HerWorld (2009): Life is Beautiful Around the World
May 2009
HERWORLD FEATURE
LIFE IS BEAUTIFUL AROUND THE WORLD
PITTA SEKAR WANGI memutar bola dunia searah jarum jam dan menunjuk benua yang ingin dikunjungi. Lalu, kembali lagi menghadap monitor dan berselancar.
Orang bijak berkata, kejarlah mimpi hingga ke negeri Cina.
Seorang teman terusik mendengar kalimat bijak tersebut kemudian bertanya, “Cuma sampai ke negeri Cina saja? Kan Cina itu dekat banget!” Secara logika, apabila ditempuh melewati jalur udara memang sangat dekat. Namun banyak cara untuk menuju Cina, bisa melewati India, Burma bahkan Hong Kong. Alasannya bisa beragam mengapa Anda memilih melewati negara-negara tersebut.
Begitu juga dengan traveling, Anda sendiri yang memutuskan tujuannya dan bagaimana bisa menikmatinya sesuai dengan budget Anda. Simak 3 kisah petualangan dari Ninit Yunita, Agustinus Wibowo, Wasti Priandjani dan pengalaman seru menjadi host untuk tamu turis asing, Carmelita Bahrun.
journey begins with
Apabila ingin memulai sesuatu harus dengan niat dan usaha, so they say. Begitu juga dengan memulai perjalanan. Tepatnya membuat rencana. Sama seperti Anda ingin memulai bisnis atau proyek baru, perencanaan memegang peranan sangat penting. Karena dari situ, Anda bisa menentukan tempat tujuan, budget, transportasi, akomodasi, makanan hingga suvenir.
Agustinus Wibowo yang saat ini sedang bermukim di Afghanistan mengatakan sejak kecil ia bercita-cita untuk mempelajari berbagai kebudayaan dan masyarakat yang ada di dunia. “Tujuan saya sebenarnya bukan hanya Asia, tetapi mencapai ujung paling selatan benua Afrika dengan darat, melintasi negera-negera di Asia Tengah, Timur Tengah, Kaukakus, Eropa Timur, dan Afrika.”
Sedangkan pasangan penulis Ninit Yunita dan Adhitya Mulia yang kini bermukim di Singapura, memilih pergi ke negara-negara yang dulunya punya sejarah Islam yang kental. “Seperti Maroko dan Selatan Spanyol, di sana banyak sekali madrasah dan masjid tua yang umurnya sudah hampir 1000 tahun,” jelasnya lebih lanjut.
Mengunjungi tempat bersejarah juga menjadi salah satu tujuan traveler yang mengunjungi suatu negara. Apalagi jika di negara tersebut terdapat salah satu dari 7 keajaiban dunia adalah alasan untuk Wasti Priandjani, kini tinggal dan bekerja di Shanghai, meluangkan waktu pergi ke negara yang bersangkutan, “Saya terobsesi dengan 7 wonders of the world dan Unesco heritage sites!”
Miriam Beard, seorang penulis buku A History of a Businessman berkata, “Travel is more than the seeing of sights; it is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” Hal tersebut yang membuat para traveler berkeinginan kuat mengunjungi negara-negara yang ingin didatangi. Padahal untuk mengunjungi satu negara di lintas benua, pasti membutuhkan biaya yang sangat besar. Namun semuanya menjadi tidak terlalu masalah, apabila memiliki budget terpisah khusus untuk berlibur.
Saat ditanya apakah mereka memiliki budget khusus untuk berlibur, Ninit menjelaskan, “Kami tidak memiliki dana khusus, karena tidak berlibur setiap tahun, hanya setiap kali ada kesempatan saja. Dalam membuat budget biasanya kami sudah memikirkan semuanya, kecuali shopping, hahaha… Karena kami tidak suka shopping dan buat kami traveling adalah membeli pengalaman. Semua itu jauh lebih berharga daripada menghabiskan waktu untuk shopping…”
Wasti yang sudah mengunjungi 103 kota juga mengaku tidak memiliki budget khusus untuk berlibur, “Hanya kalau ada rejeki dan waktu memungkinkan karena pundi-pundinya cuma satu untuk semua kebutuhan, hahaha…”
Mengutip prinsip Ninit dan Adhitya, mereka mengatakan, “When you have money, buy experience. You don’t travel a thousand miles away just to say ‘Jangan ah, terlalu mahal’. Pikirkan, kapan lagi kita bisa mendatangi tempat itu? Most likely never. So buy as much as experience as you can!”
