Kompas (2011): Seni Travelling ala Agustinus Wibowo
- Penulis : Ni Luh Made Pertiwi F
- Selasa, 18 Oktober 2011 | 08:54 WIB
KOMPAS.com – Dirampok, diculik, dipukuli, hingga nyaris diperkosa. Jalan kaki berkilometer jauhnya, naik keledai, hingga nebeng di mobil orang. Sebuah deskripsi yang sangat jauh untuk mengambarkan perjalanan wisata.
Saya ingin menyampaikan suara-suara orang dari tempat yang kita tidak pernah dengar.
Namun siapa sangka, seorang pria dengan sosok imut, berkulit putih, suara kalem, dan berwajah “baby face”, telah mengalami itu semua bahkan lebih, demi sebuah pengalaman jiwa. Ia menyebutnya sebagai perjalanan kemanusiaan.
Agustinus Wibowo, pria berusia 30 tahun asal Jawa Timur itu berkelana ke negara-negara “ajaib”. Negara-negara yang tak populer untuk dijadikan destinasi wisata. Dari Turkmenistan sampai Mongolia dan dari Kazakhstan sampai India, pernah disambanginya.
Tak hanya itu, ia pernah menetap dan bekerja di negara penuh peperangan, Afghanistan. Ia mengarungi Asia Selatan dan Asia Tengah melalui jalur darat.
Kisah perjalanan Agus di negara-negara Asia Tengah dan Afghanistan, pernah dimuat di Kompas.com. Ia telah menerbitkan dua buku kisah perjalanannya, “Selimut Debu” –kisah perjalanan di Afghanistan- dan “Garis Batas” –kisah perjalanan melintasi Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, hingga Turkmenistan.
Agus menuturkan perjalanan yang ia tempuh untuk memenuhi misi hidupnya dalam petikan wawancara berikut.
Kalau backpacker itu biasanya ke negara-negara Eropa yang transportasinya mudah, menuju ke sana mudah. Tapi kamu memilih tempat-tempat yang tidak biasa. Mengapa?
Saya tidak mengkotak-kotakan apakah seseorang harus traveling dengan cara backpacker atau hardcore sekalipun. Sekarang banyak labeling seperti itu. Bagi saya, mengkotak-kotakan seperti itu enggak perlu, karena yang penting tujuannya.
Ada orang traveling untuk membumbungkan kebanggaanya, orang yang semakin bangga dengan semakin banyak negara yang dikunjunginya. Ada orang yang traveling karena dikejar-kejar target, ingin memenuhi ambisi dan pengakuan diri.
Saya tidak memilih cara seperti ini dengan bepergian melalui jalur darat, tapi saya tertarik untuk menjalaninya.
Apa yang membuatmu tertarik dengan Asia?
Saya lihat Asia itu sangat kaya. Kita sebagai orang Asia, banyak sekali kemiripan antara kita dengan negara-negara lain di Asia. Dan, tetap kita bisa menemukan benang merah yang menghubungkan kehidupan mereka dengan kita. Kita bisa belajar dan bercermin dari kisah hidup mereka. Baik itu buruk atau baik, kegagalan mereka, impian mereka. Semua itu tujuan traveling saya.
Apa tujuan traveling bagi Agus?
Tujuan travel saya memang seperti kebanyakan orang yang memulai travel. Awalnya sebuah ujian dan membuktikan diri bahwa kita bisa loh ke sini dan oh ternyata kita berani, kok. Tapi saat kita travel, di satu titik tertentu, sudah bukan kebanggaan lagi. Tujuan saya untuk travel sudah berbalik. Bukan untuk membumbungkan ego, tapi untung menghilangkan ego.
Maksudnya menghilangkan ego?
Orang saat travel, egonya berpikir ‘oh gue bisa nih travel, gue bisa ke sini nih‘. Tapi, sekarang sudah tidak penting. Saya tidak mengejar harus ke sana, atau tempat tertentu. Tapi yang saya cari lebih ke pembelajaran diri.
Jadi apa yang Agus cari?
Saya ingin menyampaikan suara-suara orang dari tempat yang kita tidak pernah dengar atau kita tidak peduli ke Indonesia atau bahkan di seluruh dunia lewat tulisan dan foto. Misinya seperti itu, jurnalisme dan kemanusiaan. Saya boleh bilang terinspirasi juga dari Afghanistan. Di sana ada orang yang bilang ‘agama kita itu kemanusiaan’. Kata-kata itu menancap di saya. Kita berjuang untuk apa sih? Perjuangan kita harusnya didedikasikan lagi untuk kemanusiaan.
Agustinus melepaskan kehidupan nyamannya di bangku kuliah di Beijing, China untuk menjadi relawan di beberapa tempat di dunia yang mengalami bencana. Ia juga aktif menulis untuk beberapa media asing. Beberapa foto hasil bidikannya pun pernah dimuat di beberapa media di Asia.
