Selimut Debu 26: Buddha Bertabur Ranjau
Mengunjungi Bamiyan bagaikan menyusuri lekuk-lekuk memori. Tiga tahun lalu, berdiri di hadapan patung-patung Buddha puncak peradaban ribuan tahun yang berubah menjadi tumpukan batu hanya dalam semalam, hatiku menangis.
Hari ini, tumpukan-tumpukan batu di rongga gunung itu masih seperti dulu. Berbongkah-bongkah, tak beraturan, menjadi saksi kebodohan perang. Sepi, kosong, sementara angin berhembus sepoi-sepoi mengayun-ayunkan rerumputan di lembah hijau.
Kesunyian yang berlebihan ini membuatku merinding. Sunyi sesunyi-sunyinya, karena anak-anak masih bersekolah dan para lelaki bekerja di ladang. Tidak ada orang lain di sini, dan aku satu-satunya “turis”.
Kesunyian itu sesungguhnya tidaklah total. Semakin aku berjalan mendekat ke arah rongga Buddha raksasa, semakin terlihat banyak pekerja yang sedang sibuk. Para pekerja itu ada dua macam. Yang pertama adalah para pekerja berhelm kuning, seperti para pegawai konstruksi, sibuk hilir mudik di antara patung Buddha Besar (tingginya 55 meter) dan lebih jauh ke arah patung Buddha Kecil (tingginya 38 meter). Kedua gua Buddha raksasa itu (yang saking besarnya aku harus mendongak melihat atapnya) kini sudah dipagari, dan para turis diwajibkan membayar tiket. Aku sendiri kurang tahu soal tiket itu, karena sejauh ini tidak ada staf yang menagih tiket, kantor tiket selalu tutup, dan tidak masalah juga aku berkeliaran bebas tanpa tiket begini. Bukankah wajahku juga sudah mirip penduduk lokal Hazara?
Para pekerja konstruksi itu juga sebenarnya mulai bekerja hari ini. Tugas mereka adalah memindahkan batu-batu yang tidak berguna dari situs bersejarah ini. Seorang pekerja bilang, mereka akan membangun kembali patung Buddha yang sudah hancur itu, tapi aku tidak percaya. Banyak organisasi bilang, pembangunan kembali tidak akan dilakukan, mereka akan membiarkan puing-puing ini sebagai monumen kebodohan perang yang menghancurkan peradaban. Tidak banyak yang berubah memang dari tempat ini, selain sedikit lebih bersih dari bongkahan bebatuan reruntuhan dan para pengunjung tidak lagi bebas berkeliaran di gua-gua seperti dulu.
Kedua patung Buddha itu dipisahkan jarak sekitar 100 meter, berupa dinding tebing terjal dengan gua-gua kecil di sekujur permukaannya. Ada yang bilang tentang kemungkinan keberadaan sebuah patung Buddha raksasa lainnya di daerah ini, dalam posisi tidur dengan ukuran jauh lebih besar daripada dua patung Buddha Berdiri yang dihancurkan Taliban itu. Letak si patung Buddha Tidur diperkirakan tersembunyi di balik perbukitan di antara kedua patung Buddha Berdiri itu. Para ahli sejarah UNESCO sedang berusaha menemukan jawaban misteri di balik patung Buddha raksasa, yang apabila benar tentu akan menjadi permata peradaban Afghanistan yang baru.
Dulu, gua-gua kecil di bukit patung Buddha ini penuh dihuni penduduk. Para manusia gua itu adalah orang-orang malang yang bersembunyi dari kemelut perang. Tetapi sekarang, jumlah penghuni gua sudah jauh lebih sedikit dibanding yang pernah kulihat tiga tahun lalu. UNESCO telah menetapkan daerah ini sebagai situs sejarah, sehingga para penghuni gua diharuskan pindah. Masih tertinggal sedikit keluarga yang tinggal di gua-gua antara kedua patung Buddha.
Selalu ada desas-desus soal bagaimana masa depan situs sejarah yang hancur lebur ini. Seorang musafir yang kujumpai di Peshawar mengatakan bahwa pemerintah Jepang berencana menggunakan teknologi sinar laser modern untuk menciptakan sensasi imaji tiga dimensi yang diproyeksikan pada gua-gua Buddha Raksasa, dengan ukuran dan bentuk yang sama persis seperti patung Buddha sebelum diledakkan oleh Taliban. Dengan laser itu, kita bisa melihat bayangan bentuk asli patung Buddha, sambil berimajinasi soal peradaban agung Afghanistan di masa silam. Ya, kedengarannya seperti “Disneyland-isasi”.
Kelompok pekerja kedua jauh lebih menarik. Mereka adalah pasukan pembersih ranjau. Begitu melihat mereka, aku seketika melihat perubahan yang sangat mencolok dari lokasi ini.
Di sana-sini terlihat bertaburan batu-batu bercat putih dan merah. Ini tanda yang sangat jelas. Batu-batu berwarna itu adalah penanda bahwa daerah ini penuh ranjau.
Ranjau?
Tidak mungkin! Tiga tahun lalu, aku dan Adam, temanku yang orang Inggris itu, berkeliaran bebas di daerah patung Buddha ini. Orang bilang daerah ini aman dari ranjau. Kami berlari-larian di lembah hijau. Kami bahkan mendaki ke puncak bukit, mengagumi pemandangan Bamiyan yang begitu menyegarkan, lalu mengoleksi selongsong peluru, dan bermain perang-perangan dengan bekas senapan dan artileri yang tertinggal.
Dan sekarang, mereka bilang daerah ini penuh ranjau?
Seorang lelaki pekerja pembersih ranjau tertawa. “Kamu beruntung, kamu masih hidup. Seharusnya, kamu sudah dari dulu mati. Ini daerah sangat bahaya!”
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
colek Meila Handayani Selimut Debu yang terselip di jok mobil
hahhaayy..mantabs…