Gramedia (2013): Resensi Pilihan – Titik Nol
Oleh: Nabila Budayana (http://www.goodreads.com/review/show/549712128)
Selimut Debu adalah buku yang ‘nyaris tak memberikan celah’. Garis Batas ‘sedikit memberikan celah’. Titik Nol adalah buku yang terbuka. Membaca Titik Nol bukan hanya tentang mengenali dan menyelami berbagai makna dalam kehidupan dari sebuah perjalanan, namun juga mengenal pandangan dan isi hati sang penulis. Sempat beredar kabar akan terbit di tahun 2012, mundur menjadi awal Februari 2013, akhirnya benar-benar beredar di akhir Februari 2013. Saya termasuk yang menunggu.
Cover birunya memperlihatkan seorang anak yang seakan terbang setelah melompat dari batang pohon yang tak berdahan dan berdaun. Bagi saya, cover itu bercerita tentang kebebasan dan keberanian. Identik dengan sisi yang dimiliki seorang pejalan.
Jauh hari sebelum buku ini terbit, penulis telah mengatakan bahwa Titik Nol kelak akan berupa makna perjalanan, bukan hanya perkara destinasi. Sesuai dengan tagline yang digunakan : “Makna Sebuah Perjalanan”.
Makna perjalanan yang menjadi tema besar dari buku ini mencakup begitu banyak hal yang seakan tak habis. Menggabungkan kisah tentang tujuan (Tibet, Nepal, India, Pakistan, Afghanistan) dan perenungan bukan hal mudah. Melalui Twitteriak, Agustinus Wibowo mengatakan ada dua plot paralel dalam Titik Nol. Nyatanya, dua plot tersebut adalah kisah tentang mama penulis dan kisah tentang makna perjalanan yang dibuat bergantian. Menggabungkan dan menemukan benang merahnya dalam tiap bagian jelas tak mudah. Belum lagi konten yang begitu luas dalam jumlah yang banyak. Jika dikatakan naskah buku ini telah mengalami dua puluh kali lebih penulisan ulang, sungguhlah kegigihan dan kerja keras penulis dan editor patut diapresiasi tinggi.
Saat membelinya di toko buku beberapa hari lalu, seorang pegawai toko buku (yang sepertinya sudah membaca habis buku ini) memberi saya clue. “Dia (penulis) bercerita tentang mamanya, mbak.” Dari perkataan itu, saya pikir akan ada bab khusus tentang ibunda penulis. Ternyata dugaan saya meleset. ‘Bab’ tentang mama ada di seluruh bagian. Lebih-lebih, mama penulis adalah bahasan utama buku ini.
Mengikuti kisah tentang ibu dari seorang anak laki-laki yang bepergian jauh dalam waktu lama, mengingatkan saya pada novel “ibuk” milik Iwan Setyawan. Kedua buku ini bersinggungan dalam banyak hal tentang ibu. Keduanya jelas berbeda, namun sesekali mampu menimbulkan rasa yang sama pada pembaca. Kasih sayang, rasa rindu, dedikasi hubungan seorang ibu dan anak. Juga sebagai sebentuk ‘pelepasan diri’ dari begitu banyak kenangan yang tentu terasa sulit untuk diungkapkan.
Gaya bahasa penulis lebih luwes dan terbuka di buku ini. Sesekali lucu dan menggelitik. Sesekali menampilkan amarah, kekesalan dan kekecewaan. Di lain waktu mampu menghadirkan duka dan kesedihan. Pembaca dibuat merasa penuh dengan rasa hatinya. Saya harus setuju dengan endorsement dari Qaris Tajudin di back cover. Buku ini seperti kitab kehidupan. Meski begitu, penulis mengungkapkan sama sekali tak ingin buku ini kelak dijadikan panduan pandangan bagi pembaca. Pembaca harus mencari sendiri makna dari perjalanannya masing-masing, refleksi diri sendiri.
Agustinus Wibowo berbicara masa kecil, memori, kasih sayang,penyesalan, mimpi, realitas, cinta, jodoh, karma, agama, kematian, bahkan seksualitas. Ia mencari dan terus menggali apa makna di balik hal-hal tersebut. Sebagai seorang pencerita, ia memainkan begitu banyak peran di buku ini. Kadang ia menjadi seorang penjelajah ‘nekat, tak sayang nyawa dan tak memperhitungkan risiko’, namun di sisi lain ia mampu menjadi seorang lembut penuh kasih sayang yang begitu cemas akan kondisi ibunya, ia pun mampu berganti menjadi pejuang super gigih yang tak gentar dengan segala medan keras di depan, juga seorang pria yang mencintai wanita pujaannya. Pembaca dibuat mengenal lebih dalam sang penulis melalui kata-kata.
Kadang kala saya merasa bertanya-tanya saat membaca berbagai kesusahan, kejadian buruk, bahkan nyawa sebagai taruhan saat penulis melakukan perjalanan. “Apa sesungguhnya yang dicari seorang Agustinus Wibowo?” mau tak mau saya setuju dengan apa yang dikatakan adik penulis di bagian awal. Namun semakin ke belakang, semakin saya dibuat mengerti dan menyadari tujuan dan alasan penulis melakukan berbagai perjalanan. Bagaimana perjalanan adalah bagian dari hidupnya, bagian dari ‘rumah’nya. Begitulah garis Tuhan. Jika beliau tidak pernah melakukan perjalanan, bisa jadi tak akan ada buku-buku yang hadir dari tangannya. Bisa jadi pembaca masih haus akan karya sejenis. Bisa jadi pembaca tak akan pernah berkaca diri dari sebuah buku. Tentu alasan itu adalah sepihak dari sisi pembaca. Penulis memiliki jawaban yang tak terbatas. Jauh lebih luas di dalam dirinya. Di mana mungkin tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkannya.
Pada akhir pembacaan Titik Nol, saya serasa diajak ‘berjalan’ lebih jauh setelah mengenal kehidupan penulis. Pembaca diajak berharu biru dengan kisah mama penulis, merasakan serunya petualangan menjelajah berbagai negara, dimanjakan kisah cinta, merasa dipenuhi dengan pembelajaran kebijaksanaan, juga seakan diajak bercermin akan dirinya sendiri, akan perjalananya sendiri.
Hidup adalah menjalani. Seorang Agustinus Wibowo mencoba membagi hasil sekolah hidupnya. Pejalan ini nampaknya belum akan berhenti menjalani takdirnya untuk menjelajah. Dan semoga saja akan terus berbagi kisahnya dengan semua orang, yang sesungguhnya adalah pejalan untuk kehidupannya masing-masing.
Judul : Titik Nol
Pengarang : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Februari 2013
Tebal : 568 halaman
Cover : Softcover
Leave a comment