Recommended

Titik Nol 178: Kantor Pos yang Ribet

General Post Office (GPO) Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

General Post Office (GPO) Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya sungguh tak menyangka bahwa kirim surat di Pakistan bisa menjadi pekerjaan yanag paling merepotkan sedunia.

Setelah berjalan sepuluh bulan menyusuri Asia Tengah, setiap hari tas ransel saya semakin berat saja. Sepanjang jalan saya selalu membeli buku untuk dibaca. Sebagian buku yang sudah terbaca saya berikan ke orang lain, sebagian lagi terlalu saya untuk dibuang. Tak ada jalan lain, beberapa buku koleksi ini harus dikirim pulang untuk meringankan beban di punggung.

Bagi backpacker yang gemar membaca buku, bersukacitalah, karena mengirim buku dari Pakistan dan India benar-benar murah meriah. Layanan khusus kantor pos Pakistan yang berbandrol book post membolehkan saya mengirim tumpukan buku seberat hampir dua kilogram dengan biaya hanya 166 Rupee, atau hampir tiga dolar saja. Hanya satu syaratnya, buku ini dibungkus dengan kertas khusus yang disediakan oleh deretan kios penjual amplop di luar kantor pos, satu sisinya tidak boleh disegel supaya pihak kantor pos bisa melihat isinya.

Tetapi ada kabar buruk bagi backpacker yang gemar memotret, karena mengirim CD berisi foto tak diizinkan. Sebenarnya, segala macam CD, VCD, dan DVD dilarang dikirim keluar Pakistan.

“Tidak boleh,” kata petugas di loket, “karena mengirim CD pasti kena objection.”

Ibu paruh baya di bagian informasi, biasa dipanggil Madam, menganjurkan saya untuk membuat surat ijazat, surat ijin. Ijazat ini adalah surat bersegel, ditulis dalam bahasa Urdu, bisa dibeli dari pedagang amplop di luar pagar. Selain itu, harus ada tanda tangan dan cap dari pedagang amplop. Saya heran dengan sistem pos di sini, mengapa pedagang amplop di luar pagar punya pengaruh yang begitu luar biasa?

Aneh, pedagang amplop di luar pagar punya kuasa besar dalam urusan kirm-mengirim surat di kantor pos utama Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Aneh, pedagang amplop di luar pagar punya kuasa besar dalam urusan kirm-mengirim surat di kantor pos utama Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak ayal, pedagang amplop dengan gembira menarik 80 Rupee dari saya untuk selembar kertas dan coret-coretan tangannya dalam bahasa Urdu. Ia kemudian mencatat lagi segara detail paspor dan dokumen saya dalam buku tebalnya. Bagaimana sistem kantor pos Lahore yang bekerja baik di dalam gedung dan di luar pagar sungguh masih merupakan misteri bagi saya.

Madam melihat sekilas surat ijazat saya.

Thik hai. Koi problem nehi. Tidak ada masalah,” katanya tersenyum.

Dengan langkah penuh percaya diri, berbekal surat yang sudah direstui oleh Madam, saya kembali lagi ke loket.

Jawaban pria dingin di balik loket tetap sama.

“Tidak bisa. Segala bentuk CD tidak bisa dikirim ke luar negeri!”

Sebelum saya ada seorang gadis Pakistan yang mengirim oleh-oleh ke Kanada. Ada boneka beruang besar, sekotak parfum cair, dan beberapa CD. Hasilnya sama saja. CD tak boleh dikirim, tetapi parfum dalam botol kaca malah boleh.

Saya mengadu lagi ke Madam. Bak seorang ibu yang penuh welas asih, beliau mendengarkan cerita saya. Sekarang Madam menemani saya kembali ke loket, ia yang mewakili saya bicara.

“Ini mehman, tamu… tak bisakah kita beri sedikit perlakuan istimewa?”

Madam bicara dengan penuh semangat. Pria di balik kaca tetap menggeleng. Madam menoleh ke arah saya, “Kya karen? Apa lagi yang bisa kita perbuat?”

Tak putus semangat, saya sekarang berada di kantor kepala kantor pos Lahore. Bahkan untuk mengirim CD pun saya harus berhadapan langsung dengan sang direktur.

“Secara hukum, mengirim CD ke luar Pakistan dilarang. Kalau kamu memaksa, bisa saja dikirim, tetapi risiko CD rusak ditanggung sendiri.”

Madam pun ikut bingung, malah menyarankan saya tanya lagi ke pedagang amplop di luar pagar. Ini sebenarnya siapa yang bekerja di kantor pos? Dari tadi saya disuruh tanya ke pedagang pinggir jalan.

Bapak tua dengan kios amplopnya menyarankan saya untuk mengirim sebagai surat biasa karena kalau surat biasa jarang diperiksa apa isinya. Sebuah saran yang penuh risiko. Madam juga angkat bahu, ia ingin sekali menolong saya tetapi ia sendiri pun sebenarnya kurang begitu paham aturan kantor pos.

Surat izin yang ditandatangani pedagang amplop, ternyata juga berkekuatan hukum (AGUSTINUS WIBOWO)

Surat izin yang ditandatangani pedagang amplop, ternyata juga berkekuatan hukum (AGUSTINUS WIBOWO)

Mengapa mengirim CD keluar negeri dilarang melalui kantor pos Pakistan? Tak semua negara yang memberlakukan aturan ini. Dulu dari India saya mengirim banyak CD sebagai cadangan foto-foto digital yang sudah saya ambil, sama sekali tak masalah, dan harganya pun murah. Sekarang yang mengizinkan pengiriman CD hanya kurir yang mengutip biaya sampai ribuan Rupee.

“Informasi,” kata Asad, seorang mahasiswa Universitas Punjab di Lahore, “adalah barang yang teramat sensitif di Pakistan. Kalau semua orang boleh mengirim CD, bayangkan berapa informasi rahasia negara kami yang bocor ke tangan musuh?”

‘Musuh’ terdekat Pakistan tepat berada di seberang pintu perbatasan, tiga puluh kilometer jauhnya dari Lahore.

Bapak tua pedagang amplop punya ide brilian lain.

“Mengapa tidak mencoba mengirim nanti sore? Sekarang sudah siang, semua petugas yang bekerja di dalam kantor sudah mulai kerja dari pagi. Banyak mereka yang sudah lapar, capek, ingin pulang, dan sama sekali hilang hasrat untuk menolong sesama.”

Saya mengikuti anjurannya. Saya membawa Asad yang orang Pakistan untuk membantu saya. Pukul empat sore, di balik kaca loket pengiriman paket, adalah seorang pria muda berpakaian santai. Wajahnya cerah, senyumnya mengembang.

“Sebenarnya, mengirim CD ke luar negeri memang bermasalah. Tetapi tak apa, karena kamu adalah mehman – tamu yang datang ke negara kami, saya akan menanggung segala risikonya kalau barang kamu tak sampai di tujuan.”

Konsep mehman menghancurkan tembok birokrasi yang tebalnya berlapis-lapis. Tak sampai hitungan menit, CD saya sudah diterima, dicap, dan dicatat. Biayanya hanya 177 Rupee plus 1 Rupee untuk registrasi.

Saya jadi belajar ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan – koneksi, suasana, kengototan, keberuntungan, dan tak lupa tentunya, timing. Ini bukan faktor sogok-menyogok, karena petugas pun sebenarnya tak selalu paham akan peraturan yang berlaku. Seorang mehman yang datang pada orang yang tepat di saat yang tepat boleh tersenyum bangga atas keberhasilannya menembus birokrasi Pakistan yang sukar dipahami dengan nalar biasa.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 April 2009

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*