Titik Nol 171: Tamu yang Kelaparan
Para tamu gelisah dan kelaparan. Tak ada pesta makanan di acara pernikahan ini.
Pernikahan di Pakistan adalah serangkaian acara panjang yang melelahkan. Titik awal dari pernikahan adalah magni, acara tunangan. Pasangan pengantin ini umumnya adalah hasil jodoh-jodohan orang tua. Mereka biasanya tak saling kenal sebelum pernikahan. Kalaupun yang sudah saling kenal biasanya adalah pernikahan dengan kerabat sendiri. Pernikahan yang dimulai dengan kenalan, pacaran, perpaduan cinta, atau bahasa kerennya love marriage, bukanlah hal yang dibanggakan di negara konservatif ini. Walaupun demikian, arranged marriage bukannya tanpa masalah. Ada beberapa kasus di mana si anak gadis menolak perjodohan, melarikan diri, dan kemudian dibunuh demi menjaga ‘kehormatan keluarga’. Inilah kasus klise karo kari atau honor killing yang banyak saya baca di surat kabar Pakistan.
Melalui magni, pasangan calon pengantin itu terikat komitmen. Hari dan tanggal baik untuk melangsungkan shadi – pernikahan – juga dirundingkan. Pernikahan yang sebenarnya bisa berlangsung enam bulan, atau bahkan lebih, sejak berlangsungnya magni.
Mayoun adalah acara awal yang memulai pesta pernikahan. Acara ini sifatnya religius. Sanak keluarga melantunkan ayat-ayat suci Qur’an dan memuji tauladan Nabi. Makanan lezat pun melimpah ruah. Kegagalan dan keberhasilan pesta pernikahan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang tersaji.
Acara berikutnya, berselang satu hari sampai satu minggu, adalah mehndi. Acara ini ada dalam tradisi Muslim dan Hindu di Asia Selatan, lebih sebagai komponen kultural daripada religi. Bagian terpenting dari acara ini adalah pembubuhan hiasan henna atau mehndi di tangan dan kaki pengantin perempuan. Mehndi adalah bagian paling meriah dari rentetan acara pernikahan. Band musik yang gegap gempita, luapan makanan, tamu-tamu yang menari hingga tengah malam, dan sorak sorai para kerabat bermain dengan calon pengantin.
Penghujung acara adalah akad nikka, dilaksanakan keesokan harinya oleh pihak keluarga dulhan – mempelai perempuan. Di kota besar Pakistan, acara ini biasanya dilaksanakan di Shadi Hall, gedung kemantin. Saya bersama rombongan tamu sudah duduk tak sabar di deretan kursi di sebuah Shadi Hall di Liaquat Chowk di pusat kota Rawalpindi.
Di Shadi Hall para tamu laki-laki ditempatkan di sebuah aula bersama sang mempelai pria, sedangkan tamu-tamu perempuan di ruangan sebelah. Pemisahan laki-laki dari perempuan ini disebut purdah, secara harafiah berarti tirai, tetapi di sini adalah tembok yang kokoh. Selain itu, yang membedakan dengan pernikahan di Indonesia, jangan mengharap makan besar di Shadi Hall Pakistan.
Perut saya sudah keroncongan sejak pagi. Seperti biasanya, sebagai seorang pengunjung acara pernikahan saya mendamba pesta makan besar-besaran. Tetapi saya benar-benar harus menahan lapar di sini. Undangan menyebutkan acara dimulai pukul 12, kami baru berangkat dari rumah dulha – mempelai pria – pukul 2 siang. Sampai di gedung ini, acaranya hanya duduk-duduk dan ngobrol sampai tiga jam. Sungguh membosankan. Bahkan dulha malah sibuk memencet-mencet tombol HP tanpa henti.
