Selimut Debu 14: Hari Bazaar
Kabul Bazaar, tidak jauh dari Sungai Kabul, seakan melemparkanku ke masa-masa ratusan tahun silam. Asap bertebaran dari sate kebab yang dibakar memenuhi udara. Ratusan orang beserban dan berjenggot berlalu lalang di antara gedung-gedung tua hitam menganga seperti mau ambruk. Belum lagi tatapan misterius dan ingin tahu, dari para pria bermata besar. Di sepanjang Sungai Kabul bahkan ada pasar khusus perempuan yang menjual berbagai barang keperluan kaum hawa.
Berbeda dengan di Peshawar yang hampir tidak kelihatan perempuannya, di Kabul kita bisa melihat perempuan di mana-mana. Tapi sebagian besar para perempuan Kabul menutup seluruh tubuhnya dengan burqa biru, tidak kelihatan sama sekali dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Aku tak tahu mana yang lebih konservatif, Afghanistan atau Pakistan? Di Pakistan perempuan hampir tidak terlihat sama sekali, sementara di Afghanistan memang para perempuan begitu banyak bepergian sendiri di jalanan, tapi seluruh tubuhnya ditutup rapat sampai menjadi makhluk anonim yang bahkan tidak kelihatan wajah dan matanya.
Burqa-burqa biru berkibaran bagaikan sayap lebar ketika sang empunya berjalan buru-buru, merupakan pemandangan yang luar biasa bagiku. Burqa sebenarnya sudah ada di Afghanistan sejak berabad-abad lalu, yang fungsi awalnya untuk melindungi pemiliknya yang mengenakan pakaian indah dari sutera atau perhiasan-perhiasan mahal. Burqa pada awalnya adalah pakaian bagi perempuan kelas atas, kaum ningrat dan keluarga saudagar kaya. Burqa tidak pernah sungguh populer, apalagi mendominasi. Namun pada zaman Taliban burqa menjadi busana wajib bagi semua perempuan.
Kini orang Afghan bebas untuk menentukan pakaian pilihannya sendiri, namun sebagian besar wanita masih memilih mengenakan burqa. Gadis-gadis Kabul pun sudah mulai mengenakan celana jins ketat, terkadang malah dipadukan dengan burqa biru yang menutupi wajahnya. Sungguh perpaduan yang sangat tidak matching.
Masyarakat Kabul membanggakan penyeberangan bawah tanah di jalan utama, sebuah infrastruktur yang terbilang modern di negeri ini. Seorang lelaki Kabul memperkenalkan tempat ini sebagai Kabul Subway, semula kukira sebagai stasiun kereta bawah tanah. Ternyata adalah lorong gelap pengap, dipenuhi pengemis-pengemis cacat korban perang, merayap lambat-lambat sembari meminta sedekah. Juga anak-anak kecil dengan wajah diliputi kesedihan luar biasa, merengek-rengek dengan suara-suara pedih. Kabul subway, hanya sepanjang beberapa meter itu saja, sudah memajang beragam kesedihan dari negeri yang diamuk perang.
Perekonomian tampaknya mulai menggeliat setelah mereka menerapkan mata uang baru yang lebih terhormat. Sebelumnya, mata uang Afghan nilainya sangat tidak berharga, bahkan lebih rendah daripada rupiah. Tetapi sejak tahun baru, pemerintah yang didukung Amerika ini menerapkan nilai baru yang dipatok dengan nilai dolar. Untuk menukar uang di Kabul sangatlah praktis. Tidak perlu ke bank, tidak perlu paspor, tidak perlu formulir ini itu. Ada ratusan penukar uang gelap, khususnya di Sungai Kabul. Cukup cari orang-orang yang membawa segepok uang dan kalkulator besar, sambil menawarkan “dagangannya” ke sana ke mari. Mirip dengan money changer di Khyber Bazaar, Peshawar. Namun para penukar uang Kabul ini tidak memiliki kios tetap. Nilai tukar dari semua pedagang uang di sini pun rata-rata sama, 48 Afghani per US$1 (Juli 2003).
Matahari mulai terlihat lelah berdiri di atas sana, perlahan-lahan mulai bergerak lambat menuju peraduannya. Nampak juga di jalan mobil-mobil pasukan penjaga perdamaian dari Jerman menyeruak dengan angkuhnya, ditambah lagi beberapa orang tentara duduk dengan gagah di atap mobil, sambil mengarahkan moncong senapannya ke arah jalan, ke arah orang-orang lokal yang dengan cueknya berjalan santai. Pemandangan ini benar-benar membuatku bertanya, sungguhkah para tentara asing mencurigai orang-orang lokal ini sebagai ancaman keamanan di negara mereka sendiri?
Sisa-sisa kedahsyatan perang juga masih bisa dilihat di berbagai sudut Kabul. Kebun Binatang Kabul yang berlubang-lubang diterjang peluru, penduduk yang duduk-duduk di bawah menara roboh, bangunan-bangunan yang hancur lebur di kanan kiri jalan, istana Darulaman yang disebari ranjau di sekelilingnya, juga museum Kabul yang rusak parah. Semua ini saksi biksu kekejaman perang yang telah bertahun-tahun berkecamuk di Afghanistan.
Jika bicara soal makanan, mungkin tidak terlalu banyak pilihan di sini, kecuali Anda rela merogoh kocek dalam-dalam menikmati pizza Italia atau masakan China (menu yang di China harganya cuma 8 yuan di Kabul menjadi 8 dolar Amerika). Jangan lewatkan es krim Kabul, yang mungkin adalah es krim terenak yang pernah kucicip dalam hidupku. Es krim ini dibuat dengan tenaga manual, berbahan dasar khawa (teh hijau) dan jahe, dan menghasilkan rasa yang jauh lebih nikmat dan alami daripada es krim yang dibeli di supermarket.
Bicara soal makan, mungkin lebih harus berhati-hati di Afghanistan. Aku sempat heran, mengapa setiap kali aku makan sate, pasti malamnya selalu diikuti dengan sakit perut yang melilit. Aku temukan jawabnya kemudian, ketika berkesempatan melihat bagaimana daging-daging untuk sate itu dipersiapkan. Tidak nampak daging kemerahan, yang ada hanya warna hitam. Namun jika kau mengibas-ngibaskan tanganmu di atas daging hitam itu, warna hitam itu mendadak berubah menjadi lalat yang beterbangan ke sana ke mari, lalu nampaklah daging merah yang dihiasi dengan putih-putih telur lalat. Sejak penampakan itu, aku memilih untuk menjadi vegetarian selama di Afghanistan.
Saat menginap di hotel di Kabul, jangan terkejut jika malam-malam pintu kamar Anda terbuka tiba-tiba dan sesosok tubuh polisi sudah siap berdiri di sana (jangan lupa untuk selalu mengunci pintu!). Polisi Kabul ini, yang biasanya berwajah sangar dengan jenggot yang cukup tebal, bisa datang sewaktu-waktu, bahkan pada jam-jam yang sangat tidak mengenakkan seperti pukul dua dini hari, hanya untuk mencatat data-data para tamu. Ini bisa jadi sangat lama dan merepotkan, karena mereka selalu membutuhkan waktu lebih dari 10 menit hanya untuk menerjemahkan nama kita dari huruf Latin ke huruf Arab.
Kami berdua pun kembali memasuki malam yang sunyi dan sepi di Kabul. Dan Kabul seakan benar-benar menjadi kota mati ketika malam mulai menunjukkan taring keperkasaannya. Gelap, tanpa suara, namun masih penuh dengan tekanan.
Selamat malam, Kabul.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
negara perang