Tabubil 19 Oktober 2014: Masa Depan Pertambangan
Tabubil, sebuah kota kecil terpencil di tengah rimba lebat Pegunungan Bintang, adalah salah satu urat nadi perekonomian Papua Nugini. Emas dan tembaga yang diproduksi pertambangan Ok Tedi di dekat Tabubil mencakup seperlima ekspor nasional. Tetapi, itik tidak selamanya bertelur emas, hari-hari kejayaan Tabubil tersisa sudah tidak lama lagi.
Sejatinya, kota ini bukan habitat manusia normal. Ini salah satu tempat dengan curah hujan tertinggi di dunia, setidaknya 300 hari dalam setahun diguyur hujan lebat. Penulis sekaligus peneliti kenamaan Australia, Tim Flannery, mendeskripsikan Tabubil, “Kau bahkan bisa merasakan jamur bertumbuh di kulitmu sejak begitu kau turun dari pesawat.”
Tetapi Tabubil justru adalah kota paling layak huni yang pernah saya alami di Papua Nugini. Kota ini menggunakan sistem birokrasi dan keamanan ala Australia, dengan peraturan ketat yang diikuti semua penduduk sampai ke detail-detail terkecil. Tabubil memiliki hotel, rumah sakit, kantor polisi, pengadilan, pemadam kebakaran, sekolah internasional, supermarket besar, bank, toko furnitur. Air gratis, listrik gratis, banyak orang menyalakan AC sepanjang hari nonstop. Karena curah hujan yang tinggi, kota ini memiliki fasilitas olahraga dalam ruangan yang memadai: squash, lapangan basket, gym, bahkan kriket indoor. Semua jalan dilengkapi dengan papan petunjuk nama jalan dan rambu-rambu, sedangkan orang yang berlalu lalang—baik warga Papua Nugini maupun kaum ekspatriat—menebarkan semerbak aroma parfum. Perumahan di Tabubil dibagi menjadi tiga zona: A House, B House, dan C House. Zona B dan C adalah yang paling baru, berupa rumah-rumah panggung ukuran besar bergaya Australia, dengan renovasi yang cukup modern di dalamnya, dihuni oleh para staf perusahaan pertambangan Ok Tedi.
Hampir semua yang ada di kota ini dibangun oleh BHP—perusahaan pertambangan Australia yang pertama mengelola tambang emas Ok Tedi. Mereka pulalah yang membangun jalan raya sepanjang 130 kilometer lebih dari tambang, melewati Tabubil, sampai ke kota pelabuhan Kiunga di tepi Sungai Fly. Ini adalah satu-satunya jalan raya di seluruh Western Province. Jalan ini dilintasi truk-truk berat yang hilir mudik dari tambang sampai ke Kiunga, di mana sudah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut hasil tambang itu keluar (Ke ibukota? Ke Australia? Ke Filipina? Orang-orang hanya bisa berspekulasi). Sedangkan konsentrat emas dan tembaga dialirkan melalui pipa-pipa kecil dan besar yang membentang paralel sepanjang jalan raya ini.
Berbicara langsung dengan para petinggi perusahaan tambang ini sangat sulit. Mereka sangat tertutup (bahkan untuk bermalam di Tabubil pun setiap orang harus mendapat izin khusus). Kesempatan saya bicara dengan “orang dalam” terjadi secara tidak sengaja. Saat itu saya sedang di tepi jalan dari desa Finalbin, hendak mencari tumpangan untuk kembali ke Tabubil. Tiba-tiba datang mobil 4WD dengan antena radio, berhenti di depan saya. Dari dalam, melongok kepala seorang kulit putih paruh baya, menyapa dalam bahasa Indonesia, “Dari Indonesia?”
Saya mengangguk, bertanya bagaimana dia bisa bahasa Indonesia. Dia bilang sudah 30 tahun tinggal di Indonesia, dan istrinya dari Surabaya. Dia sudah bekerja di hampir semua pertambangan besar Indonesia, termasuk Freeport dan Newmont. Dia kini sudah bekerja 8 tahun di Ok Tedi.
“Apa yang membedakan Freeport dengan Ok Tedi?” saya bertanya, ketika saya menumpang di dalam mobilnya menuju Tabubil.
“Freeport empat kali lebih besar kapasitasnya daripada Ok Tedi,” katanya, “Tetapi sistem di sini lebih bagus. Ya, Ok Tedi juga mendapat keuntungan besar, tetapi mereka membagikan keuntungan itu dengan masyarakat lokal. Di mana lagi di dunia ada perusahaan pertambangan yang melakukan ini?”
“Bukankah pemerintah Indonesia cuma mendapat 1 persen royalti emas dari Freeport, perusahaan Amerika?” tanya saya. Saat ini sedang ramai pemberitaan bahwa pemerintah Indonesia berusaha menegosiasikan agar angka 1 persen itu naik menjadi 3,75 persen.
“Bullshit!” seru lelaki Australia itu, “Mereka mendapat 60 persen. Dan itu seharusnya adalah hak orang Papua di Irian Jaya! Freeport mendapat terlalu banyak tekanan dari pemerintah Indonesia.”