Uniknya, ia sama sekali tidak ada latar belakang jurnalis. Di Beijing, ia kuliah jurusan komputer. Agustinus sendiri mengaku belajar fotografi secara otodidak. Kemampuannya dalam berbahasa juga menjadi nilai tambah bagi Agustinus untuk berkelana maupun menulis. Ia menguasai lebih dari 10 bahasa. Walaupun, Agustinus mengaku sebagian bahasa sudah tak fasih lagi.
Sekarang aktivitasmu apa?
Saya kerja di Beijing. Karena untuk perjalanan saya tidak pakai sponsor, tapi pendanaan sendiri, jadi saya harus kerja untuk mengumpulkan uang perjalanan. Waktu di perjalanan di Asia Tengah, uang saya habis. Jadi, saya sempat kerja di Afghanistan menjadi jurnalis. Pas siap untuk travel, mama saya sakit keras. Jadi, saya balik ke Beijing untuk mengobati Mama di sana. Dan, uangku kembali habis. Sekarang, saya kerja lagi dan mengumpulkan uang lagi untuk travel.
Rencana perjalanan berikutnya memangnya ke mana?
Kalau memungkinkan, saya ingin ke Rusia. Dari yang paling timur sampai yang paling barat. Rusia multikultural dan kebetulan saya bisa bahasa Rusia. Saya juga ingin belajar bahasa Arab di Suriah.
Mengapa Rusia?
Rusia itu menimbulkan banyak pertanyaan mengenai garis batas. Bagaimana negara raksasa itu masih berdiri sampai sekarang dan banyak sekali kaum minoritas di sana. Aku ingin menggali lebih dalam.
Rusia itu negara magis dan mistis. Misalnya di Serbia ada praktek perdukunan. Kita kenal Rusia hanya Moskow saja. Sisi modernitasnya doang. Padahal di Rusia ada salah satu republiknya adalah Republik Budha. Budha Tibet banyak di sana. Jadi, pasti banyak sisi humanis dan cerita-cerita lain yang bisa kita pelajari.
Tidak terpikir untuk pergi ke Eropa?
Saya melakukan perjalanan darat karena keterbatasan dana. Rusia yang terjangkau. Kalau dananya terbatas saya bisa balik ke Asia Tengah.
Kalau ada yang sponsori, kamu mau ke mana?
Saya pengin ke Afrika. Kita merasa Afrika itu jauh, tapi banyak kesamaan dengan Indonesia. Benua raksasa yang terkotak-kotak dengan penjajahan. Ada mitosnya, legenda, banyak cerita dan human interest–nya kuat sekali.
Ada rencana keliling Indonesia?
Masih belum kepikiran untuk keliling Indonesia. Saya pikirnya saya masih muda juga, proses belajarnya masih kuat sekarang. Kalau mau belajar bahasa baru akan lebih mudah. Dan, beberapa tempat seperti Afghanistan, kalau tidak muda akan susah melakukan perjalanan karena medan yang harus ditempuh. Jadi, mumpung masih muda.
Tulisan-tulisan Agus memang bukan sekedar panduan wisata atau promosi destinasi wisata. Ia menangkap sisi humanis dan budaya dari setiap tempat dan sosok selama di perjalanan. Foto-fotonya pun kental nuansa yang sama. Ia bukan sekedar pelesir ataupun peziarah. Selama enam tahun, ia berkelana untuk mengerti berbagai sisi kehidupan yang ia temukan di belahan Asia.
Apakah perjalananmu ini sekedar hobi atau jalan hidupmu atau bagaimana?
Saya sudah jalan enam tahun. Saya sudah tidak melabel diri sendiri. Itu sudah tidak penting, yang penting perjalanannya.
Momen apa yang paling berat dan menantang?
Saya dulu mikirnya sudah pernah mengalami negara paling berbahaya waktu itu, yaitu di Afghanistan. Saya sudah pernah liat bom di depan mata, pernah hampir diculik dan diperkosa. Pas ke Mongolia tahun 2009, saya pikir ngapain ke sini, saya sudah pernah di Afghanistan. Ngapain takut di Mongolia? Itu egonya traveller.
Awalnya memang saya travel pertama kali ke Mongolia tahun 2002. Waktu itu hari pertama saya dirampok, hari kedua dirampok. Jadi memang di otak saya itu Mongolia seram banget. Saat perjalanan kedua di tahun 2009, setelah sudah mengalami di Afghanistan, saya pikir ngapain sih takut, saya sudah pernah mengalami hal buruk di Afghanistan. Tidak disangka, 10 menit sampai, kamera saya sudah hilang dicopet orang. Saya sering dipukuli orang di jalan. Kalau saya bilang, paling berat di Mongolia.
Apanya yang berat?
Kalau di Afghanistan, saya merasa ada kedekatan. Kulturnya lebih ramah tamah. Mereka itu Islam. Kalau dia tahu kita dari Indonesia, mereka merasa ada kedekatan dengan kita. Bahasanya pun saya lancar.
