Titik Nol (127): Dusun Mati
Dusun Karimabad terperangkap dalam sepi. Salju terus mengguyur, menyelimuti lereng gunung dengan warna putih yang merambah semua sudut. Teras-teras ladang bagaikan lautan salju yang berombak. Saya juga terperangkap di sini.
Sekarang hanya ada seutas jalan yang menghubungkan Karimabad dengan dunia luar – Karakoram Highway. Ke utara, ke arah China, perbatasan ditutup total sejak awal Januari. Ke selatan, ke arah kota-kota Pakistan, jalan pun tertutup oleh longsoran batu gunung. Seluruh wilayah Northern Areas sekarang terperangkap dalam dunianya sendiri.
Saya sudah ingin cepat-cepat meninggalkan surga di lereng Karakoram ini menuju Kashmir, tempat saya seharusnya bekerja sebagai sukarelawan. Tetapi harga karcis bus ke Rawalpindi sungguh mahal, 821 Rupee. Karenanya, saya langsung mengiyakan tawaran Akhtar, pemuda dari Sost, yang katanya mau berangkat bersama menuju Islamabad dengan kendaraan pribadinya.
Tetapi janji orang sini tak boleh dipercaya seratus persen. Akhtar berkata, seminggu lagi kita berangkat. Saya sudah menunggu seminggu penuh, tak ada kabar juga. Komunikasi satu-satunya yang mungkin hanya via telepon. Di musim dingin begini, hanya ada satu warung telepon yang buka di Karimabad. Saya harus naik bukit hanya untuk sekadar menanyakan kapan ia berangkat. Jawabannya, bisa ditebak, “Mister,‘dua’ hari lagi”. Dua hari berikutnya, di bawah guyuran salju lebat tengah malam, saya menempuh perjalanan menuju wartel. Jawaban Akhtar masih sama, ‘dua’ hari lagi. Alhasil, sudah tiga minggu saya di sini, menanti janji yang entah kapan akan dipenuhi.
Tetapi saya percaya, hambatan dan rintangan di jalan, semuanya itu ada yang mengatur. Saya teringat, dua tahun yang lalu, ketika saya bersiap berangkat dari Kabul menuju ke China via Pakistan, saya malah ketiduran dan ketinggalan bus. Saya terlambat satu hari dari rencana semula. Tetapi setelah sampai di Rawalpindi, saya mendapat kabar bahwa bus yang sehari sebelumnya berangkat ke Gilgit mengalami kecelakaan dan terjatuh ke jurang. Tepat sehari sebelumnya! Kalau saja hari itu saya tak tertidur dan ketinggalaan mobil, tentu saya berada dalam kendaraan nahas itu, terjungkal dalam jurang Karakoram Highway yang dalam. Tak perlu dibayangkan, saya hanya belajar bersyukur untuk segala kejadian yang saya alami.
Penduduk Karimabad pun sudah terbiasa dalam kemonotonan warna musim dingin. Desa yang hidup dalam hembusan nafas turisme ini mati suri di musim dingin. Tak ada turis yang datang. Toko suvenir tutup sepanjang bulan. Hotel tak punya tamu sama sekali. Listrik pun sering tak datang. Para pria duduk di pinggir jalan, menyalakan api unggun dan bermain halma. Waktu berlalu begitu saja.
Politik menjadi perbincangan favorit orang-orang bosan ini. Kemarin ada berita menggemparkan, banyak jemaah yang tewas terinjak-injak dalam kecelakaan ibadah haji di Mekkah.
“Apa lagi sebabnya itu kalau bukan ketamakan? Semua ingin mendapat pahala yang paling besar” kata seorang pria desa, “para jemaah itu rakus dan egois. Apa gunanya pula jauh-jauh pergi haji kalau sifat-sifat macam itu masih dipelihara?”
Pemerintah Saudi Arabia, menurut berita di televisi, juga menyalahkan jemaah haji yang tidak disiplin ketika melempar jumrah.