Kejaksaan Agung Pakistan melarang Shadi Hall menyajikan makanan untuk para tamu melalui UU Pelarangan Penghabisan dan Pemborosan Dana. Kalau dulu keluarga kaya masih bisa mengakali peraturan ini, sejak tahun 2000 yang melanggar dihukum dengan denda besar. Makanan hanya diizinkan di rumah keluarga mempelai.
Apa sebabnya? Pernikahan bukan melulu hingar bingar penuh kebahagiaan. Banyak kisah sedih tersembunyi di balik ketulusan hati dan keriangan wajah keluarga mempelai untuk menghadirkan yang terbaik bagi para tamu. Sejak kelahiran seorang bayi perempuan dalam keluarga di Asia Selatan, ayah dan ibu mulai susah payah menabung demi hari pernikahan putrinya. Menikahkan anak perempuan adalah kewajiban besar, paling tidak akan menelan dana ratusan juta rupiah. Selain untuk jehez, mas kawin, keluarga juga harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk menjamu para tamu dengan makanan yang paling lezat yang melimpah ruah.
Jehez, harga mahal yang harus dibayar untuk menikahkan seorang putri, adalah problema pernikahan di Pakistan. Keluarga pengantin perempuan susah payah memberikah jehez sebanyak-banyaknya, supaya putrinya nanti tidak menerima hinaan di rumah mertuanya. Tentu tidak ada yang salah dengan orang tua yang membekali anak gadisnya dengan perlengkapan hidup. Tetapi ketika itu menjadi ‘harga’, tuntutan dari pihak keluarga pria dan harga diri bagi pihak keluarga wanita, banyak gadis miskin yang tak mampu menikah.
Jehez mulai dari ranjang, kasur, bantal, lemari, televisi, DVD, oven, sampai mobil, sepeda motor, lemari es. Ironis, di negeri di mana sebagian besar rakyatnya menenggak air tercemar dan kurang gizi, orang malah memboroskan jutaan Rupee hanya demi martabat. Peraturan pemerintah Pakistan menetapkan batasan maksimal jehez 50.000 Rupee, atau sekitar 900 dolar. Tetapi peraturan ini hanya sekadar formalitas regulasi. Kalau pun dijalankan di tengah masyarakat yang masih belum sadar, yang menderita masih tetap pengantin wanita. Tidak layaknya jehez sesuai yang dituntut keluarga suami sampai menyebabkan kasus penganiayaan, pemerkosaan, sampai pembakaran istri.
Demikian pula acara pernikahan di Shadi Hall yang menjadi tanggung jawab keluarga pengantin wanita. Kultur keramahtamahan Pakistan membuat orang bangga tak kepalang jika sanggup memberikan yang terbaik buat para tamu. Acara shadi menelan biaya dengan angka fantastis, terlebih lagi di negara yang pendapatan rata-rata penduduknya setahun hanya sekitar 600 dolar. Keluarga miskin tak sungkan-sungkan meminjam dari tetangga demi menyelenggarakan acara pernikahan putrinya yang mewah. Semakin banyak meminjamnya, semakin besar pengorbanannya, semakin bangga mereka.
Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi kemewahan acara pernikahan, pemborosan uang untuk hal-hal yang tak perlu. President Musharraf melarang pesta kembang api, lampu neon yang berlebihan, dan jumlah tamu lebih dari 200 orang.
Pernikahan memang sederhana, tetapi cukup membosankan. Setelah menunggu tiga jam, para tamu yang keroncongan cuma disuguhi sekotak makanan berisi tiga iris kue, roti, dan sebotol minuman ringan.
Dalam bahasa Inggris dengan huruf merah dan besar, di atas kotak putih itu tertulis:
Selamat datang, tamu-tamu yang kami hormati dan muliakan, dalam acara pernikahan:
Putri dari M. Shafi Khan
dengan
Dr. Tariq Iqbal Afridi
Bahkan nama pengantin perempuan pun tak cukup layak untuk dicantumkan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 April 2009
Leave a comment