Recommended

Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

 

Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Siaran berita Hadi Ghafari di Radio Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Tiga tahun. Seiring dengan perputaran roda waktu, dusun kecil di lembah hijau ini pun turut menggeliat.

Aku melangkah ke gedung Radio Bamiyan yang tersembunyi di gang kecil di balik jalan utama. Tiga tahun lalu, tidak ada stasiun radio di sini, tapi sekarang dusun kecil ini sudah punya stasiun radio, warung internet, dan segera memiliki stasiun televisi sendiri.

Hadi Gafari yang bertanggung jawab sebagai pemimpin Radio Bamiyan ini mengatakan, teknologi sudah mulai terjangkau di sini. Internet mereka bersumber dari satelit yang berukuran besar di halaman belakang, mirip antena parabola, dan biayanya adalah US$ 600 per bulan.

Bukan cuma teknologi, pasar Bamiyan pun tampak semakin sibuk. Jauh lebih ramai dibandingkan tiga tahun lalu. Barang yang dijual pun lebih bervariasi, mulai dari buah-buahan, gandum, sampai buku. Masyarakat yang dicekam ketakutan perang meletakkan buku pada prioritas terbawah dalam kebutuhan mereka, apalagi mayoritas warga Afghanistan buta huruf. Tetapi warga Bamiyan sekarang sudah mulai membaca buku! Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa?

Begitu pun dalam hal penginapan. Dalam kunjungan pertamaku di Bamiyan, satu-satunya tempat menginap adalah Restoran Mama Najaf, yang harganya mahal, tamu hanya tidur di lantai di atas matras kumal, plus bonus kutu busuk dan kecoak yang berlarian di sudut-sudut kamar. Tapi sekarang, semakin banyaknya penginapan membuat kompetisi pun semakin sengit. Setidaknya ada empat hotel di sepanjang satu-satunya jalan utama di Bamiyan ini.

Satu-satunya jalan Bamiyan ini pun baru dibangun, di daerah yang sekarang disebut sebagai Shahr-e-Nao, alias Kota Baru. Setiap tahun, jalan ini bertambah panjang, dan semakin panjang. Jalan ini dibangun sesudah perang oleh para mantan pengungsi. Sedangkan pada masa Taliban, seluruh kota Bamiyan pernah hancur lebur tak bersisa. Reruntuhan kota lama Bamiyan masih bisa dijumpai di sekitar patung-patung Buddha—yang juga diledakkan oleh Taliban. Daerah permukiman lain Bamiyan adalah sepanjang jalan menuju lembah naga Ajdahar dan danau-danau magis Band-e-Amir. Kehidupan di daerah itu lebih sulit lagi, lebih kering dan berdebu, karena tanahnya tidak sesubur dan airnya tidak sebanyak di daerah pusat Bamiyan.

Bamiyan adalah kota generator, seperti halnya tempat-tempat lain di Afghanistan (bahkan ibukota Kabul pun belum punya jaringan listrik dan masih mengandalkan generator). Ironis memang, Afghanistan dipenuhi gunung-gunung tinggi dengan aliran sungai yang deras, tetapi justru harus mengimpor listrik dari negara-negara tetangga seperti Kirgizstan dan Tajikistan yang telah memiliki bendungan-bendungan pembangkit listrik peninggalan Rusia. Mengapa Afghanistan tidak membangun bendungan sendiri? Beberapa orang yang kutemui menyalahkan parlemen Afghanistan yang masih dikuasai bandit-bandit perang yang bahkan tidak tahu bagaimana cara membangun sebuah negeri. Setiap rumah di Bamiyan punya generator masing-masing untuk menyalakan lampu dan televisi, plus mesin DVD untuk memutar film-film Iran dan Bollywood India.

Bamiyan dalam memoriku tahun 2003 adalah dusun dengan satu toilet umum yang sangat menyeramkan, penuh tumpukan kotoran yang menghitam dan lalat-lalat yang berdengung riang, persis di sebelah restoran Mama Najaf. Sekarang toilet umum semakin menjamur di Bamiyan. Organisasi PBB, UN Habitat, telah membangun banyak toilet baru. Lokasi toilet biasanya lebih tinggi dari tanah, sehingga kotoran yang jatuh bisa dengan mudah diambil untuk dijadikan pupuk. Seperti halnya kebanyakan Muslim, penduduk lebih memilih menggunakan air daripada kertas tisu. Mereka membawa air dalam bejana plastik berleher panjang. Leher dari bejana plastik di Afghanistan jauh lebih panjang daripada yang biasa dipakai di Pakistan, sehingga sangat praktis untuk menjangkau “bagian tubuh yang sulit” itu tanpa perlu tumpah-tumpah membasahi celana.