on the way to
Banyak cara yang ditempuh untuk traveling dan ketiga narasumber memilih caranya sendiri yang sesuai dengan budget yang dimiliki. Pasangan Ninit dan Adhitya memilih untuk backpacking dengan alasan mereka berdua menyukai kepraktisan dan fleksibilitas. “Kami berdua suka traveling dan backpacking sangat fleksibel, rasanya jauh lebih puas dibanding menggunakan jasa travel biro atau paket wisata,” jawabnya lebih lanjut. Saat ini, Ninit yang sedang mengandung anak kedua sedikit mengurangi kegiatan traveling tapi ia dan suami berencana untuk melakukannya bersama anak-anak, suatu hari nanti. “Karena kami ingin mengenalkan traveling sedini mungkin kepada mereka dan bisa ikut merasakan pengalaman yang luar biasa. Agar mata mereka terbuka melihat dunia, bisa mempelajari sejarah dan budaya serta berinteraksi dengan orang-orang lokal,” harapnya.
Sang petualang, Agustinus, yang sedang menyelesaikan buku kisah perjalanannya juga memilih cara backpacking dengan menggunakan beragam alat transportasi seperti kereta api, truk, bus, berkuda, hingga keledai dan berjalan kaki. Seperti yang dikutip dari situs kompas.com, Agus menjelaskan, “Saya menghindari perjalanan dengan pesawat. Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati tempat-tempat yang saya kunjungi. Menyatu dengan budaya setempat, menjalin persahabatan dengan banyak orang di tiap tempat, merasakan kehidupan masyarakat di suatu tempat adalah hal-hal yang tidak mungkin saya dapatkan jika saya menggunakan pesawat terbang. Selain itu, uang saya tidak cukup untuk tiap kali naik pesawat, hehehe…” terangnya.
Beda lagi cara yang ditempuh oleh Wasti, ia menjelaskan detail seperti ini, “Kalau ke tempat asing dan belum terlalu bagus fasilitas dan keamanannya, saya memilih menggunakan jasa travel. Namun biasanya sebatas jemput di airport dan transportasi saja. Saya juga lebih memilih cara via online untuk booking tiket pesawat dan hotel. Namun kalau tempat yang ingin dikunjungi lumayan civilised, saya memilih menggunakan referensi dari situs Lonely Planet dan B&B (Bed and Breakfast) yang murah meriah.” Apakah pernah mencoba ikut perjalanan dengan paket wisata? Dengan cepat Wasti menjawab, “Sebisa mungkin saya tidak ikut perjalanan dengan menggunakan paket wisata karena terlalu dibatas waktu dan biasanya grup besar.”
Semua perjalanan yang dipilih memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dari mulai merasa aman dan terjamin itinerary-nya, merasa sebagai world traveler, menemukan tempat yang otentik dan sangat lokal, belajar bahasa, hingga tersesat karena merasa bisa mencari tempat baru tanpa panduan.
where to stay
Traveling membuat kita pintar menyiasati kondisi keuangan, agar tidak terlalu over budget apalagi sampai kehabisan uang. Duh, mengerikan sekali apabila kegiatan traveling terpaksa diakhiri karena kondisi keuangan menipis. Carmelita Bahrun, seorang art director sebuah perusahaan jasa membuat website bergabung dengan sebuah situs networking hospitality exchange bernama CouchSurfing, yang jumlah anggotanya, di Indonesia khususnya, sudah mencapai 2500 orang. Bergabung sejak Mei 2008 bersama suaminya, ia sudah menerima lebih dari 40 orang, mayoritas dari mancanegara, yang sudah di host. Ia mengaku menjadi lebih mengenal Jakarta karena banyak menerima CSers— sebutan untuk anggota CouchSurfing.
Awalnya, pada usia 17 tahun Carmelita mengikuti pertukaran pelajar ke Prancis dan tinggal selama 1 tahun di host family, selama 1 tahun itu juga ia sering ikut cultural nights di Paris, di mana ia bertemu dan berbagi budaya dengan pelajar dari berbagai negara. Saat kuliah di Jerman dan tinggal lama di sana, Carmelita selalu merasa di tengah berbagai budaya yang sangat memperkaya wawasan dan pengetahuannya. Sekembalinya ke Jakarta, ia merasa kehilangan dengan melting pot situations with loads of people from different cultures, sangat berbeda apabila dibandingkan dengan Jakarta.
