Garis Batas 60: Registan
Siapa yang tak akan terpekur di bawah keagungan nama Samarkand? Sang pujangga Omar Khayyam tiada hentinya memuja kemuliaan kota ini, bahkan sebelum bangunan-bangunan molek raksasa itu berdiri. Di sinilah sang penakluk Amir Timur (dikenal juga sebagai Timurleng, Timur si Pincang), memulai kerajaannya yang menguasai wilayah dari padang rumput Asia Tengah hingga ke negeri India di timur dan Turki di barat. Di sinilah sang raja besar mendirikan gedung-gedung raksasa yang merupakan mahakarya tiada duanya. Di sini pulalah peradaban Islam pernah mencapai puncaknya.
Tiga bangunan raksasa diselimuti mozaik warna-warni yang menyembunyikan nama-nama agung Tuhan dan Nabi, berdiri gagah mengelilingi lapangan besar Registan. Salju yang kemarin lebat membasuh bumi, kini berpadu dengan cantiknya kerlap-kerlip dinding gedung-gedung kuno Registan, membangkitkan imajinasi saya yang melihat Aladdin sedang melambai-lambai di atas permadani terbangnya menyapa barisan kawanan unta pedagang sutra.
Sang pujangga besar Islam, Omar Khayyam, pernah menginjakkan kakinya di sini, di lapangan Registan. Kala itu, bangunan-bangunan raksasa ini masih belum berdiri. Lapangan Registan zaman Omar Khayyam adalah bazaar, pasar besar kota kuno Samarkand. Registan hari ini kembali lagi menjadi pasar, yang dikerumuni oleh tiga jenis manusia – pedagang suvenir, turis, dan satpam pemeriksa karcis.
Komplek kuno Registan pernah mencapai masa keemasannya ketika ketiga bangunan raksasa ini menjadi pusat dunia. Madrasah Ulughbek berdiri dengan gagah di sebelah timur. Pintu gerbangnya berbentuk persegi, setinggi 35 meter, diselimuti pernak-pernik aneka warna yang mengagungkan kebesaran Allah. Ulughbek, cucu raja Amir Timur pernah menjadi profesor matematika di madrasah ini. Pada zamannya madrasah ini pernah menjadi pusat pendidikan ilmu bintang, agama, dan filsafat.
Berhadapan dengan Madrasah Ulughbek adalah madrasah Shir Dor, yang dalam bahasa Tajik berarti ‘Punya Singa’. Dinamai demikian karena pada gerbangnya yang didominasi sejuknya mosaik hijau dan biru, dihiasi oleh sepasang singa yang ditunggangi oleh matahari berwajah manusia. Dekorasi yang menggambarkan makhluk hidup pada arsitektur Islami seperti ini termasuk unik, karena penggambaran hewan dan manusia tidak dianjurkan dalam agama Islam
Dari ketiga bangunan super besar ini, Madrasah Tilla-Kari (secara harafiah berarti ‘bersepuh emas’) adalah yang paling muda sekaligus yang paling mengundang decak kagum. Gedung masjid dari pertengahan abad ke-17 ini memilik sebuah mesjid yang mihrab dan langit-langitnya berlapiskan emas murni. Setelah sekian abad berlalu, emas yang melapisi kaligrafi-kaligrafi di dinding itu, walaupun masih mengundang decak kagum, sudah tinggal berapa persennya saja.
Mengapa Samarkand begitu indah? Amir Timur sang penghancur yang ganas itu, ternyata juga pecinta seni yang agung. Para pematung, perajin batu dan pualam didatangkan dari negeri-negeri taklukan seperti Azerbaijan, Esfahan, dan Delhi. Perajin mosaik didatangkan dari Shiraz. Penenun, perajin gelas dan guci dari Damacus. Para artis ini sebegitu banyaknya sehingga kota Samarkand pada masa itu sampai-sampai penuh sesak oleh seniman.
Ratusan tahun lalu, kota ini pastilah salah satu tempat paling modern di dunia. Ribuan santri dan ilmuwan datang ke sini, menemukan keagungan Tuhan dan kunci rahasia alam. Pujangga dan seniman menumpahkan ribuan bait-bait penuh puja dan puji, setelah dihujani ilham yang terus mengalir tanpa henti.
