Selimut Debu 15: Bayang-Bayang Sang Buddha
Berabad silam, negeri ini adalah pusat peradaban Buddha, dengan patung-patung raksasa yang memancarkan kemilau batu mulia. Tetapi, hanya dalam dua tahun yang lalu, puncak peradaban itu menjadi bongkah-bongkah batu tanpa makna. Di hadapan puing-puing reruntuhan, aku merenungkan betapa manusia bisa menjadi begitu kejam dan bodohnya.
Aku punya perasaan istimewa terhadap tempat ini. Adalah Bamiyan yang membuatku bermimpi tentang Afghanistan. Suatu hari di dua tahun lalu, siaran berita televisi mengabarkan Taliban akan segera menghancurkan patung Buddha tertinggi di dunia yang terletak di jantung Afghanistan. Ada patung Buddha di negeri Afghan? Aneh juga kedengarannya. Televisi menunjukkan gambar para pelaku, yang menyebut diri sebagai Taliban, berwujud orang-orang berjenggot lebat, berjubah hitam, dan beserban kain hitam panjang menjuntai hingga ke pinggang. Mereka berbicara penuh semangat. Tentang perjuangan, tentang agama, tentang kelaparan dan dunia yang lebih mementingkan patung daripada penderitaan manusia Afghan. Siaran berita televisi itu kemudian menunjukkan gambar tebing cadas sebuah dusun bernama Bamiyan. Cadas itu berdiri tegak lurus. Pada sisinya terdapat dua relung besar dengan dua patung Buddha raksasa berdiri di dalamnya. Patung-patung itu sudah cacat. Kakinya hilang, hidungnya tertebas, wajahnya rusak. Itulah peninggalan peradaban dunia yang masih tersisa di negeri yang hancur lebur. Tak lama lagi, kekayaan sejarah itu mungkin akan mengikuti nasib debu-debu lain di sekelilingnya—menjadi gumpalan tanpa arti yang menyelimuti seluruh negeri.
Tragis, karena negara yang dilanda perang itu sebenarnya terlihat sangat damai. Kamera sekarang menunjukkan hamparan lembah Bamiyan. Tengoklah padang hijau di lembah cadas itu. Ironis, alam yang begitu damai ternyata merupakan arena pertumpahan darah ribuan tahun.
Malam itu mimpi membawaku pergi ke negeri Afghan. Aku menyelinap ke sebuah negeri penuh misteri, ke balik selubung debu dan ledakan dinamit. Sebuah fantasi masa kecil. Aku berdiri di lembah, di hadapan patung Buddha raksasa. Afghanistan, setelah perang puluhan tahun kini menjelma menjadi surga yang dilupakan orang. Air sungai bergemercik di atas padang hijau luas. Gunung-gunung terjal itu, walaupun kerontang, juga membiaskan kedamaian.
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan. Sayup-sayup dia berbisik menyapa, dengan suara yang lemah, lembut, namun dalam, dari balik cadar birunya. Suaranya menggetarkan hati. Ada sepasang mata besar indah yang tersembunyi di balik sana, menatap tajam penuh pengharapan. Ada seraut wajah putih berhiaskan warna-warni henna tersembunyi di balik cadar. Wajah itu masih tersimpan sebagai misteri, cadar itu tak tersibak, seperti Afghanistan dalam selimut abadinya.
Dua minggu berselang, 21 Maret 2001, berita mengabarkan kedua patung raksasa itu telah hancur. Hari berikutnya, gambar-gambar Afghanistan bertebaran di internet. Patung Buddha tertinggi di dunia diselimuti debu tebal yang mengiringi ledakan dinamit Taliban. Sejarah ribuan tahun sekejap berubah menjadi tumpukan batu.
Aku masih perlu meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan mimpi. Aku sungguhan berada di tengah perjalanan menuju lembah hijau yang kulihat dalam mimpiku itu.
