Titik Nol 104: Terkapar di New Delhi
Tak ada jalan lain bagi saya untuk segera kembali ke Delhi. Penyakit kuning yang saya derita semakin parah. Tubuh saya lemas. Tetapi Delhi lebih dari seribu kilometer jauhnya, dua puluh empat jam perjalanan yang berat dengan kereta.
“Mungkin kamu harus pulang, Gus, jangan memaksakan perjalanan ini,” saran seorang teman dari Jakarta. “Hepatitis, itulah keadaan di mana banyak backpacker mengakhiri pengembaraannya,” seorang kawan backpacker senior dari Inggris menulis email. “Hepatitis adalah penyakit di mana seorang harus istirahat, bed rest total, satu bulan penuh minimal. Sebaiknya memang kamu pulang,” tulis yang lain.
Tetapi saya tak mau berakhir di sini. Saya tak mau menyerah dengan penyakit ini.
Dari sekian banyak surat dari kawan, hanya satu yang menyemangati saya untuk terus maju.
“Jangan menyerah, Gus. Maju terus. Gue yakin kamu pasti bisa,” tulis Andi Lubis, seorang wartawan senior di Medan.
Sepatah kalimat pendek itu yang membuat saya terus bertahan. Saya yakin saya pasti bisa, mencapai cita-cita saya melihat ujung dunia. Saya tak gentar perjalanan panjang kereta api menuju New Delhi. Saya harus segera sampai ke Pakistan, di mana gunung-gunung salju pegunungan Himalaya dan Karakoram akan menjadi tempat saya beristirahat. Hati saya dipenuhi segala macam rancangan, impian, harapan, dan setetes keyakinan.
Dengan berbekal tiga botol besar air tebu dan setandan pisang, berjalan terbungkuk-bungkuk memanggul ransel berat, saya berangkat menuju stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus yang megah. Dari luar gedung ini tampak bak istana Inggris, dengan dekorasi dan lekuk-lekuk arsitektur yang sangat detail. Stasiun kereta api Mumbai ini bahkan sampai terdaftar dalam warisan peninggalan budaya UNESCO.
Tetapi di dalam, suasana yang hiruk pikuk dan amburadul mengingatkan saya bahwa ini masih India. Sopir taksi yang baik, tahu saya kena penyakit berat, ikut membantu membopong tas ransel saya sampai ke dalam kereta. Bahkan untuk urusan ongkos, sopir taksi dan rickshaw selalu patuh argo, tak perlu berdebat macam di Delhi. Apalagi saya pun sudah tak bertenaga untuk itu.
Karcis kereta Mumbai – Delhi sebenarnya susah sekali didapat. Orang sampai memesan dua minggu sebelum hari keberangkatan. Tetapi untuk orang asing ada perlakuan khusus. Seperti kaum wanita dan veteran perang, orang asing tak perlu mengantre kalau membeli tiket. Entah penghormatan seperti ini kepada orang asing adalah peninggalan dari kolonialisme anak benua selama berabad-abad. Selain itu, ada sistem kuota yang menjamin pemegang paspor asing untuk selalu kebagian tiket. Sebuah sistem ramah turis yang membuat India semakin kebanjiran backpacker. Bagi saya, sistem ini adalah berkah tak terduga.
Begitu sampai di kereta, saya langsung berbaring di tempat tidur saya di ranjang atas. Sepanjang perjalanan saya hanya minum air tebu, makan pisang, tidur, minum air tebu lagi, makan pisang lagi, tidur lagi. Sesekali saya turun, duduk di hadapan turis Finlandia yang dengan penuh semangat mengisahkan pengalamannya ikut syuting film Bollywood.
Saya terlelap lagi. Kereta ini merayap lambat, sesekali terhenti selama tiga puluh menit. Bocah kecil menggelesot di atas lantai, memegang sapu lidi untuk menyapu, menengadahkan tangan minta sedekah dari penumpang, kemudian menggelesot lagi menyusuri koridor. Pedagang asongan berteriak-teriak di stasiun, entah di kota apa, menawarkan makanan goreng-gorengan yang bau minyaknya membuat saya langsung mau muntah. Petugas kereta api menawarkan nasi kotak. Hiruk pikuk. Saya tak mampu berlarut dalam kemeriahan kereta India, seperti yang biasa saya nikmati dalam perjalanan terdahulu. Sekarang saya hanya terbaring, terkapar, mengharap kereta ini lekas merapat di stasiun New Delhi.