Di antara sedemikian banyak tempat di dunia, saya merasa sangat beruntung bisa sedemikian dekat dengan Registan. Masjid dan madrasah kuno ini sekarang menjadi museum dan tempat berjualan cindera mata. Kebetulan saya kenal beberapa pedagang permadani di Masjid Tilla-Kari sehingga saya bisa keluar masuk dengan bebas setiap hari, tanpa perlu membayar karcis.
Nozim, bocah Tajik berusia 20 tahun, membantu pamannya menawarkan barang-barang kerajinan, yang dibeli dari para seniman Uzbek di desa-desa sekitar Samarkand. Sebagai kota kuno, pusat peradaban, pusat kota Samarkand memang dihuni oleh orang-orang Tajik yang berbahasa Persia. Orang Uzbek menghuni dusun-dusun di sekitar Samarkand. Hal ini yang menjadi kekecewaan Tajikistan, yang menganggap jantung peradabannya telah ‘dicaplok’ oleh Uzbekistan.
Seperti orang Bukhara yang bangga dengan identitas ke-Tajik-annya, Nozim berkata, “Samarkand adalah Samarkand. Bukan Uzbekistan, bukan Tajikistan!”
Sudah beberapa hari ini saya menginap di rumah Nozim. Sebagai gantinya, setiap hari saya juga ke Registan membantunya berjualan barang kerajinan. Kalau Nozim mendapat 10 persen untuk setiap barang yang berhasil dijualnya, saya di sini hanya jadi sukarelawan saja.
Musim dingin begini jumlah turis yang datang sedikit sekali. Orang asing yang datang hanya satu dua, kebanyakan backpacker miskin (termasuk saya) yang jarang sekali menghabiskan duit untuk belanja suvenir. Yang paling banyak adalah rombongan murid-murid sekolah berdarmawisata. Juga ada turis-turis necis dan trendy dari Tashkent, terlihat jelas dari cara berpakaian mereka yang sangat modis dan hanya mau bercakap-cakap dalam bahasa Rusia. Tidak sedikit pula rombongan turis Uzbek dari desa, dengan mode pakaian plus tingkah laku yang benar-benar ndesani.
Setiap kali ada rombongan yang datang, saya langsung unjuk kebolehan sebagai penjaja barang, yang sayangnya masih dalam level gagal total.
“Marhamat. Marhamat. Savdo keling!” Artinya kira-kira, “Silakan, silakan, ayo beli!”
Saya memang bukan ditakdirkan untuk jadi tukang jualan. Buktinya, bukannya sibuk belanja, orang-orang dari desa itu malah heran, kok ada orang asing yang bernasib jadi pedagang di sudut Registan.
Svetlana, wanita Rusia yang tokonya di sebelah punya Nozim berkata, “Ah, percuma saja. Kalau orang Uzbek, jangan ditawari. Mereka tidak bakal beli apa-apa. Paling cuma bertanya ‘Kancha? Kancha? Berapa? Berapa?’, langsung ngeloyor. Kita di sini ini jualan barang, bukan cuma jualan kancha dan melayani tukang survei.”
Seperti para pedagang suvenir di Bali yang lebih antusias dengan turis asing, para pedagang di Registan juga lebih senang dengan wisman. Tapi tidak sembarang orang asing.
“Yang paling royal adalah turis Amerika dan Jepang,” kata seorang pedagang, “disusul Rusia, Jerman, Perancis. Kalau yang paling pelit, China dan Korea.”
Para pedagang di sini juga punya koleksi kalimat dalam pelbagai bahasa untuk menarik perhatian para turis. Malah tidak sedikit yang bahasa Jepangnya cas cis cus. Maklum, turis Jepang memang dikenal tak sayang duit.
Empat abad berselang, tempat suci ini kini bukan lagi Samarkand-nya Amir Temur atau Registan-nya Omar Khayyam. Tempat ini adalah surganya turis dan pedagang suvenir. Bahkan mihrabnya masjid emas Tilla-Kari sudah dirambah karpet dan boneka yang digelar para penjual.
“Marhamat. Marhamat,” saya tak pernah putus asa menawarkan barang. Ayo beli. Ayo. Jangan cuma tanya kancha.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 Mei 2008
Leave a comment