Pengalaman pertamanya menjadi host adalah dengan turis asal Chili bernama Matias. Dua tahun kemudian, Jeff dan Mike, turis yang berasal dari Amerika. “Setelah itu, saya dan suami jadi sering menjadi host untuk teman-teman CS yang datang ke Jakarta,” kisahnya. Saat ditanya sudah ada berapa orang yang menginap di rumahnya atau sekadar menemani ngopi-ngopi, Carmelita menjawab, “Saya pikir cuma 20-an, tapi ternyata, setelah melihat daftar request di inbox saya, lebih dari 40 selama hampir setahun. That’s a LOT! Yes, I know. But we also get a lot in return…”
Carmelita juga menegaskan bahwa CS is way beyond just free bed and cheap traveling. Kemudian, ia bercerita bahwa jika ada yang mengidentikkan CS dengan backpacker alias turis tidak bermodal, ini sama sekali tidak benar, karena dalam perjalanannya ia banyak bertemu dengan berbagai orang melalui situs ini. “Bahkan, kami sempat bertemu dengan Justin Fiddler, salah satu penggagas Yahoo Messenger, lulusan dari Carnegie Mellon University, juga Ross McKinnon, penasihat Menteri Keuangan Malaysia. Tentunya mereka bukan backpacker yang bepergian dengan budget kecil, tapi mereka menjadi member CS karena punya prinsip dan ide yang sama dengan saya: mencari teman dan network baru serta bertukar budaya,” terangnya lebih lanjut.
Berbeda dengan Carmelita, Agustinus menjelaskan, “Umumnya saya mempelajari bahasa dari negara yang dikunjungi. Untuk penginapan sebenarnya bukan masalah besar, karena di mana-mana ada penginapan, bahkan di tempat terpencil di Afghanistan sekalipun. Informasi bisa didapat dari bertanya dengan penduduk setempat, buku panduan atau share sesama backpacker. Di Afghanistan, warung di pinggir jalan pun bisa berfungsi sebagai penginapan gratis asal kita makan malam di sana. Di beberapa tempat yang penginapannya mahal, saya biasanya mencari teman. Atau paling terpaksa, saya pun sanggup tidur di peron terminal atau stasiun, gratis!”
travel teaches you how to see
Seorang filsuf asal Romawi bernama Lucius Annaeus Seneca mengatakan “Travel and change of place impart new vigor to the mind” apabila diartikan secara harfiah sebagai kegiatan traveling dan berpindah tempat dapat memberi semangat, pengalaman atau nilai baru. Hal yang sama juga diakui oleh Agustinus, “Observasi saya terhadap kehidupan mengalami kemajuan, sekarang saya lebih memperhatikan banyak detail. Misalnya, waktu di Asia Tengah, hal yang paling menarik perhatian saya adalah bagaimana negara-negara baru (yang semuanya merdeka di tahun 1991) mengembangkan nasionalisme mereka untuk tetap eksis sebagai negara. Ketika bekerja sebagai sukarelawan di Kashmir, Pakistan, saya belajar untuk mensyukuri hidup dan semangat untuk terus berjuang bangkit dari keterpurukan. Dengan perjalanan ini, saya lebih menghargai arti hidup dan perjuangan…”
Bagi Ninit sendiri, traveling merupakan memiliki pengalaman baru. “Seperti kata Ibnu Battuta (penjelajah dunia), it offers you a hundred of roads to adventure and gives your heart wings,” ujarnya. Menurut Ninit dan Adhit, pengalaman berharga adalah hal yang dapat diceritakan kepada anak cucu nantinya.
Beda lagi yang didapat oleh Carmelita mengenai kegiatan couchsurfer yang dilakukannya selama ini. Menurutnya, hal-hal seperti memasak makanan Meksiko, sistem belajar di Thailand, sejarah Chili, peternakaan di Australia hingga berkeliling dunia selama 88 hari adalah hal yang masuk akal, bisa dipelajari melalui buku. “But learning them from people who live the experiences themselves is much fascinating. Afterall, books don’t talk!” serunya.
Lain halnya dengan Wasti, menurutnya ia tidak sekadar melihat, tapi lebih dari itu, “Memang benar sih, traveling membuat saya jadi sering bertanya why certain people or civilization do or build such things. Dari situ banyak terungkap bagaimana cara mereka hidup. Dengan mengetahui hal ini, membuat saya semakin bisa menerima dan membuka diri terhadap perbedaan budaya dan masyarakat,” jelasnya.
