Recommended

Islamabad – Wedding in the Capital (2)

April 9, 2006

Membaca Qur’an di rumah dulha (AGUSTINUS WIBOWO)

Membaca Qur’an di rumah dulha

Hari ini hari ketiga pernikahan, setelah mehndi kemarin. Acaranya, yang semula kata Ijaz dimulai pukul 12, ternyata terlambat lagi (seperti biasa di Pakistan) hingga pukul 2. Ijaz, sebagai teman terdekat mempelai pria, mengiringi mempelai pria dalam mobilnya. Arak-arakan mobil panjang berjalan dari Islamabad menuju Rawalpindi.

Di dalam mobil ada yang bertanya tentang asalku. Aku jawab Pakistani. Mereka manggut-manggut, “Gilgit ya…”, dengan sok tahunya menambahkan, “memang orang Gilgit wajahnya mirip orang Cina ya…”

Sebagaimana acara pernikahan lainnya di Pakistan, di sini juga acara mempelai pria menjemput mempelai wanita, istilahnya dulha menjemput dulen. Namun karena ini di kota, acara bukan lagi di rumah masing-masing mempelai, melainkan di sebuah Wedding Hall di pusat kota Rawalpindi, tepatnya di Liaquat Chowk.

Wedding hall, bukanlah seperti halnya gedung pernikahan di Indonesia di mana piring-piring makanan membanjiri setiap perut pengunjung. Di sini, kami, para tamu laki-laki pengiring mempelai ditempatkan di sebuah aula bersama sang mempelai pria, sedangkan tamu-tamu perempuan di ruangan sebelah, yang dipisahkan oleh dinding dengan sebuah pintu. Pemisahan kelamin adalah hukum di Pakistan, dan di tempat ini pun hukum harus berjalan. Tak ada makan dan minum. Yang ada hanya menunggu. Aku sendiri tak tahu untuk apa acara ini, karena sejam jam 3 sampai jam 5 sama sekali tidak ada kegiatan. Perut pun sudah keroncongan, tapi tak ada makanan pula. Desas desusnya pemerintah Pakistan melarang makanan untuk dimakan di Marriage Hall. Dilarang memakan makanan atau sama sekali tidak ada makanan??? Keluarga pihak laki-laki berkata bahwa makanan yang mewah akan disajikan di rumah mempelai pria setelah semua acara berakhir.

Tamu-tamu hanya ngobrol sendiri-sendiri. Mempelai laki-laki pun sibuk dengan telepon genggamnya, nampaknya menelepon teman-temannya yang belum hadir. Suasana pernikahan di kota memang tidak sekusyuk di dusun-dusun. Tamu-tamu yan g sudah bosan duduk tanpa melakukan kegiatan apa-apa mulai satu-per-satu meninggalkan ruangan untuk menghembuskan asap rokok. Menunggu, memang sudah menjadi adatnya di Pakistan.

Para tamu laki-laki sudah bosan menunggu. Tamu perempuan di ruang sebelah (AGUSTINUS WIBOWO)

Para tamu laki-laki sudah bosan menunggu. Tamu perempuan di ruang sebelah

Boleh bernafas lega, karena akhirnya datang pula makanan pengisi perut. Para keluarga laki-laki tidak menyebutnya makanan, tetapi hanya “refreshment”. Refreshment ini berupa sebuah kotak berisi tiga iris kue dan roti, serta sebotol minuman ringan. Refreshment ini datang dari pihak perempuan, dan tampaknya pihak laki-laki tidak puas dengan sajian ini. Mereka berkata bahwa mereka telah memberikan 150000 Rs kepada pihak perempuan untuk menyelenggarakan pesta hari ini, namun masa makanannya hanya segini (bahkan sebelumnya saya dengar bahwa tidak akan ada makanan sama sekali?). Sekilas aku membaca tutup kotak, agak terkejut juga membaca tulisan merah dan besar itu. Kedua mempelai adalah laki-laki!!! Bagaimana mungkin???

Berikut copy paste dari tulisan yang tercetak di bungkus makanan itu
Welcome
to our respectable and honorable guests
at the wedding ceremony of
D/o M. SHAFI KHAN
with
Dr. Tariq Iqbal Afridi

Sebenarnya saya kelewatan satu informasi. D/o artinya daughter of, putri dari. Bahkan nama pengantin perempuan kurang cukup berharga untuk dicantumkan di sini.

Keluarga Afridi adalah salah satu keluarga yang cukup dihormati di Pakistan. Ijaz datang dari keluarga Syed, yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Keluarga Syed dan keluarga Afridi tidak saling menikah. Walaupun bukan penganut Hindu, kasta, dalam wujud lainnya, juga berlaku di kalangan penganut muslim Pakistan, di mana pasangan-pasangan suami dan istri telah dihitung bobot buruk dan baiknya oleh orang tua mereka.

