Exposure Magazine (2009): Menggapai Negeri Atap Dunia
EXPOSURE MAGAZINE (DECEMBER 2008)
MENGGAPAI NEGERI ATAP DUNIA
“Tempat ini demikian tingginya, hingga burung pun tak mampu terbang ke sana,” demikian Marco Polo melukiskan barisan pegunungan ini. Kabut menyelimuti taburan kemah putih bundar suku nomaden.
Lenguhan keras yak bertanduk raksasa menggemakan keangkuhan gunung padas. Sungai deras mengalir, padang hijau membentang, danau biru kelam menyemburatkan misteri, rintik salju mengguyur perlahan. Anak-anak bermain bola ditelan awan. Sunyi. Damai. Mistis.
Inilah musim panas di Pamir, atap dunia di ujung paling terpencil negeri Afghan, pada ketinggian 4.300 meter.
Di sini salju bisa turun kapan saja. Sepanjang musim, sepanjang tahun. Manakala ibukota Kabul terbakar oleh mentari bulan Juli, saya di Pamir harus meringkuk di tepi perapian, menghirup segarnya susu yak bersama potongan daging kambing rebus sebesar lengan.
Yang tinggal di alam yang tak bersahabat ini adalah bangsa Kirghiz, bangsa minoritas di Afghanistan, yang masih mempraktikkan cara hidup nomaden yang hampir punah di penjuru mana pun di muka bumi ini. Kaum prianya adalah penunggang kuda yang jempolan. Kaum perempuannya berpakaian merah menyala, lengkap dengan lusinan kalung, gelang, dan pernak-pernik yang berat. Yang masih gadis bertudung merah. Yang sudah menikah berkerudung putih, seperti salju yang menangkupi puncakpuncak gunung raksasa yang menjulang di sekeliling.
Mereka hidup dalam roda waktunya sendiri, terkurung isolasi pegunungan raksasa dan garis perbatasan yang tak tertembus. Dusun terdekat Afghanistan harus ditempuh melalui perjalanan menyeramkan berhari-hari dengan berkuda, melintasi lekukan tebing curam di tepi jurang menganga, menyusuri lintasan kuno Jalan Sutra yang pernah menjadi denyut nadi peradaban dunia berabad silam.
Tajikistan, Pakistan, dan Cina, ada di balik gunung-gunung raksasa itu, menyimpan mimpi kehidupan yang melintas di putaran zaman berbeda. Keterasingan Pamirlah yang membuat aliran zaman terhenti. Musim demi musim, tahun demi tahun, abad demi abad. Dalam dunia orang-orang Kirghiz ini hanya ada padang rumput, salju, kemah, kuda, yak, dan domba.Di sini uang tak dikenal. Perdagangan masih dilakukan dengan sistem barter dengan kambing sebagai satuan hitungan. Semua orang tak kenal huruf. Bocah-bocah kecil hanya bermain keledai dan kuda sepanjang hari. Gembala tergolek tak berdaya di sudut kemah, larut dalam kenikmatan asap candu. Para istri tak pernah lepas dari rutinitas memerah susu, memasak, dan mencuci.
“Pamir kami adalah tempat yang keras,” kata Khan Abdul Rashid Khan, sang “raja” suku Kirghiz di Pamir Kecil, “Hidup kami hanya bergantung pada kekuasaan alam. Tetapi inilah vatan – kampung halaman kami. Hati kami tertambat di sini. Biarpun kami tahu di balik gunung-gunung itu ada kota yang makmur, jalan raya yang mulus, ladang gandum yang subur, ilmu pengetahuan dan peradaban, tetapi tak pernah terbersit keinginan kami untuk meninggalkan dunia kami, surga kami.”
Di tengah kungkungan gunung-gunung raksasa, masih terus merambat kehidupan kuno dengan pengembaraan tanpa akhir.
Sebuah perkampungan kemah di tengah padang luas
kanan: kaca mata hitam
kiri: seorang wanita Pamir menjemur krut—keju dari susu yak yang bisa tahan sepanjang tahun
kanan: Ooy dan gadis Kirghiz bertudung merah
Sarapan pagi di dalam kemah
Asap mengepul di dalam dapur
s
kiri: Pendidikan kini telah singgah di Pegunungan Pamir
kanan: Dua bulan lalu, sekolah pertama di Pegunungan Pamir dibuka
Gadis Kirghiz
atas: Membongkar kemah. Sebagai bangsa nomaden, ooy atau kemah bangsa Kirghiz sangat portabel. Dalam setahun mereka berpindah rumah setidaknya empat kali.
bawah: Senja di padang Manara
kiri atas: Selamat datang di ooy, kemah bangsa nomaden
kiri bawah: Salju di musim panas
kanan: Dari balik rumah
Kerumunan yak
kiri: Manisan beterbangan mengiringi isak tangis dalam acara pernikahan
kanan: Khan Abdul Rashid Khan, pemimpin bangsa Kirghiz di Pamir Kecil, Afghanistan
Gembala
kiri: Dalam selimut kabut dan awan
kanan: Danau Chaqmaqtin, danau terbesar kedua di Pamir, Afghanistan.
Agustinus Wibowo
Saat ini sedang melaksanakan perjalanan darat lintas benua Asia, melintasi sebelas negara Asia Tengah dan Selatan. Sejak 2007 ia berprofesi sebagai fotojurnalis di Afghanistan dan telah mengunjungi tempat-tempat terpencil di negeri yang baru dilanda perang berkepanjangan itu. “Afghanistan adalah negeri terindah yang pernah saya kunjungi,” katanya. Dari danau biru kelam Bamiyan hingga atap dunia Pamir, semua menyimpan kejutan dan kecantikan yang misterius.”
Salam kenal…… nice to read your articles….. membayangkan di belahan dunia lain ada kehidupan yang keras… can I add your link? I’m newbie……