“Bagaimana dengan perusakan alam?”
“Sama saja! Semua pertambangan sama. Hanya di sana, penduduk lokal tidak bisa bersuara karena ditekan pemerintah. Di sini, Ok Tedi memberi kompensasi kepada penduduk lokal, bahkan membangun provinsi ini dari nol. Ok Tedi sudah bukan sekadar perusahaan pertambangan, tetapi juga agen pembangunan!”
Terlalu mustahil untuk membahas isu besar ini hanya dalam 15 menit perjalanan. Kami sudah sampai di Tabubil, dan tidak ada kesempatan bagi saya untuk bertanya lebih banyak lagi. Belakangan saya tahu, lelaki itu adalah General Manager perusahaan Starwest, penyedia layanan infrastruktur bagi seluruh pertambangan Ok Tedi.
Informasi lain justru saya dapatkan dari pegawai tambang. “Ok Tedi kini dilanda krisis politik, dan banyak hal sedang mengalami perubahan besar,” kata Boiyomo Epinam, seorang pekerja tambang yang saya temui di jalan. “Fasilitas dikurangi. Jumlah pegawai juga dikurangi, sehingga kami harus bekerja lebih banyak.” Gaji pekerja tambang di lapangan adalah sekitar 50 ribu kina (Rp 250 juta) setahun.
Gonjang-ganjing politik atas Ok Tedi tentu tidak terlepas dari kasus perusakan alam akibat ulah perusahaan pertambangan ini, dan kemudian menjadi salah satu kasus perusakan alam terbesar di dunia. Pada tahun 1984, sistem bendungan limbah Ok Tedi ambrol karena gempa. Tetapi pertambangan terus beroperasi walaupun tanpa bendungan (yang mereka pandang tidak terlalu perlu, dan disetujui pemerintah pusat), sehingga jutaan ton limbah beracun, termasuk sianida, mengalir ke dalam aliran Sungai Fly—yang mengular sejauh 400 kilometer lebih sampai ke muaranya di Teluk Papua. Pada tahun 1999, BHP mengakui 90 juta ton limbah dibuang setiap tahunnya ke sungai. Berarti telah lebih dari 2 miliar ton limbah dibuang sejak ke sungai sejak beroperasinya pertambangan pada tahun 1984. Itu menyebabkan 1.500 kilometer persegi hutan telah mati, merusak pertanian dan perikanan, serta menghancurkan kehidupan puluhan ribu penduduk. Selain itu, pembuangan limbah juga menyebabkan sungai yang semula dalam dan lambat kini menjadi dangkal dan deras, sehingga merusak jalur transportasi tradisional dan menenggelamkan desa-desa di hilir.
Para “tuan tanah” di Distrik Fly Utara menyeret BHP ke Pengadilan Agung Victoria di Melbourne, Australia, pada tahun 1994. Ini seperti kasus Daud melawan Goliat—penduduk miskin daerah terpencil melawan perusahaan multinasional raksasa. Tapi mereka menang. Pada tahun 1996, pengadilan menyatakan BHP bersalah, harus membayar kompensasi sebesar A$40 juta, juga membangun sistem pengolahan limbah dan memperbaiki lingkungan yang telah mereka rusak.
Tetapi kenyataannya, pertambangan masih beroperasi, dan limbah terus dibuang ke sungai. Pada tahun 2000, para “tuan tanah” itu kembali menyeret BHP ke pengadilan karena BHP tidak menaati keputusan pengadilan sebelumnya. Kasus kedua ini membuat BHP pada tahun 2002 menyatakan hengkang dari pertambangan Ok Tedi, dan menyerahkan 52 persen saham mereka kepada perusahaan baru bernama Program Pembangunan Berkelanjutan Papua Nugini (PNG SDP). Dengan melakukan ini, BHP mendapat hak kekebalan hukum atas segala tuntutan tanggung jawab terkait pertambangan Ok Tedi.
Walaupun berlabel seperti organisasi nasional, PNG SDP sebenarnya adalah sebuah perusahaan swasta yang didirikan di Singapura. Sebagian petingginya masih orang-orang BHP, sehingga ada yang menyebut mereka sebagai “BHP dalam wujud berbeda”. Mereka menginvestasikan dua pertiga keuntungan mereka pada bank di Singapura sebagai dana investasi nasional dan Western Province. Tetapi belakangan ini, Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill berniat membuat undang-undang sehingga Pemerintah bisa mengambil alih 100 persen kepemilikan atas pertambangan Ok Tedi. Dengan demikian, dana investasi Western Province juga rencananya akan dikelola oleh pemerintah pusat. Itu menimbulkan kemarahan di daerah ini.
Sebelum datang ke Tabubil, saat di Kiunga saya sempat berbincang dengan Paul Katut, salah satu dari para “tuan tanah” yang berani memperkarakan perusahaan pertambangan Ok Tedi sampai ke Australia.
Saya mengatakan kepada Paul tentang pengamatan saya sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Fly ini: begitu miskin, penduduk tinggal di gubuk-gubuk dan tidak menikmati layanan yang paling minimal sekali pun, mereka sama sekali tidak terlihat sedang duduk di atas tumpukan emas dan tembaga. Perkataan saya itu langsung membuat lelaki 49 tahun itu berapi-api.
