National Geographic Traveler Indonesia: Kilau Warna dalam Selimut Debu
Perang puluhan tahun tak mengoyak kemolekan alam apalagi impian, tradisi, dan kehormatan pemegang peradaban kuno ini.
Kata apa yang paling sering dihubungkan dengan nama Afghanistan? Perang? Kemiskinan? Taliban? Teror? Bagi kebanyakan orang, Afghanistan membawa kesan kelabu dan melankolis. Tetapi di negeri yang tak kunjung usai dihajar perang puluhan tahun ini ternyata juga ada impian, tradisi kuno, kebanggaan, dan peradaban.
National Geographic Traveler Indonesia Agustus 2011
Kilau Warna dalam Selimut Debu
Perang puluhan tahun tak mengoyak kemolekan alam apalagi impian, tradisi, dan kehormatan pemegang peradaban kuno ini.
Kata apa yang paling sering dihubungkan dengan nama Afghanistan? Perang? Kemiskinan? Taliban? Teror? Bagi kebanyakan orang, Afghanistan membawa kesan kelabu dan melankolis. Tetapi di negeri yang tak kunjung usai dihajar perang puluhan tahun ini ternyata juga ada impian, tradisi kuno, kebanggaan, dan peradaban. Afghanistan adalah negeri yang terselubung debu. Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki, debu langsung menyeruak menembus hidung, rongga mulut, gigi-geligi, dan memenuhi tenggorokan. Bulir-bulir debu menyelubungi seluruh negeri, laksana cadar pekat yang menyembunyikan misteri kecantikannya. Debu bukan sekadar debu. Bagi orang Afghan, debu itulah dari mana mereka berasal, dan ke mana nanti mereka berakhir. Debu adalah sejarah mereka, masa lalu dan kebanggaan, kecintaan dan penghormatan. Dari debu yang tanpa makna itulah kebanggaan Afghanistan bermula.
Kebanggaan peradaban kuno berawal dari gunung-gunung cadas, menyokong perputaran roda sejarah umat manusia. Tanah gersang ini pernah menjadi pusat peradaban Buddhisme, dan masih menyisakan bangunan-bangunan raksasa yang menampilkan keluhuran budaya Islami. Di negeri yang dilanda perang silih berganti ini, kebanggaan dan kehormatan tak boleh dikorbankan sekalipun nyawa menjadi taruhan. Keluhuran budaya Afghan adalah mengorbankan diri demi melindungi tamu. Keramahtamahan adalah jalan hidup di negeri berdebu ini. Sekalipun tidak punya apa-apa, mereka tetap berusaha menyajikan roti bagi musafir malang. Perjalananan mengelilingi negeri ini adalah seperti menyibak selubung demi selubung debu impresi yang membungkus. Perang dan kemiskinan adalah gambaran umum Afghanistan. Tetapi ternyata kehidupan di sini adalah sebuah prosesi penuh warna.
Siapa pun yang datang ke Afghanistan pasti akan terpukau dengan kedahsyatan masjid-masjid kuno Herat, atau mozaik sarat seni di kota suci Mazar-e-Sharif. Pecinta alam akan menganga menyaksikan gunung-gunung salju mencakar langit di Pamir, atau kelamnya danau mukjizat di Bamiyan. Tetapi yang paling penting dari itu semua adalah tatap mata orang Afghan yang begitu tajam menghunus. Karena itulah sumber kedahsyatan warna-warni di bawah selimut debu.
Tulisan Agus tentang Afganistan begitu dalam, indah dan memukau. menluluh lantakkan image buruk ttg Afganistan yg selama ini di dapat dari media2 umum.
Kurasa Agustinus berhasil menyajikan Afganistan dengan apa adanya. Ada sisi terang, ada juga sisi gelap. Semuanya tersaji dengan sederhana, tanpa menghakimi. Dan memang benar, it’s about the journey, not the destination.
Just watched videos on YouTube of you on Indonesian TV, Ming. Amazing to see you all these years later. Email me sometime.
Adam 😀