Garis Batas 21: Danau Kematian
Karakul, danau besar di puncak atap dunia, adalah sebuah danau raksasa. Tak ada kehidupan di dalamnya. Dalam bahasa Kirghiz, Karakul berarti danau hitam. Danaunya sendiri tidak hitam, malah biru kelam memantulkan warna langit yang cerah. Yang hitam adalah kehidupannya. Dalam danau yang sangat asin ini, tak ada satu pun makhluk yang bisa hidup.
Danau ini tercipta oleh sebuah meteor yang jatuh menghantam bumi, jutaan tahun silam. Biksu Buddha Xuanzang, ribuan tahun yang lalu, pernah lewat sini. Marco Polo pun pernah melintas. Kini, danau ini masih menyimpan misteri dalam keheningannya.
Di dekat danau ada sebuah dusun kecil. Penduduknya berasal dari etnis Kirghiz , hanya ada satu orang Tajik. Saya sebenarnya dikenalkan oleh orang-orang di Murghab untuk menginap di rumah orang Tajik yang polisi ini. Tetapi, ketika saya sampai di Karakul, si polisi sudah tidak tinggal di sini lagi.
Saya pun menginap di sebuah rumah keluarga Kirghiz yang memang sudah dipersiapkan oleh organisasi Perancis, Acted, di Murghab, sebagai losmen untuk melayani orang asing. Keluarga ini tidak bisa bahasa Tajik, tetapi si suami bisa sedikit-sedikit. Setidaknya mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan Tajikistan dengan bangga, “Zindabosh e vatan Tajikistan e azadi man…,” walaupun tidak tahu artinya sama sekali. Tildahan, istrinya, seorang wanita muda yang cantik yang mirip artis Korea, tidak bisa bahasa Tajik sama sekali. Bahkan dia tidak tahu bedanya antara si (tiga puluh) dengan se (tiga). Anaknya yang basih berumur empat tahun, Nurulek, bocah berpipi tambun, suka sekali melompat-lompat sambil berceloteh riang, “OK! OK!”
Dibandingkan Murghab, kehidupan di sekitar danau mati Karakul tidak terlalu menyedihkan. Di musim panas, padang rumput di sekitar danau ini menghijau. Air selalu melimpah. Tempat ini adalah lokasi yang bagus bagi penggembalaan ternak, yang sudah menjadi tradisi turun-temurun bangsa Kirghiz. Rumah-rumah di Karakul, seperti halnya rumah-rumah penggembala di Alichur, semua berbentuk kotak-kotak seragam, tersebar tak karuan, namun rapat. Orang-orang tidak kaya, tetapi tidak sampai kelaparan juga, karena setiap keluarga punya hewan ternak untuk penghidupan. Lembah hijau dan air yang melimpah ruah ini menjadi sumber kehidupan bagi orang-orang di sekitar danau.
Dusun di sebelah danau Karakul ini sebenarnya masih baru. Ribuan tahun lalu, ketika biksu Hsuan Tsang dari dinasti Tang, yang lebih dikenal dalam legenda Kera Sakti, pernah singgah di danau ini dalam perjalanannya ke barat. Tak ada kehidupan di sekitar danau. Tak ada dusun dengan rumah kotak-kotak ini. Hanya ada danau luas, tanpa ikan dan tanaman. Inilah danau kelam yang disebut Kara Kul, danau hitam. Begitu sunyi suasana di sini, misterius, mati. Kabut tipis baru saja berlalu di atas permukaan air, dihembus angin pagi yang mengantarkan sinar mentari. Udara sangat dingin. Saya menggigil di tepi danau mati dikelilingi puncak-puncak pegunungan Pamir.
Musim dingin datang lebih cepat di pegunungan. Desa Karakul sudah mulai merasakan susahnya musim dingin karena persediaan listrik sangat minim. Air dari gunung-gunung sudah mulai membeku dan generator tidak lagi berputar sesibuk biasanya. Orang-orang desa terpaksa kembali lagi ke radio transistor, atau paling banter tape recorder untuk mengisi kebosanan di hari-hari yang dingin. Sayangnya, televisi tidak mungkin diakali, karena tidak menyala dengan batu baterai. Siapa yang peduli? Pria-pria Kirghiz berjaket tebal asyik bermain catur atau duduk memperbincangkan ketumpulan hidup, hanya sekadar membunuh waktu. Sementara para perempuan sibuk memasak, memasukkan kayu dan batu bara ke tungku untuk menghangatkan ruangan. Selain itu, tak banyak yang bisa dikerjakan di sini.
