U-Mag (2010): Selimut Debu—Catatan Backpacker Tulen
Maret 2010
U-Mag
Buku//Troli
Catatan Backpacker Tulen
Jika perjalanan backpacking Anda ke Kamboja dengan pesawat murah dan menginap di hostel penuh bule bau sudah dianggap luar biasa, sebaiknya Anda membaca Selimut Debu. Sang penulis bisa dibilang backpacker Indonesia paling gila.
Selimut Debu
AGUSTINUS WIBOWO
461 halaman
Gramedia Pustaka Utama
Januari 2010
Dengan hanya mengantongi US$ 300 (sekitar Rp 2,8 juta), Agustinus Wibowo nekat memulai perjalanan dari Beijing ke Afganistan. Dia menyambangi negeri itu ketika residu perang Taliban- Amerika masih terbang di udara, 2003. Agus menumpang kereta kelas kambing, bus, dan truk; bertahan hidup hanya dengan jajanan pasar; dan menembus keganasan gunung-gunung di utara Pakistan. Di buku harian kumal, ia menuliskan kisah perjalanannya yang benar-benar luar biasa: menembakkan Kalashnikov ke gua Usamah bin Ladin, hampir diperkosa gay Afgan, dan berkalikali ditangkap tentara.
Catatan di buku harian kumal itulah yang kini bias kita nikmati dalam buku setebal 461 halaman dengan foto-foto indah hasil jepretannya sendiri. Tak hanya berbekal kisah dramatis, Agus juga memiliki kemampuan menulis dengan baik. Bahasanya lancar, logikanya runut, dan pemilihan diksinya sangat luas. Oh ya, Tuhan sepertinya membekali Agus kemampuan berbahasa. Selain berbahasa Indonesia dengan baik, dia mampu berkomunikasi dalam selusin bahasa—Cina, Rusia, Urdu, Farsi, dan bahasa negeri-negeri Asia Tengah.
Kemampuan bahasa inilah yang memperkaya pengalaman dan kedalaman cerita. Dia dengan mudah ”menyamar” sebagai pria suku Hazara—salah satu suku di Afganistan dengan tampang mongolid (mata sipit dan kulit mulus tanpa bulu). Tak ada orang Afgan yang percaya dia berasal dari Indonesia sampai dia mengeluarkan paspor hijau bergambar burung Garuda. Tinggal di rumah orang Afgan atau duduk selama tiga hari penuh di samovar, kedai teh tempat orang Afgan bertukar gosip. Tanpa pemandu dan penerjemah, dia menerobos hingga Wakhan, kota di jantung Tajikistan yang masih perawan, sebuah surga yang hilang.
Meski amat dekat dan mencintai Afganistan, Agus cukup tegas mengambil jarak saat menuliskan pengalamannya. Sambil berkisah, dia melemparkan kritik kepada rakyat Afgan: tentang kekolotan mereka, rendahnya pendidikan, dan perlakuan kepada perempuan. Tapi Agus juga mengagumi mereka: keramahtamahan kepada tamu, kelaki- lakian, dan kecintaan mereka kepada negeri.
Tak ada gading yang tak retak. Selimut Debu tampaknya terlalu panjang untuk perjalanan di satu negeri. Agus—dan editornya— juga melewatkan sejumlah pengulangan yang tak perlu. Peletakan peta di halaman 18 pun agak terlambat, karena nama sejumlah kota sudah muncul di halaman sebelumnya. Foto-foto yang terlalu mini sebaiknya diterbitkan dalam buku fotografi yang terpisah. Sampulnya, meski cantik, tak menandakan ini adalah sebuah buku perjalanan, karena tak ada subjudul. Sepintas mirip novel. Meski demikian, buku ini tetap layak disebut sebagai salah satu buku perjalanan terbaik yang ditulis oleh orang Indonesia.
Leave a comment