Garis Batas 36: Raksasa Asia Tengah
Menyeberangi Sungai Chui, melintasi perbatasan alami antara Kyrgyzstan dengan Kazakhstan, saya merasakan pergeseran kehidupan yang luar biasa. Dari kantor perbatasan Kyrgyzstan yang terbuat dari tanker minyak bekas yang sudah berkarat ke kantor perbatasan Kazakhstan memamerkan kecanggihan sebuah negeri yang sedang menikmati kemakmuran.
Salju terus mengguyur bumi. Sejauh mata memandang yang tampak hanya langit kelabu. Saya masih teringat tentara perbatasan Kyrgyzstan yang dari tadi memberi isyarat minta disogok, gara-gara visa saya tidak distempel ketika memasuki negeri Kirghiz dari perbatasan Bör Döbö. Baru setelah menunjukkan beberapa surat dari KBRI, tentara penjaga perbatasan yang rakus-rakus itu mengizinkan saya lewat menyeberangi jembatan menuju Kazakhstan.
Bendera biru muda Kazakhstan, berhias matahari kuning yang cerah, berkibar di atas gedung balok putih itu. Prosedur imigrasi Kazakhstan, dibandingkan negara tetangga yang berkantor di bekas tanker minyak, nampak jauh lebih modern dan teratur. Bukan hanya harus mengisi Migration Card yang harus disimpan bersama paspor dan visa selama berada di negara ini, semua orang yang masuk Kazakhstan harus dipotret dulu oleh petugas imigrasi ketika mengecap paspor. Tak lama lagi mungkin Kazakhstan juga akan menyimpan sidik jari dan memindai retina mata.
Kazakhstan memang kaya. Dibandingkan dengan negara tetangga Kyrgyzstan yang masih harus bergumul dengan frustrasi para pengangguran, bergulat dengan angka upah minimum 4 dolar per bulan di ibu kota Bishkek, dan berjuang menghadapi ekonomi yang naik turun tidak karuan, Kazakhstan memang seperti eksekutif muda yang sukses. Sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonominya selalu di atas angka fantastis 9%. Cadangan minyak dan gas alam Kazakhstan, terbesar keenam di dunia, tersembunyi di padang-padang kosong, membawa kemakmuran luar biasa di negeri ini. GDP per kapita Kazahkstan sudah di kisaran 6.000 dolar, jauh meninggalkan Kyrgyzstan yang masih sekitar 600 dolar dan Tajikistan yang masih merangkak di kisaran 500 dolar. Sama-sama pernah menjadi bagian adikuasa Uni Soviet dan merdeka dalam tahun yang sama, Kazakhstan kini memproyeksikan diri dalam jajaran negeri makmur, sedangkan Tajikistan masih tabah dalam barisan negara termiskin di dunia.
Kazakhstan, sebuah raksasa di Asia Tengah. Negeri ini membentang dari Laut Kaspia di barat sampai ke perbatasan China di timur, dibagi menjadi tiga zona waktu. Luas wilayahnya urutan ke-9 di dunia, jauh lebih luas daripada jika keempat saudaranya – Tajikistan, Kyrgyzstan, Uzbekistan dan Turkmenistan – digabungkan sekaligus. Tetapi jumlah penduduknya tak lebih dari 20 juta jiwa, dan pemerintah Kazakhstan masih sibuk mencari-cari warga negara baru untuk berbagi kemakmuran yang melimpah ruah.
Kosong, itulah yang saya rasakan ketika menempuh perjalanan panjang dari perbatasan di dekat Bishkek menuju Almaty, metropolisnya Kazakhstan yang konon standar hidupnya sudah sejajar dengan kota-kota di Amerika atau Eropa. Bus memang melaju tanpa hambatan di atas jalan yang beraspal mulus. Tetapi di luar sana, di bawah kelabunya langit dan kabut tebal, bukit-bukit gundul berderet-deret diselimuti salju tebal. Tak ada manusia, tak ada pemukiman, tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan rumput pun takluk di bawah suhu sedingin ini.
Tetapi di balik kehampaan itu, Kazakhstan sama sekali tidak miskin dan terbelakang. Sebuah restoran cepat saji yang cantik di pinggir pom bensin menawarkan makanan hangat. Saya memilih makanan yang paling sederhana – nasi putih dan sayur. Itu pun hanya seporsi kecil, sama sekali tidak mengenyangkan. Mbak pegawai restoran dengan santainya menyodorkan bon 500 Tenge. Saya yang masih belum terbiasa dengan hitung-hitungan Tenge, santai pula membayar. Baru di atas bus saya sadar bahwa makanan yang cuma sejumput tadi itu harganya hampir 4 dolar.
Saya sempat dimanjakan oleh murah meriahnya Kyrgyzstan. Kemarin saya masih bisa menikmati lezatnya masakan China di sebuah restoran yang tergolong mahal di Bishkek. Hari ini, hanya menyeberangi perbatasan saja, seketika saya menjadi miskin. Nasi dan sejumput sayur warung kecil Kazakhstan bahkan jauh lebih mahal daripada menu di restoran mewah ibu kota Kyrgyzstan.
