Recommended

Garis Batas 37: Kota Apel

Pemuda-pemudi Kazakhstan menghabiskan waktu di karaoke. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemuda-pemudi Kazakhstan menghabiskan waktu di karaoke. (AGUSTINUS WIBOWO)

Ketika kota Almaty didirikan sebagai benteng pertahanan oleh orang-orang Rusia pada tahun 1854, orang Kazakh masih hidup sebagai bangsa nomaden yang mengembara di padang luas. Tetapi para gembala ini tidak terima begitu saja tanahnya dijajah oleh bangsa asing. Bersama-sama dengan orang Uzbek, Kirghiz, Tatar, Turkmen, dan suku-suku Turki lainnya, bangsa Kazakh gigih membela ladang gembalanya.

Darah membasahi seluruh bumi Asia Tengah. Suku-suku gembala dibantai, diasingkan sampai ke Siberia. Perlawanan ditekuk habis. Ketika Bolshevik berkuasa, Tentara Merah semakin sadis menggempur para pengembara padang ini. Oleh pemerintahan komunis Soviet, orang Kazakh dan suku-suku nomaden lainnya dipandang terbelakang, tak berbudaya, dan oleh karena itu perlu dididik kembali.

Gaya hidup nomaden dan penggembalaan di padang-padang harus dihilangkan. Orang Kazakh tidak boleh lagi hidup bersama kuda dan domba, yang selama ini menjadi bagian dari denyut nadi mereka. Orang Kazakh pun harus belajar bahasa Rusia. Ketika Stalin berkuasa dengan tangan besi, suku-suku pengembara ini “disulap” menjadi bangsa sedenter, dan jutaan orang yang membangkang langsung dibantai. Itulah pendidikan kembali.

Tak sampai seratus tahun berselang, setelah melewati sejarah penuh darah dan penderitaan, Kazakhstan kini berubah menjadi negeri bergelimang kemakmuran yang sebelumnya tak berani mereka bayangkan. Pertokoan mahal mulai bermunculan di jalan-jalan utama Almaty. Pendapatan penduduk meroket, jauh meninggalkan negara-negara tetangga yang masih bergelut dengan kemiskinan. Orang-orang asing pun berbondong-bondong ke negeri ini, ikut mencicipi kue kemakmuran yang ditawarkan Kazakhstan.

Pertokoan baru dan mewah, Silkway Gipermarket (Hypermarket,) di Jalan Töle Bi seperti mal Jakarta yang dipindahkan langsung ke tengah padang Asia Tengah. Lantainya hanya tiga, tidak terlalu besar. Barang-barang yang ditawarkan semua impor dan mahal, mulai dari parfum Perancis hingga pakaian mode terbaru dari Italia. Barang-barang kelas atas ini dikerubuti para pembeli, yang juga sama-sama dari kelas atas.

Bahkan makanan pun dijual dengan harga kelas atas. Di food court lantai tiga, saya hanya bisa ngiler melihat menu-menu lezat dari berbagai negara disajikan di gerai-gerai. Tetapi apa daya, kantong saya berteriak berontak. Jangankan makan di food court, bakmi laghman dingin yang dijual di supermarket harganya sudah 5 dolar. Kawan saya membeli dua buah pisang dan sebuah apel, barang yang nyaris gratis di Indonesia, di sini harganya hampir 3 dolar.

Almaty, nama aslinya Alma Ata, dalam bahasa Kazakh berarti ‘Bapak Apel’. Dinamai demikian karena produksi apelnya, yang besarnya bisa sebuah semangka, termasyhur sejak zaman Jalan Sutra. Tetapi kemakmuran mendadak juga membuat biaya hidup meroket gila-gilaan. Sekarang, tak semua orang mampu membeli apel. Termasuk saya, yang harus berhari-hari menahan lapar di tengah dinginnya bulan Desember di Almaty.

Saya sudah tidak tahan lagi tinggal di Kazkontrakt yang tak beda dengan penjara. Dengan backpack yang berat, saya menyusuri jalan-jalan berlapis es, mencari-cari hotel yang lebih layak. Hotel Kazhol, yang dua tahun lalu harganya masih 26 dolar per malam, kini sudah berubah menjadi hotel mewah berlantai keramik, memancarkan kejayaan masa keemasan Kazakhstan. Harganya pun ikut naik kelas. Paling murah 69 dolar untuk single room.

Sambil gigit jari, saya kembali menyeret kaki saya di atas trotoar licin, menyusuri jalanan Almaty yang lurus, menuju ke sebuah bangunan balok besar, datar, dan membosankan. Tempat ini bernama Hotel Zhetisu, salah satu pilihan akomodasi termurah di metropolis ini. Saya membayar 40 dolar, harga yang paling murah untuk sebuah ranjang kecil di kamar sempit yang bau.