Semua kendaraan umum berangkat pagi-pagi buta di Afghanistan, kebanyakan saat subuh, termasuk kendaraan menuju ke Bamiyan. Jarak dari Kabul ke Bamiyan cuma 230 km, tetapi harus ditempuh setidaknya dalam sembilan jam. Berarti satu jamnya tidak sampai 30 kilometer. Jalan menuju Bamiyan yang hancur membuat perutku kenyang oleh debu, telah menggantikan Mongolia dalam benakku sebagai negara dengan jalan terburuk.
Dalam mobil kami, masih ada dua backpacker Jepang dengan dua kamera segede gaban yang pastinya mahal dan kelihatan profesional. Apa yang orang bilang tentang para backpacker Jepang adalah mereka begitu tahan banting (walaupun katanya negara kaya, mereka bisa bepergian dengan cara yang paling pelit seolah setiap sen itu layak dibela dengan mengorbankan nyawa), tidak banyak bergaul dengan turis negara lain (apa ya namanya… hidup dalam dunia sendiri?), berani pergi ke destinasi yang paling tidak mungkin sekali pun (ada backpacker Jepang yang barusan diculik di Irak dan perbatasan Pakistan, terus dipenggal, dan bukannya mengundang simpati malah dikecam oleh orang-orang senegaranya), dan selalu punya kamera besar tergantung di leher, siap memotret setiap saat. Semua definisi ini pas betul dengan kedua turis Jepang di mobil ini. Mereka tidak bercakap-cakap sama sekali dengan kami atau orang-orang Afghan yang semobil. Mereka bahkan tidak bercakap satu sama lain, karena masing-masing duduk di pinggir jendela, dengan kamera mereka tidak berhenti jeprat-jepret. Kami jadi bertanya, apa yang mereka foto. Bepergian dengan mobil Afghan di jalanan Afghan yang hancur lebur ini, bagaimana mungkin bisa memotret? Setiap bunyi jepretan, ada pohon menutup, atau mobilnya lagi “terbang”, atau oleng ke kanan, atau kecemplung lubang. Berapa mahalnya rol film yang harus dibayar? Kedua turis itu sudah bolak-balik mengganti rol untuk memotret jalan ini, sedangkan aku sangat menyayang-nyayang setiap jepretan dari kamera sakuku, karena kalau rol film habis maka tempat terdekat untuk membeli yang baru adalah di Pakistan. Dan aku juga tak punya uang untuk itu.
Turis negeri perang pun punya momen lucunya masing-masing. Ketika kedua turis itu akhirnya jatuh tertidur, tiba-tiba, JEDUKKKK!, terdengar bunyi benturan sangat keras seperti kompor meleduk. Rupanya mobil yang goyangannya sedahsyat simulasi gempa bumi ini membuat kepala seorang turis Jepang yang duduknya sederet dengan kami terantuk ke jendela kaca tebal. Saking kerasnya bunyi itu, semua penumpang menoleh ke arahnya, penasaran apakah kepalanya tidak pecah. Si turis yang terbangun, menoleh kiri kanan dengan begitu kikuknya, tanpa ekspresi apa-apa, tanpa berkata apa-apa, langsung dia menghadap lagi ke jendela dan mengarahkan kameranya. Jepret, jepret, jepret, entah menjepret apa.
Mendekati Bamiyan, di kanan kiri jalan tampak banyak bertebaran bangkai-bangkai tank. Sedangkan kota Bamiyan adalah sebuah permukiman kecil berupa seutas jalan sepanjang satu kilometer saja. Namun di kejauhan sana tampak sebuah tebing tinggi tempat dulu dua buah patung Buddha pernah berdiri.