Salju masih terus mengguyur kota Almaty. Orang-orang berjalan tergesa-gesa di kota yang berselimut es ini. Setelah meringkuk berjam-jam di dalam bus, dari terminal Sairan saya langsung meluncur ke pusat kota di Jalan Töle Bi. Bus kota merangkak perlahan, terjebak di tengah kemacetan sebuah metropolis.
Kazkontrakt, nama gostinitsa (hotel) ini mirip nama perusahaan minyak. Seseram namanya, penginapan ini terletak di sebuah bangunan apartemen tua yang bobrok. Bau apek segera menyergap ketika saya memasuki gedung ini. Kamar-kamar gelap dan dingin menganga sepanjang koridor. Dinding mengelupas. Bau selimut memancar dahsyat, seperti sudah ratusan tahun tidak pernah dicuci. Toiletnya mengenaskan, membuat saya menjadi tidak tega. Kecoak berkeliaran, tidak takut sama sekali dengan musim dingin. Dan dezhurnaya, wanita penjaga hotel, judesnya sudah seperti istri drakula saja.
Tetapi saya tak punya pilihan lain selain menginap di sini. Tempat ini, dengan segala kengeriannya, adalah penginapan paling murah di kota Almaty. Saya membayar 1500 Tenge, atau sekitar 12 dolar. Bukan untuk satu kamar sendirian, melainkan hanya untuk satu kasur dari dua yang ada di kamar ini. Saya harus siap tidur dengan tamu tak dikenal yang bisa datang kapan saja. Saya terkenang dengan hangatnya apartemen di ibu kota Bishkek, yang harganya hanya 2 dolar per malam.
Kyrgyzstan, memang bukan untuk dibandingkan dengan tingginya standar hidup Kazakhstan.
“Kazakhstan memang baru berkembang, suatu saat nanti kami akan menjadi lebih maju,” kata Kolya, seorang koki pembuat roti.
Pemuda kurus berusia 20 tahun ini mengeluhkan biaya hidup di Almaty yang sangat tinggi, walaupun infrastruktur di sini tidak terlalu modern. Saya iseng-iseng tanya gajinya. Sekitar 350 dolar. Kolya mengaku gaji segitu termasuk kelas bawah di Almaty. Gaji kelas bawah Almaty 9.000% lebih tinggi daripada upah minimum kota Bishkek.
Saya bertemu dengan Kolya di bawah kelap-kelipnya pohon natal raksasa yang dipasang di depan gedung parlemen. Gedung ini berbentuk balok panjang, menjulang tinggi di hadapan jalan raya Töle Bi. Warga kota datang berduyun-duyun. Musik Rusia diputar keras-keras. Dan orang-orang siap-siap berdansa di bawah guyuran salju dan kelap-kelip pohon natal.
Bukankah Kazakhstan adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Negara ini mengadakan perayaan natal dengan pesta dansa sepanjang malam di jalan utama?
“Ini bukan pohon natal!” protes Kolya, “Ini pohon tahun baru!”
Orang Kazakh hanya sekitar 50 persen dari semua penduduk Kazakhstan. Sisanya adalah orang-orang Rusia, Jerman, Korea, dan bermacam-macam etnis lain. Budaya orang-orang bule yang merayakan tahun baru dengan pohon natal sekarang menjadi bagian kultur orang Kazakh juga. Sudah jadi identitas.
Tetapi Kolya masih punya identitas lain – sebagai Muslim. Ia menunjukkan kepada saya screensaver HP-nya yang berhias kaligrafi huruf Arab ‘ALLAH’.
“Saya Muslim,” kata Kolya bangga. Tetapi Kolya tidak tahu arti tulisan bahasa Arab itu.
“Saya tak bisa bahasa Arab. Tetapi tulisan ini tandanya orang Islam!” tambahnya.
Nama Kolya aslinya adalah Kabul. Ayahnya dulu pernah ditugaskan untuk berperang di Afghanistan. Pengalaman di negeri para mujahidin itu membuka mata si ayah tentang perjuangan saudara seiman, dan kemudian menamai anaknya Kabul. Kolya sangat ingin melihat kota Kabul. Tetapi nama Kabul sangat tidak trendy, sehingga ia mengganti namanya sendiri menjadi Kolya, seperti nama orang Rusia.
Sehari penuh saya meringkuk. Setelah berjam-jam di dalam bus yang dingin, saya kini meringkuk kedinginan di atas kasur keras di ‘hotel’ Kazkontrakt. Selimutnya tipis sekali, alat pemanas sama sekali tidak bekerja. Sempit, dingin, gelap, bau, semuanya campur aduk jadi satu. Perut saya melilit kelaparan, karena saya tak berani membeli makanan lagi setelah dikejutkan harga nasi dan sayur di jalan tadi. Saya teringat Kolya yang bangga akan negaranya yang semakin maju, akan penemuan identitas-identitas sebagai seorang Kazakh. Saya hanya bisa mengagumi. Saya tahu, saya bukan bagian dari orang-orang yang diguyur kemakmuran Kazakhstan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 24 April 2008
Leave a comment