 Jangan menangis, sayangku (AGUSTINUS WIBOWO)

Jangan menangis, sayangku

Aku sendiri tak tahu di mana pengantin perempuan, karena pemisahan seks yang sangat ketat. Aku hanya membayangkan bahwa pengantin perempuan sedang menangis terisak-isak di ruangan tamu wanita sana. Ternyata aku salah. Pengantin perempuan sama sekali belum datang. Baru pukul lima, sesosok tubuh berbalut pakaian megah berwarna ungu dengan kepala yang dibungkus kain hitam berjalan terseok-seok diiringi seorang wanita muda. Aku semula mengira bahwa tubuh itu adalah milik seorang nenek tua tamu pesta ini, namun setelah melihat pasukan penabur bunga menaburkan mawar-mawar kecil, baru aku sadar kalau itu pengantin perempuan.

Acara penantian pun hampir selesai. Setelah tiga puluh menit kedatangan sang wanita, pengantin pria mulai beranjak menuju tempat para tamu wanita. Tamu laki-laki mulai meninggalkan tempat. Tak semua orang boleh menuju tempat para tamu perempuan, hanya keluarga dekat pengantin saja. Aku kebetulan mendapat ijin memotret secara dekat.

Ketika pengantin pria hendak memasuki tempat pengantin perempuan, para wanita dari keluarga mempelai wanita menghadang sang pengantin pria, hingga sang pria menaburkan lembaran-lembaran uang agar para wanita itu memberi jalan. Sang mempelai perempuan, bertubuh agak besar, selalu menundukkan kepalanya dalam-dalam, yang jelas bukan karena gelang hidungnya yang besar dan berat. Aliran air mata meleleh. Namun tak seperti perempuan desa, wanita Islamabad ini sangat berhati-hati sehingga air mata tak mengotori wajahnya yang telah bermandi make up.

Pengantin laki-laki akhirnya berhasil bersanding dengan sang wanita. Mereka mulai menerima ucapan selamat dari sanak saudara. Acara foto-foto keluarga pun dimulai. Dan hingga berjam-jam.

Baru kemudian sang perempuan kembali dibungkus cadar, mirip hantu hitam pekat yang berjalan tertatih-tatih. Seorang wanita tua membawa sebidang balok berbungkus kain merah di atas kepala sang mempelai wanita. Baru kemudian aku ketahui bahwa isi bungkusan kain merah itu adalah Al Quran. Mempelai laki-laki dan perempuan duduk bersama di mobil pengantin, sesuatu yang tidak ditemui dalam pernikahan di desa pada umumnya.

Ketika mobil pengantin mulai beranjak meninggalkan wedding hall, dan tamu-tamu pun mulai bepergian, para pengemis menggunakan kesempatan paling akhir mereka untuk sesuap rejeki. Satpam tak segan-segan memukulkan pentungan kayunya kepada pengemis wanita yang ngotot meminta sedekah.

 Menunya cuma kue dan minuman botol(AGUSTINUS WIBOWO)

Menunya cuma kue dan minuman botol

Iring-iringan mobil kini bergerak menuju rumah mempelai pria. Para pengiring mempelai wanita semua pulang ke rumah masing-masing. Kini yang tersisa hanya mempelai laki-laki bersama para pengiringnya yang telah berhasil ‘menggondol’ mempelai perempuan. Sampai di rumah pihak laki-laki, mempelai perempuan pun dituntun menuju ke kamar sandingan. Di sini bungkusan Al Quran dibuka, dan mempelai wanita dipersilakan membaca beberapa ayat dari buku suci itu. Kemudian adalah giliran sanak saudara pihak pria yang memberikan ucapan selamat. Selalu ada uang. Uang disisipkan ke jari jemari mempelai pria yang selalu tertunduk itu. Dan dengan sigap seorang wanita di sebelahnya menyambar uang itu, mencatatnya dan menyimpannya. Wanita ini adalah bendahara keluarga.

Mempelai pria tak hentinya menerima suapan manisan sebagai wujud pemberkatan. Juga uang. Kekenyangan dengan manisan yang hanya berasa gula, mempelai pria pun kewalahan. Berikutnya dia tidak mau lagi menelan manisan, melainkan hanya menerima kalungan bunga dan kalungan uang. Uang, besar dan kecil, bertaburan dalam upacara ini.

Acara yang paling akhir adalah ketika mempelai wanita dibawa ke kamar pengantin. Seperti halnya di Indonesia, acara ini dipenuhi dengan drama dan canda. Pengantin pria yang membawa istrinya dihadang oleh sanak saudaranya, hingga sang pengantin membagi-bagikan uang kepada para saudara ini hingga mendapat jalan menuju kamar malam pertama.

Dan acara berikutnya tidak terbuka untuk liputan

Leave a comment

Your email address will not be published.


*