Patung-patung Buddha itu diukir pada tebing-tebing lembah Bamiyan pada abad ke-3 sampai ke-5 Masehi. Patung Buddha Kecil berdiri dengan ketinggian 38 meter, sedangkan Buddha Besar dengan kualitas ukiran yang lebih indah dibangun sekitar dua abad sesudahnya dengan ketinggian 53 meter. Pada saat itu, Afghanistan menjadi pusat peradaban Buddhisme terpenting di dunia. Pendeta China Tang Xuanzang pernah melakukan ziarah ke lembah Bamiyan dan membuat catatan tentang adikarya menakjubkan ini. Baru pada abad ke-7 agama Islam masuk ke lembah Bamiyan, namun kedua patung Buddha raksasa ini masih berdiri di sana meneduhi seluruh lembah.
Penduduk lembah Bamiyan adalah suku bangsa Hazara, keturunan dari bangsa Mongolia, secara fisik mirip-miriplah dengan diriku atau para turis Jepang itu. Mereka menganut agama Islam Shiah, yang berbeda dari mayoritas penduduk Afghanistan lainnya yang beragama Islam Sunni. Pada masa pemerintahan Taliban, bangsa Hazara selalu menjadi bulan-bulanan Taliban, karena mereka adalah bangsa minoritas non-Pashtun dan mereka menganut aliran Shiah. Pada tahun 1997 Taliban memberlakukan blokade makanan ke Bamiyan sehingga seluruh penduduk Hazara mengalami bencana kelaparan, dan akhirnya Bamiyan jatuh ke tangan Taliban pada tahun 1998. Laki-laki Hazara banyak yang dibunuh, etnis mereka mau dilenyapkan, sehingga terjadi gelombang pengungsi besar-besaran menuju Pakistan. Dan pada puncaknya, pada tahun 2001 Taliban menghancurkan kedua patung Buddha raksasa ini, tanpa memedulikan protes dari seluruh penjuru dunia.
Berdiri di hadapan kedua patung Buddha ini, semacam perasaan berat memenuhi hati. Kedua patung raksasa ini dalam sekejap sudah berubah menjadi reruntuhan, hanya dua tahun sebelum aku berdiri di sini. Peperangan, kebodohan dan kebiadaban manusia, juga telah menorehkan berbagai “tanda mata” pada dua patung Buddha raksasa ini, yang telah bertahan selama beribu-ribu tahun. Raja dinasti Moghul, Aurangzeb, telah melukai wajahnya, raja Persia Nadir Shah telah memotong satu kaki kanannya. Perang Rusia membawa kerusakan yang lebih parah. Selama perang saudara, gua-gua Buddha ini sempat dijadikan gudang amunisi dan tempat latihan menembak oleh para pejuang Mujahiddin. Dan akhirnya mereka pergi untuk selama-lamanya di bawah ledakan dinamit Taliban, diiringi ratapan dan kecaman dari seluruh penjuru dunia.
Di tebing-tebing Bamiyan ini banyak terdapat gua-gua kecil yang dulunya merupakan ruangan yang diukir dengan hiasan-hiasan religius. Semua hiasan itu kini telah pergi. Kemiskinan di negeri ini memaksa puluhan keluarga miskin dan pengungsi Hazara menjadikan gua-gua peninggalan sejarah itu sebagai tempat tinggal.
Tepat di depan patung Buddha berjajar rapi tank-tank hijau. Sedangkan di puncak tebing tepat di atas kepala patung Buddha itu masih berserakan peluru-peluru dan bekas artileri. Sungguh merupakan kontras antara cinta kasih yang terpancar dari Buddha dengan kekotoran dunia yang bersimbah darah.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
great !
amazing picture and story
Buddha juga bilang tidak ada yang kekal di dunia ini, termasuk pastinya patung dirinya. :p
betapa mundurnya peradaban,..
Paduan gambar dan cerita yang keren..
Pernah baca berita beberapa waktu lalu soal dihancurkannya patung2 Budha tsb oleh Taliban. Sayang sekali. Padahal tempat spt ini harusnya merupakan world heritage area.
terharu membacanya.. tapi masih bisa tertawa juga.. hehheee…