“Kazakhstan memang mahal. Di sini standar harganya bahkan lebih mahal daripada Kanada,” kata seorang ekspat Kanada keturunan India yang bekerja di perusahaan minyak,

“Almaty sudah sama mahalnya dengan kota saya di Amerika,” kata ekspat yang lain, “tetapi bedanya di sini, kita membayar harga kelas dunia untuk barang kualitas dunia ketiga.”

Pasha adalah seorang warga Almaty, campuran etnis Rusia dan Korea. Pasha hanya bisa bahasa Rusia. Seperti halnya di Bishkek, di Almaty pun orang terlalu gengsi untuk bicara bahasa daerah macam Kazakh, Kirghiz, atau Uzbek, yang sebaiknya ditinggal di desa-desa saja. Bahasa Rusia adalah bahasanya kota besar, maju, dan metropolis. Etnis Korea macam Pasha, baik di Kazakhstan maupun di Kyrgyzstan, sebagian besar sudah tidak bisa bahasa Korea lagi. Bahasa Rusia masih menjadi lingua franca di negeri ini.

Pasha, 27 tahun, bekerja di Atyrau, kota minyak jauh di pantai Laut Kaspia sana. Pasha bercerita bahwa Atyrau jauh lebih mahal daripada Almaty, walaupun sama sekali tidak modern. Di waktu malam, kota ini menjadi sangat berbahaya. Perampokan di mana-mana, karena orang-orang luar yang berdatangan di perusahaan minyak semakin hari semakin gendut dan kaya, sedangkan banyak penduduk miskin yang tidak punya pekerjaan. Pasha terkejut mendengar keluh kesah saya tentang Hotel Zhetisu yang mahal, “Di Atyrau sana, kamu tidak mungkin tidur di hotel dengan harga hanya 40 dolar!” Saya tidak berani membayangkan seperti apa kota itu.

Tetapi Pasha juga kasihan dengan saya, backpacker miskin yang harus berlapar-lapar di tengah mahalnya Almaty. Pasha menelpon ibunya, minta ijin untuk menitipkan saya di rumahnya. Ibunya langsung menyemprot marah, kedengaran jelas dari telepon genggamnya. Tak mungkin, katanya, ibuku seperti monster.

Malamnya Pasha mengajak saya untuk bertemu kawan-kawannya. Dua gadis Korea yang cantik dan berdandan seksi sudah berada di dalam mobil mewah. Yang satu anak bos besar pemilik pabrik. Satunya lagi pegawai kantoran tingkat tinggi. Keduanya masih muda.

Kedua gadis itu membawa kami ke sebuah karaoke Korea. Suasananya temaram, dengan lampu berkelap-kelip. Liana, salah satu gadis itu, menyewa sebuah kamar pribadi. Tidak usah ditanya harganya, yang jelas buat saya yang berada di bawah garis kemiskinan di negara ini, yang untuk beli pisang pun tak mampu, semua ini adalah kemewahan di luar imajinasi saya. Lagu-lagu Korea mengalir merdu dari bibir mungil Liana, yang katanya lulus dari jurusan sastra Korea. Saya juga didaulat menyanyi. Tak disangka di karaoke ini ada lagu-lagu Indonesia. “Puteri impian, dulu masih malu-malu….” Suara cempreng saya malah dapat sambutan tepuk tangan meriah dari Pasha dan ciuman pipi dari Liana.

Setengah jam berselang, datang sekelompok pemuda Kazakh teman Liana, ikut bergabung bersama kami. Orang-orang Kazakh ini, keturunan bangsa Mongoloid yang dulunya pengembara padang rumput, kini sudah berpakaian modis dan trendi. Mereka sudah tidak ada bedanya dengan orang-orang Korea macam Liana dan Pasha. Ketiga pemuda ini datang membawa aroma alkohol. Liana pun tertular mabuk.

Sekarang sekelompok pemuda dan pemudi Almaty ini mulai bernyanyi tanpa henti, mulai dari lagu disko, lagu romantis, sampai lagu-lagu mars komunis zaman Soviet dulu. Sambil bernyanyi, mereka pun menari-nari dengan gerakan erotis.  Saya, yang sama sekali tidak terbiasa dengan kehidupan malam, hanya menonton di pinggiran saja. Mereka yang terlena dalam kenikmatan alkohol juga sudah mulai melupakan kehadiran saya.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 25 April 2008

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Garis Batas 37: Kota Apel

  1. Henpriadi koto // September 9, 2021 at 12:02 pm // Reply

    Betulkan…di negeri yg makmur gemah ripah loh jinari,tidak ada lagi orang yg mau menolong orang susah dgn tulus ikhlas…bawaannya malah curiga melulu..

Leave a comment

Your email address will not be published.


*