Sebaliknya, orang Ismaili jarang yang berangkat naik haji. Pemimpin besar mereka, Karim Aga Khan, mengimbau pengikutnya untuk menyumbangkan uang ke jemaat khana – masjid orang Ismaili – yang kemudian mengatur penggunaan uang itu untuk kebutuhan ummah.
“Itulah sebabnya orang Ismaili lebih berpendidikan,” kata seorang penduduk desa menepuk dadanya dengan bangga, “Sembilan puluh sembilan persen orang Ismaili bisa baca tulis. Sedangkan Muslim lainnya di Pakistan, buta hurufnya sampai 60 persen, terutama perempuan.”
“Lihatlah negara ini. Kita memang perlu komunisme di sini!” kata seorang pemilik toko di Karimabad.
Dia adalah satu-satunya anggota partai komunis di seluruh dusun, memuja China sang tetangga raksasa dan menghujat politisasi agama di Pakistan. Sudah berulang kali ia pergi ke Kashgar, kota kuno Uyghur di China dekat perbatasan Pakistan. Setiap kali ia melihat negeri China, semakin bertambah cintanya pada komunisme. Pria berkumis ini dengan bangga mengibarkan bendera merah ukuran besar, lambang partainya.
“Pakistan sedang mundur. Kita perlu lebih banyak komunis di sini.”
Beranikah ia bicara lantang tentang komunisme di luar? Tidak terlalu. Hanya dengan saya yang orang asing a merasa nyaman untuk menumpahkan segala isi hatinya, kemarahannya, cita-cita dan impiannya. Lenin dipuja, Mao disanjung, Uyghur dan Arab dicela. Tetapi itu hanya menjadi gosip politik pengisi jenuh di kala dingin menggigit tulang.
Sementara pria ini dengan semangat berkobar-kobar berceramah tentang semangat komunisme, di luar sana, bocah kecil asyik menghangatkan diri di perapian pinggir jalan. Mulutnya mengunyah permen. Saya terkejut melihat bungkusnya. Ada gambar Osama ben Laden berpidato. Merek permennya juga “OSAMA”. Entah bagaimana rasanya.
Saya meneruskan mendaki, menuju puncak Sarang Elang di atas desa Dhuikar. Saya berjalan bersama Hussain si tukang masak dan Karim, kawannya yang baru datang dari Karachi. Di sini, semakin ke atas salju semakin tebal. Jalan licin oleh es yang mengkristal. Penginapan yang ramai oleh pendaki asing di musim panas, kini menjadi rumah hantu. Rumah-rumah penduduk pun kosong. Desa ini tak bernyawa, hanya rumah hantu dan sawah ladang mati yang ditinggalkan begitu saja, tertimbun salju tebal. Angin berhembus kencang, suaranya menderu seram.
Sarang Elang sama sekali tak berpenghuni di musim dingin. Penduduknya semua mengungsi ke desa-desa di bawah yang lebih hangat. Di sini tak ada air, listrik, makanan. Rumah-rumah ditinggalkan begitu saja, tetapi tak ada pencuri.
“Walaupun tak ada pemiliknya,” kata Hussain, “kita tak berani untuk melintas pagar tanpa ijin. Memang tak ada orang yang melihat, tetapi Tuhan selalu melihat apa yang kita lakukan. Tobah. Tobah.”
Saya menyesal mengusulkan untuk berteduh di salah satu rumah karena salju mulai deras mengguyur.
Di desa hantu ini, kami berpiknik. Di dalam gua, Karim dan Hussain menyalakan api unggun, membakar daging. Hanya ada sepi di sekeliling, saya bergidik ngeri.
“Kamu tahu puncak Lady’s Finger?” tanya Hussain memecah sepi.
Lady’s Finger adalah puncak gunung berbentuk lancip dan tinggi, dari Karimabad terlihat menjulang. Karena curamnya, tak ada orang yang pernah mendaki sampai ke puncaknya.
“Kamu tahu, Lady’s Finger itu maksudnya jari yang mana?”
Saya tidak tahu.
“Jari yang ini!” seru Hussain sambil mengacungkan jari tengahnya. Matanya berkedip-kedip nakal.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 Januari 2009
Leave a comment