Nah, apakah mengejar mimpi hingga ke negeri Cina, masih berlaku? Bagaimana kalau diganti dengan mengejar mimpi hingga ke Italia? Mari mencari teman baru yang tinggal di Italia, kemudian mempelajari bahasa dan kebudayaannya. In the mean time, nikmati saja dulu makanan Italia yang tersebar di Jakarta…
what’s the stories behind
“Pernah ada 3 orang perempuan dari Eropa Timur datang jam 3 pagi ke rumah, karena saya kasihan akhirnya saya biarkan mereka menginap, tapi ternyata kok sangat egois ya? Mereka tidak ada usaha untuk berkenalan atau bahkan ngobrol dengan kita, mereka hanya stay di kamar terus atau keluar seharian. Bahkan, mereka mencuri uang dan rokok milik Corentin, teman kita yang orang Belgia. Saya sadar bahwa ini bukanlah couchsurfers tapi freeloaders! Yang hanya mencari untungnya saja, free bed dan tidak mau exchange apa pun. Plus, mereka tidak mau membayar taksi yang mereka gunakan sendiri dan 2 hari berturut-turut membangunkan saya jam 4 pagi!” Carmelita Bahrun
“Tahun 2005, kami berdua masih tinggal di Abidjan, Cote D’Ivore. Sebelum kembali ke Jakarta, kami merencanakan untuk backpacking ke beberapa negara Eropa. Salah satu negara tujuan terakhir kami adalah Spanyol. Malam itu malam terakhir kami di Barcelona sebelum kembali ke Abidjan. Kami memutuskan untuk minum kopi di Starbucks La Rambla. Di sana ternyata tas saya dicuri orang, padahal di dalamnya terdapat uang, digicam, dan yang terpenting adalah paspor. Saya sedih sekali, beruntung kami berdua saling mendukung dan fokus bagaimana menyelesaikan masalah. Terpaksa kami kembali ke Madrid karena Kedutaan Indonesia berada di sana. Pihak kedutaan sangat cepat membantu kami membuat paspor baru dan keesokannya kami baru bisa pulang ke Abidjan.” Ninit Yunita dan Adhitya Mulya
“Pengalaman paling menarik adalah berkuda menuju atap dunia di Pamir Afghanistan. Saya belum pernah berkuda sebelumnya dan pengalaman pertama kali berkuda saya (sambil belajar) sudah berada di medan seberat Pamir – jalan sempit selebar 30 cm, di tepi jurang menganga, mendaki curam dan menukik tajam. Kuda pun sering terpeleset hampir jatuh ke jurang, sementara saya sendiri masih belum bisa duduk seimbang di atas kuda. Sungguh seram, tapi sangat bangga dan bahagia sekali akhirnya bisa mencapai atap dunia. Saya juga pernah tertangkap polisi di Uzbekistan. Gara-gara diundang menginap di rumah orang yang baru kenal di angkot dan ternyata dibawa ke rumah prostitusi. Polisi sudah mengintai sepanjang malam dan melihat gelagat orang luar negeri yang menginap di rumah seorang pelaku kriminal, tengah malam langsung diringkus.” Agustinus Wibowo
“Waktu saya travel ke Kota Lima, Peru menuju Kota Cuszo dan naik pesawat kecil ke Kota Cuszo yang terletak di antara 2 lembah. Pesawat yang kami tumpangi, harus muter sebanyak 2 kali sampai dapat angin yang baik untuk landing. Setibanya di Cuszo, harus naik kereta api yang jalurnya melilit bukit seperti ular, menuju situs Machu Pichu yang letaknya di puncak bukit. Breathtaking view and seemed that I’m transported into a magical world. Amazing!” Wasti Priandjani
Salam…
Terima kasih atas tulisan anda mengenai http://www.couchsurfing.org dan http://www.hospitalityclub.org.
Kedua organisasi adalah komunitas berbasis Jaringan Silaturahmi internasional atau yang dikenal hospitality exchange network.
Lebih lengkap tentang jaringan silaturahmi dapat di baca dalam wikipedia kita; http://id.wikipedia.org/wiki/Jaringan_silaturahmi
Nancy Margaretha
*www.Hospitalityclub.org Local Volunteer untuk Indonesia
*Duta bangsa untuk http://www.Couchsurfing.org Indonesia
*Public Relation untuk http://www.couchsurfing.com Asia
Kini para anggota dari kedua organisasi yang berasal dari indonesia sudah dapat mengakses informasi tentang jaringan silaturahmi pada situs http://www.silaturahmi.org