Tetapi semakin kita berharap, semakin kecewa kita jadinya. Kereta yang saya tumpangi karena berbagai alasan yang saya tak lagi peduli, terlambat sampai enam jam. Saya menderita di atas kereta selama tiga puluh jam penuh, dan sekarang masih harus menyusuri keramaian pasar Paharganj mencari penginapan murah.
Saya langsung menuju ke losmen tempat saya menginap dulu, setengah kilometer jauhnya dari pintu gerbang stasiun. Jarak sebegini biasanya enteng saja. Tetapi dengan penyakit yang saya derita, rasanya sudah hampir pingsan ketika saya sampai di pintu gerbang. Saya langsung membaringkan diri di atas kasur keras, mencoba memejamkan mata.
Tiba-tiba perut saya keroncongan. Ah….., sudah lama sekali saya tidak merasakan rasa lapar. Pertanda bagus. Hepatitis membuat orang merasa tak lapar walaupun tak makan berhari-hari. Apakah rasa lapar ini berarti saya sudah hampir sembuh?
Mencari restoran yang masih buka tengah malam begini tak mudah. Warung favorit saya di Paharganj semua sudah tutup. Saya akhirnya duduk di sebuah warung kecil di pinggir stasiun. Saya meminta menu, pegawai warung langsung menunjuk ke arah tembok. Di tembok tertulis, “Semua makanan, 75 Rupee.”
Sebenarnya penderita hepatitis tak boleh makan daging, tetapi tinggal warung ini satu-satunya yang buka tengah malam begini. Tak ada pilihan, saya memesan tikka chicken, yang paling sedikit minyaknya.
Dalam sekejap, tujuh piring dengan beragam makanan terhidang di hadapan saya. Ada ayam, salad, keju panir, gorengan pakora, dan segala macam makanan yang membuat mual.
“Bhai, saya tidak memesan ini…” saya protes. “Jangan kuatir, itu sudah masuk di menu.” Tak disangka, warung kecil ini punya semangat pelayanan yang begitu terpuji.
Betapa terkejutnya saya ketika hendak membayar, si pemilik warung punya daftar menu. Kop menu itu adalah nama sebuah hotel besar. Lalu ia menghitung semua makanan yang terhidang di atas meja saya sesuai dengan harga di menu itu. Totalnya 675 Rupee, atau lebih dari 160.000 Rupiah. Saya menjerit. Pemilik warung hanya menyeringai penuh kemenangan.
Dengan penuh amarah menyelimuti, saya kembali terbaring di atas kasur keras di losmen saya. Saya mencoba memejamkan mata, tetapi rasa jengkel menghalangi saya untuk terlelap.
“Aaaaaaaaah……….” tiba-tiba terdengar lenguhan suara perempuan, keras sekali.
“Oh…yes..yes…yesssss” suara seorang pria dengan aksen Inggris kental, menyambung penuh gairah.
Dua anak manusia yang dimabuk asmara itu, entah penghuni kamar mana, terus bersahut-sahutan, beradu cinta, menjadi siaran radio erotis gratis bagi semua tamu losmen yang dindingnya cuma setebal kertas karton.
Percuma saja saya memaksa diri untuk tidur.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 26 Desember 2008
Mas, kapan di Jakarta? Meet up, yuk? Hee..
“: Titik Nol 104: Terkapar di New Delhi – ”<– walaupun sudah baca bukunya, tetap saja menarik untuk dibaca ulang.
Knp tdk bed rest aja??
Bknkan Allah jg memerintahkan qt u/ tdk mendzolimi diri sendiri mas…
@DuaRansel lihat foto sampeyan iku, jadi ingat kereta ekonomi khususnya di Jabodetabek bbrp thn lalu. Penyapu sampah, dll
Mas sendirian ya di sana?
Coba semua gambar di bukumu warna warni
Nothing can stop a willed man. Please take care. Thank you for sharing.