“Ini seperti seseorang merampok rumahmu dan mengambil seluruh hartamu,” serunya, “Siapa yang kasih izin? Pemerintah pusat. Tidak ada seorang pun yang tahu pasti berapa banyak emas dan tembaga yang telah diproduksi Ok Tedi, berapa banyak kekayaan yang telah mereka hasilkan. Kami hanya ingin emas dan tembaga kami sendiri, kami yang menjual harta kami sendiri. Musuh kami adalah pemerintah, dan kami akan memperkarakan pemerintah untuk menuntut tanggung jawab mereka terhadap lingkungan kami!”
Paul mengenang, pada akhir 1980an, ketika air sungai mereka dinyatakan tercemar sianida, warna air sungai mulai menjadi keruh dan berbau busuk. Pada awal 1990an, buaya-buaya besar ditemukan mati mengapung. Kemudian makanan semakin susah karena tanah jadi gersang dan air sudah tidak bisa diminum lagi. Populasi ikan pun menurun drastis. Sudah 13 tahun ini, Paul tidak berani makan ikan atau tanaman apa pun yang dihasilkan di desanya, karena takut kandungan racun di dalamnya.
Pertambangan Ok Tedi direncanakan ditutup pada tahun 2013. Tetapi, bagi Papua Nugini, Ok Tedi terlalu penting untuk ditutup. Pertambangan ini menyumbang 11 persen PDB nasional dan 19 persen ekspor (bahkan pernah mencapai 32 persen pada tahun 2007). Lagi pula, warga di daerah ini nyaris tidak tersentuh pembangunan dan mereka sangat tergantung pada uang kompensasi (yang sebenarnya sangat sedikit) dari perusahaan pertambangan. Karena itu, mereka tidak punya banyak pilihan selain menandatangani perjanjian dengan perusahaan pertambangan Ok Tedi, memberi izin agar operasi pertambangan dilanjutkan sampai tahun 2025.
“Pertambangan ini memang harus diteruskan,” kata Jimmy Minda, seorang dari Sepik, staf program pembangunan Ok Tedi, yang tinggal di rumah zona B House yang lapang dan nyaman, “Kalau Perusahaan pergi, maka kota ini akan menjadi kota hantu.”
Tanpa pertambangan, siapa yang masih akan tinggal di Tabubil yang terpencil ini? Tidak akan ada lagi para investor, para penambang dari seluruh penjuru negeri, para ahli Australia, para manajer supermarket dari Filipina, para pegawai perusahaan logistik, …. Semua fasilitas modern dan kenyamanan milenium ini akan ditinggalkan. Kota ini akan kembali ditelan rimba. Menjadi kota hantu.
Jimmy mengatakan, sekarang Perusahaan sedang sibuk merumuskan berbagai skenario pasca-2025. Mungkin Tabubil akan dijadikan kota pendidikan—tapi siapa yang mau datang? Mungkin harus dibangun jalan raya yang menghubungkan Tabubil dengan Telefomin di sisi utara Pegunungan Bintang, atau jalan tembus ke perbatasan Indonesia yang hanya 12 kilometer dari sini. Siapa tahu dia bisa jadi kota perdagangan? Lalu mungkin juga turisme; bukankah daerah sini banyak burung eksotik sehingga turis bisa datang menonton burung?
Tambang ini adalah contoh nyata sebuah dilema bagi negara-negara miskin dan berkembang: antara mendapatkan uang dengan harus melindungi kepentingan pemodal asing, ataukah untuk melindungi alam dan penduduknya sendiri namun tetap terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara penduduk lokal terus diberi mimpi, bahwa mereka diberkahi Tuhan dengan alam yang kaya dan kekayaan melimpah. Sesungguhnya, kekayaan alam ini adalah kutukan bagi mereka yang hidup di atasnya.
“Itu bagaikan kamu memenangkan seekor babi, lalu seseorang merampas semuanya sampai hanya darah babi yang tersisa untukmu,” saya teringat bagaimana Paul Katut pernah berkata, dengan matanya yang berkilat-kilat marah.
Buku baru lah kapan ??
menunggu hasil karya terbaru
emas emas emas,tetap saja miskin
Ijin share 🙂 Tidak ada cerita tambang mensejahterakan 🙂
berarti btul dong bny pelanggaran HAM d Papua… Penjajah di freeport Papua… 60% Indo 40% Korup… Jadi jgn salahkan protes dr neg2 pasifik…
meskipun SDA Indonesia sangat kaya, tapi kalau tidak dikelola dengan baik, sama saja bohong….
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
Pulau Papua kaya emas ya, sampai di Papaua nugini pun msh byk emasnya.
Sayang gak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat setempat.
Mungkin itu x ya yg bikin orang Papua pengen Merdeka sendiri..??
Kerusakan yg disebabkan Ok Tedi lbh byk, krn itu Ok Tedi lbh baik hengkang supaya masyarakat bs makan ikan, minum dan tanah menjadi subur lagi.