Mongolia itu negaranya sangat anti China. Kebetulan muka saya kayak orang China. Jadi kalau di jalan, orang bawaannya sudah benci duluan. Bawaannya mau mukul. Bahasanya juga susah. Karakter orang Mongolia juga dingin. Jadi, saya susah untuk blending (berbaur).
Kalau kejadian paling berbahaya atau mengerikan?
Banyak ya. Tapi saya pernah hampir diculik di Afghanistan. Malam-malam, saya naik taksi gelap. Supir taksinya nodong. Saya tidak mau kasih uangnya. Di sana itu tidak ada listrik, jadi kalau malam itu hitam semua. Saya baca-baca doa dari Alquran.
Loh kamu kan bukan Islam, tapi bisa baca doa Islam?
Ya bisa, saya dulu kan sekolah negeri.
Lalu kelanjutannya gimana?
Supir taksinya jadi tergerak kayaknya ya dengar doa-doa itu. Saya bilang akan kasih uang 100 dolar tapi antar saya dulu. Waktu sudah dekat, saya loncat dari taksi. Jatuh berguling-guling di salju dan teriak minta tolong. Kebetulan dekat situ ada kantor polisi dan kementerian.
Jadi, uangnya berhasil dirampok?
Enggak. Jadinya malah saya yang merampok dia. Karena saya kan gak bayar taksi. Gratis deh. Ha ha ha.
Saat Agustinus memulai perjalanannya, ia sama sekali tidak memberitahu orang tua mengenai negara-negara yang dikunjunginya. Beberapa kali ia terpaksa berbohong dengan mengatakan ia sedang kuliah di Beijing. Walaupun kenyataannya, ia berada di antara desingan peluru di negara perang. Apalagi saat kecil ia termasuk anak mami yang lebih banyak membaca buku di kamar. Tak heran, orang tuanya pun sempat marah saat mengetahui perjalanannya itu.
Apa keluarga masih menghalangi?
Keluarga sudah tidak menghalangi, prinsip saya memang “don’t tell my mother’. Ha ha ha. Saat saya di Afghanistan, di China lagi wabah SARS. Saya kirim email ke mama, bilang saya tidak bisa keluar karena ada SARS. Padahal saya lagi di warnet di Afghanistan dan lebih parah kondisinya karena banyak kena bom.
Sekarang orang tua bagaimana?
Lama-lama orang tua saya terbiasa. Mereka sebenarnya demokratis dan memang menyerahkan pilihan kepada saya.
Biasanya orang tua berharap anaknya berprofesi yang jelas. Sekarang kamu pilih profesi ini. Di titik mana mereka akhirnya menerima profesimu ini?
Sebenarnya saya harus terima kasih pada Kompas.com. Waktu saya di Afghanistan, tulisan saya belum Kompas.com. Orang tua inginnya saya kerja di Indonesia saja. Jadi jurnalis di Indonesia. Tapi saya memutuskan jadi jurnalis di Afghanistan.
Mama saya kalau dengar ada berita bom di Pakistan, dia ikut sedih. Dia tidak bisa membayangkan Pakistan di mana dan Afghanistan di mana. Padahal kalau dipikir, Afghanistan lebih banyak lagi bomnya. Sampai satu titik, artikelnya muncul di Kompas.com. Papa saya langsung nge-print setiap tulisan saya muncul. Orang tua saya sekarang sudah mendukung. (Catatan perjalanan Agustinus pernah dimuat di Kompas.com secara berseri sejak Maret 2008 hingga Mei 2009 -red)
Adakah kejadian yang membuatmu ingin pulang atau jadi ingat rumah?
Kalau setiap mau tidur dan memejamkan mata pasti ingatnya rumah. Ada satu titik saya merasa ingin pulang saat terkena hepatitis di India dan Pakistan. Saya kena dua kali. Saya bilang ke diri sendiri, saya sanggup enggak ini. Tapi saat itu baru titik awal perjalanan. Saya terus berpikir, saya sanggup tidak jadi jurnalis di Afghanistan. Baru jalan segini saja sudah hepatitis. Untungnya, teman-teman di Indonesia kasih semangat untuk tidak mundur. Tapi tetap prinsipnya “don’t tell my mother”.
Jadi mama kamu tidak tahu kamu sakit?
Mama saya tidak tahu. Tahunya pas sudah sembuh.
Dimarahin gak?
Langsung disuruh pulang. Tapi saya bilang saya sudah sembuh. Mata saya sudah putih lagi. Kalau hepatitis, matanya kan jadi kuning.
Ibu yang setiap saat berdoa dan menangis Agus itu telah berpulang ke rumah Tuhan. Sebuah buku berjudul Garis Batas yang mengisahkan perjalanan Agus ke kawasan Asia Tengah pun didedikasikan untuk sang Mama. Agus tetap akan terus mengembara ke negara-negara yang tak akrab di telinga. Bagaikan tengah menyingkap sebuah misteri kehidupan. Karena baginya, perjalanan adalah proses pembelajaran.
Leave a comment