Satu dusun dengan satu jalan utama yang hanya bebatuan dan debu tak sampai setengah kilometer, Bamiyan mungkin hanya sebanding dengan sebuah desa di pulau terpencil Indonesia. Tapi di satu jalan ini, aku sudah melihat satu bangunan Bamiyan TV (yang tidak jelas kapan mulai beroperasi), satu warung internet (60 afghani per jam), deretan toko suvenir (sangat sepi dan tidak terlihat sama sekali ada orang asing di sekeliling), dan bahkan sebuah pusat kebugaran (dengan baliho besar bertuliskan bahasa Inggris: BUDDY BUILDING).

Bamiyan terletak di daerah yang disebut sebagai Hazarajat, yang merupakan jantung Afghanistan secara geografis. Sesuai namanya, orang-orang yang tinggal di sini adalah suku Hazara. Mereka punya penampilan fisik Mongoloid, dengan mata sipit, hidung pesek, dan tubuh yang relatif pendek. Wajah mereka mirip orang-orang Kazakh, Kirgiz, atau Mongol. Konon, mereka adalah keturunan Genghiz Khan, atau keturunan pasukan Genghiz Khan yang pernah menyerbu hingga ke Afghanistan.

Dalam masa keemasannya, Lembah Bamiyan pernah menjadi pusat ziarah umat Buddha yang tersohor di dunia. Tetapi sekarang, sudah tidak ada lagi umat Buddha di sini. Daerah ini sepenuhnya telah diislamkan. Menurut legenda, adalah Sang Hazrat Ali (alias Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu dari Nabi Muhammad) sendirilah yang mengislamkan daerah ini dengan kekuatan supranaturalnya. Orang-orang Hazara adalah pemeluk Syiah, sedangkan mayoritas penduduk Afghanistan adalah Sunni. Orang Hazara juga memperingati hari Ashura (kematian Imam Hussain, putra Ali bin Abi Thalib) dengan sebuah memukulkan pisau tajam ke punggung mereka hingga berdarah-darah. Ritual ini sempat dilarang oleh rezim Taliban. Semasa perang saudara, orang-orang Hazara ini pernah menjadi target pembantaian, dan banyak dari mereka yang mengungsi ke negara-negara tetangga.

Tetapi masa lalu yang kelam itu perlahan-lahan harus ditinggalkan. Toh mereka tetap harus menjalani hidup di kampung halaman ini. Orang-orang Hazara kembali pulang dari pengungsian, dan Bamiyan kembali lagi berkembang, menggeliat, berenergi—berkat curahan uang investasi, orang-orang berpengharapan, dan juga turis-turis yang riang gembira (untuk melihat reruntuhan patung Buddha raksasa yang sudah hancur di lembah hijau sejuk di tengah gersangnya Afghanistan).

Seperti itu pulalah, roda kehidupan senantiasa berputar.

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

Di sini tempat mereka ber-buddy building (AGUSTINUS WIBOWO)

Di sini tempat mereka ber-buddy building (AGUSTINUS WIBOWO)

Senyum ceria menghiasi Bamiyan hari ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Senyum ceria menghiasi Bamiyan hari ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penjaga hammam, alias pemandian umum (AGUSTINUS WIBOWO)

Para penjaga hammam, alias pemandian umum (AGUSTINUS WIBOWO)

Radio adalah sumber informasi dan hiburan penting di negeri ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Radio adalah sumber informasi dan hiburan penting di negeri ini (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka pun sudah tidak asing dengan telepon genggam (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka pun sudah tidak asing dengan telepon genggam (AGUSTINUS WIBOWO)

Bisnis mulai menjamur di Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Bisnis mulai menjamur di Bamiyan (AGUSTINUS WIBOWO)

Transportasi utama masih keledai (AGUSTINUS WIBOWO)

Transportasi utama masih keledai (AGUSTINUS WIBOWO)

Menu makan malam yang menggoda (AGUSTINUS WIBOWO)

Menu makan malam yang menggoda (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 25: Bamiyan, Setelah Tiga Tahun

  1. Sy sangat menyukai membaca novel anda sekaligus tdk terbayangkan jk sy yg menjalaninya, beradaptasi dg toilet umum yg jorok.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*