Tetap isampai di pintu gerbang kuil, saya dipulangkan lagi ke loket karcis karena petugas di gerbang mencurigai saya sebagai turis Korea.
Di dalam kuil, di depan patung pualam Mahavira, nabi agama Jain yang selalu digambarkan tak berpakaian, seorang pandita Jain mempersembahkan sesaji. Lonceng, bunga suci, lilin yang menyala di atas genangan lampu minyak, alunan mantra, kuil kuno ini dipenuhi suasana mistis.
Tetapi di antara nuansa sejarah ini, huruf Inggris bertebaran disudut-sudut. Di atas kotak sumbangan, tertulis besar-besar dalam tinta merah:“Jangan memberi tips kepada ‘orang suci’, tetapi letakkan langsung sedekah Anda ke dalam kotak sumbangan.”
Nampaknya, pandita atau ‘orang suci’ di kuil ini sudah sedemikan terkenalnya menerima uang dari para pengunjung, sampai-sampai pihak kuil menulisi kotak sumbangannya dengan pesan itu. Dengan tulisan peringatan yang tersebar itu pun sama sekali tak mengurangi hobi pandita atau ‘orang suci’ ini untuk meminta sumbangan dengan nada setengah memaksa, khususnya dari turis asing yang dianggap berdompet tebal.
“Sumbangan, Sir,…. sumbangan…..,” pandita bercelana dhoti-kurta yang kombor warna merah oranye ini, merengek. “sumbangan ini bukan buat saya sendiri, tetapi akan saya dibagikan untuk seluruh kuil.”
Saya menunjuk ke arah himbauan untuk tidak memberi uang pada pandita. Orang itu tak kehabisan akal. “Tetapi saya ini bukan ‘orang suci’. Saya ini Brahmin,”sambil menunjukkan tali putih yang melingkar dari pundak hingga pinggangnya –tali janeu yang menunjukkan ke-Brahmana-annya. Tali itu yang menjadi buktinya bahwa ia termasuk golongan yang ‘berhak’ menerima sumbangan langsung.
Tetapi tidak semua orang di kota turis melulu mengincar uang belaka. Polu, pemilik pemondokan Titanic di dekat gerbang benteng, mengizinkan saya menginap gratis di ruang bawah tanah. Satpam di puncak istana maharaja mengizinkan saya memotret lautan rumah berwarna kuning emas walaupun saya tak punya karcis kamera (yang mahal sekali), semata-mata karena saya bisa bahasa Hindi dan langsung dianggap saudaranya sendiri.
Benteng-kota kuno ini terus berbenah, mempercantik dirinya. Istana-istana yang dulunya ambruk, kini diperbaiki. Hotel dan biro wisata terus bermunculan. Tetapi masih ada secuil masa lalu yang terus bertahan di tengah modernisasi.
Unta, bukan hanya alat angkut, juga berfungsi sebagai pembuat adonan semen. Binatang yang biasanya tampak lamban, mengunyah makanan dengan malas, tak banyak bergerak ini, sebenarnya punya tenaga yang besar dan sangat garang di alam padang pasir seperti ini.
Setiap pagi, para tukang bangunan menyiapkan pasir dan air, dituang dalam cekungan sepanjang lingkaran berdiameter empat meter. Dalam lingkaran ini, dipasang roda batu besar, diikatkan dengan tali ke kaki unta di luar lingkaran dan bertumpu pada kayu di pusat lingkaran. Unta berjalan mengelilingi lingkaran, roda batu berat itu pun ikut menggelinding sepanjang lintasan lingkaran, melindas pasir dan air. Setelah puluhan putaran, adonan itu pun menjadi liat, berubah menjadi masala – adonan semen yang ternyata kuat merekatkan batu-batu dari gurun ini melintas zaman ratusan tahun.
Tradisi kuno telah melewati ratusan tahun di balik gerbang benteng kuno ini. Turisme, dengan segala plus minusnya, membuatnya terus bertahan dalam zamannya.
(bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 12 Desember 2008
Leave a comment