Garis Batas 38: Terpinggirkan
Kue kemakmuran Kazakhstan tak dinikmati semua orang. Ada orang-orang yang terpinggirkan dan semakin tergerus oleh hiruk pikuk dan kejayaan metropolis Almaty.
Pasha membantu saya mencari penginapan murah. Dengan bus kota, kami berdua berkeliling. Dari jalan Töle Bi, Gogol, dan Abay yang melintang horizontal, sampai Sheyfulin, Abylay Khan, dan Furmanov yang melintang vertikal, tidak ada yang murah. Semuanya di kisaran 30 dolar ke atas.
Entah bagaimana ceritanya, kami berdua terdampar di Pasar Sayuran Zelyonii Bazaar. Pasha tertarik dengan kerumunan orang di depan sebuah gedung tua. Ada ibu-ibu yang berkalungkan kertas karton bertuliskan pemberitahuan. Ada kakek tua yang mengepaskan kacamatanya untuk membaca papan pengumuman yang penuh ditempeli kertas-kertas tidak karuan. Ada orang berdiskusi, tawar-menawar. Ini bukan pasar saham, walaupun kesibukannya tidak kalah. Ini adalah pasar rumah.
Pasha tiba-tiba datang menggeret seorang nenek tua berpostur pendek. Belum diperkenalkan, si nenek sudah nyerocos,
“Terima kasih Tuhan…, terima kasih! Kemarin seharian saya berdoa kepada Tuhan, ‘Tuhan, kirimlah seseorang yang bena-benar membutuhkan kamar ini.’ Dan hari ini Tuhan benar-benar mengirim kamu.”
“Berapa?” saya bertanya pada Pasha.
“1000 Tenge saja,” katanya, “tapi jangan khawatir. Nenek ini orang jujur, karena dia Kristen taat dan katanya pergi ke gereja yang sama dengan saya. Saya tidak kenal dia, tetapi saya percaya padanya.”
Si nenek Rusia langsung menggeret kami berdua ke rumahnya. Kami mesti naik bus dulu, karena rumahnya di pinggiran kota Almaty. Bus kota Almaty tampak modern, impor langsung bus bekas dari Jerman. Di kursi-kursinya masih membekas grafiti yang diwariskan oleh orang-orang Jerman sana, seperti ‘ich liebe dich‘, ‘du meine‘, dan gambar waru-waruan. Entah karena orang Kazakhstan malas membersihkan mobil-mobil bekas ini, atau mereka adalah pecinta grafiti yang bangga dengan barang bekas peninggalan Jerman.
Bus melintasi barisan rumah demi rumah. Tata kota Almaty memang rapi. Rumah-rumah berbaris beraturan di pinggir jalan Almaty yang bentuknya lurus semua. Bus bergerak ke arah utara, yang berarti menuju ke arah kemiskinan. Kemakmuran di Almaty berbanding lurus dengan ketinggian. Semakin ke selatan, ke arah gunung-gunung tinggi di kejauhan sana, semakin kaya dan modern para penghuninya. Semakin ke utara, rumahnya semakin kuno dan kumuh.
Empat puluh menit perjalanan dari Zelyonii Bazaar barisan rumah di pinggir jalan mulai tampak usang dan kumuh. Saya mengikuti Lyubova, si nenek Rusia itu, memasuki komplek apartemen kuno yang gedungnya bertebaran tak karuan. Setelah belok kanan, belok kiri, lewat pekarangan dan lapangan bola, saya sampai di rumah Lyubova.
Apartemen berlantai kayu di lantai dua itu memang kecil, tetapi nyaman sekali. Lyubova berkali-kali minta maaf karena rumahnya sederhana. Bagi saya ini sudah sangat mewah. Ranjang spring bed yang bersih dan berpegas lentur memang bukan bandingan kamar penjara Kazkontrakt yang berkasur keras dan berbau apek. Ruang mandi pun sangat nyaman. Air panas mengalir deras.
“Keluarga kami sangat religius, karena itu kami tidak menonton TV. Jadi, maaf, di sini kami tidak bisa menyediakan TV,” sekali lagi Lyubova meminta maaf. Saya baru tahu kalau ada sekte Kristen yang melarang warganya nonton TV.
Bagi saya rumah Lyubova sudah luar biasa. Pasha justru sebaliknya, “saya tidak pernah lihat rumah sesederhana ini.” Untuk standar Almaty, Lyubova memang miskin. Dia pengangguran. Dulu ia bekerja sebagai dezhurnaya, pegawai hotel. Tugasnya membersihkan kamar dan toilet. Sekarang Lyubova sudah berumur enam puluhan, sudah pensiun. Tapi, ia masih kuat. Setiap hari ia pergi ke bazaar untuk menawarkan kamar kosongnya. Dari sanalah ia mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
Anak Lyubova, Gregory, berumur 30 tahun. Tidak menikah dan pengangguran. Hidupnya tergantung pada ibunya yang menawar-nawarkan kamar rumah mereka. Gregory, mungkin karena kebosanan hidupnya, kelihatan jauh lebih tua daripada umurnya. Wajahnya selalu muram dan sangat pendiam. Dibandingkan Lyubova yang selalu nyerocos, Gregory jauh kurang bersahabat.
“Kamu tahu, Spasibo, ‘terima kasih’, itu seharusnya Spasi Bog, ‘terima kasih, Tuhan’,” kata Lyubova, “kalau ada orang yang mengucapkan spasibo kepada saya, saya selalu membalas dengan spasi Bog, karena semuanya di dunia itu berasal dari Tuhan.”
Si nenek kemudian membalik-balik Alkitab berbahasa Rusia sambil membacakan kisah-kisah kebesaran Tuhan. Tak banyak yang bisa saya tangkap dari ceramah religiusnya yang seakan tanpa henti itu, karena keterbatasan bahasa Rusia saya.
Bagaimana pun juga, seperti kata Pasha, nenek Lyubova adalah orang Kristen yang sangat taat. Ketika Pasha sudah pulang pun, si nenek masih dengan setia membaca Alkitab di sudut jendela. Terkadang dia memetik beberapa ayat dan memulai kisahnya. Kalau sudah mulai, dia susah berhenti. Tak jarang saya harus duduk sekitar setengah jam jadi pendengar yang baik, karena tidak ada kesempatan untuk menyela.
Cucu perempuan Lyubova, keponakan Gregory, tumbuh menjadi gadis muda Rusia yang cantik, berambut pirang. Gadis muda Rusia memang berbakat jadi fotomodel semua, walaupun umumnya berubah menjadi tante dan nenek gendut ketika menginjak usia senja. Si cucu datang ke rumah di pinggiran ini setiap minggu. Ia bersekolah di kota dan tinggal di asrama. Lyubova sayang sekali terhadap cucunya, yang membantunya membereskan rumah.
Tetangga-tetangga Lyubova semua tampak dari kelas sosial yang sama. Rumah-rumah usang, kakek nenek berjalan terbungkuk-bungkuk di atas lapisan salju, wajah-wajah tanpa harapan para pengangguran, adalah penghias setia pekarangan di pinggiran Almaty ini.
Kemakmuran yang dinikmati kota Almaty masih belum menjangkau tempat ini. Tapi, mahalnya harga-harga di kota metropolis justru merembet ke sini dan membebani hidup warga pinggiran. Gregory hampir sama sekali tak pernah lagi ke kota, yang hanya sepuluh kilometer jauhnya dari sini. Almaty, dengan segala kemegahannya, adalah sebuah dunia asing di sini.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 April 2008
Leave a comment