Seperti penduduk Karakul, para tentara penjaga perbatasan di sini pun juga sama bosannya. Mereka harus melewatkan bertahun-tahun hidup mereka yang berharga di tempat yang tidak berharga ini.
“Gila! Dingin sekali di sini,” kata seorang tentara muda dari Khojand yang harus menjalani wajib militer di sini. Pria Tajik berusia dua puluh tahun ini tentu saja merindukan rumahnya, di kota terbesar kedua Tajikistan, di Khojand di lembah Ferghana yang hangat sana. Siapa yang mau ke tempat semerana ini?
Khurshed, komandan tentara perbatasan, adalah seorang pria Tajik asli Pamir. Umurnya masih 25 tahun, tetapi gajinya sudah 300 Somoni, sekitar 85 dolar, jauh di atas gaji rata-rata orang Tajikistan. Anak buahnya ada 80 orang. Saya juga heran, delapan puluh orang di desa kecil seterpencil ini mau buat apa.
“Oh, banyak sekali yang bisa mereka lakukan di sini,” sanggahnya. Yang saya lihat para tentara ini kerjanya mencatat nomer semua kendaraan yang melintas, mengecek dokumen orang-orang, dan memeriksa bagasi apakah ada obat-obatan terlarang yang mau diselundupkan ke negara tetangga. Untuk pekerjaan ini dibutuhkan 80 orang tentara?
Para tentara di sini sebagian besar datang karena terpaksa – wajib militer. Mereka datang untuk bekerja tanpa menerima bayaran, atau kalau pun dibayar paling banter 1 dolar per bulan.
Karakul terletak persis di sebelah daerah sensitif perbatasan dengan China. Setiap hari mulai dari subuh yang membeku hingga malam yang menggigit terntara perbatasan harus melaksanakan patroli sepanjang pagar kayu. Suatu hari saya pernah melihat Khursid mengomandani anak buahnya untuk membersihkan jalan batu. Saya yakin, setelah para tentara muda ini menghabiskan dua tahun wajib militer di sini, mereka bakal jadi pembersih jalan yang jempolan.
Sebagian besar tentara di sini adalah pemuda Tajik yang berasal dari propinsi-propinsi lain, walaupun ada pula beberapa yang etnis Kirghiz. Khurshed si komandan sama sekali tidak bisa bahasa Kirghiz. Kalau memerintah dia menggunakan bahasa Tajik, kadang bahasa Rusia.
Semula Khurshed sangat suka bercerita kepada saya. Tetapi, lama-lama saya menangkap sebersit tatapan aneh di matanya ketika saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam tentang kemiliteran Tajikistan. Dia mulai curiga bahwa saya adalah mata-mata. Di negeri ini kata spion atau mata-mata sangat sensitif. Orang sering menyebut kata itu dalam kehidupan sehari-hari diiringi tatapan mata penuh rasa curiga. Mungkin mereka masih ingin bernostalgia tentang masa lalu mereka bersama para agen KGB Uni Soviet yang mengintai setiap menit setiap detik.
Khurshed mulai berhati-hati dengan saya. Ia memeriksa setiap lembar paspor saya dengan teliti. Mula-mula ia tidak menjawab pertanyaan saya, tetapi kemudian dia lebih memilih untuk memberi informasi palsu.
“Kamu lihat gedung itu? Itu adalah gudang amunisi kami.”
Atau kalau tidak ia menunjuk ke arah batang logam yang mirip cerobong asap, “nah, kalau yang itu… dengan cerobong itu kami bisa menembakkan rudal ke arah China!”
Tajikistan yang seujung jari mau melemparkan rudal ke negara tetangga yang raksasa itu, dari cerobong kayu tua pula, di sebuah desa mungil di tepi danau kosong ini?
Tempat Khurshed berpatroli memang strategis. Dari sini, kita bisa melihat jalan raya sejauh-jauhnya. Dua puluh lima kilometer ke utara ke arah Kyrgyzstan, sepuluh kilometer ke selatan ke arah Murghab, semua bisa terlihat dari sini. Rentang 35 kilometer ini yang ada hanya jalan. Tak ada kendaraan yang melintas. Sepi sekali.
“Rata-rata hanya 12 kendaraan yang melintas per hari,” kata Khurshed. Dan untuk tingkat kesibukan seperti ini perlu 80 tentara perbatasan?
Setidaknya para tentara yang kena wajib militer ini bukan pengangguran. Walaupun pekerjaan mereka hanya menjaga pintu gerbang di tengah kesunyian, atau pembersih jalan berbatu, setidaknya mereka bisa mengurangi angka pengangguran di negara ini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 April 2008
Hebat