Selimut Debu 28: Lika-Liku Laki-Laki
Sebuah pagi dimulai dengan tergopoh-gopoh. Hadi Ghafari pagi-pagi tergopoh-gopoh membangunkanku. Napasnya masih terengah-engah.
Dia bilang, istrinya barusan menelepon dari Kabul. Itu artinya, dia harus segera ke Kabul untuk melakukan “sesuatu” di rumahnya. Dari gerakan tangannya, dan senyum mesam-mesemnya, dia menunjukkan kalau istrinya sudah merindukan kehadirannya untuk mengisi malam-malam yang sepi, karena dia sudah 25 hari tidak pulang ke Kabul.
“Berapa lama ke Kabul?” tanyaku.
“Sepuluh hari,” jawabnya.
Sepuluh hari! Itu artinya, tidak ada lagi tempat bagiku di sini.
Kemarin, seseorang dari sebuah LSM di Bamiyan mengajakku untuk ikut ke desa-desa pedalaman, dan akan berangkat seminggu lagi. Aku bertanya pada Hadi apakah mungkin aku tinggal di kantornya selama aku menunggu hari keberangkatan. Dia berusaha meyakinkanku dengan segala cara bahwa kegiatan LSM itu sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaanku (bagaimana dia tahu?), tetapi kemudian dia bilang sama sekali tidak ada masalah karena kantor ini adalah rumahku juga (keramahtamahan yang luar biasa!). Tetapi dengan begitu tiba-tibanya, pagi-pagi begini, tergopoh-gopoh begini, dia bilang harus balik ke Kabul selama sepuluh hari, meninggalkan kantornya secara total, mengunci ruang berita, menutup kantor, … yang semua ini di mataku seperti cara halus untuk mengusirku pergi.
Untunglah aku berhasil mengatur akomodasiku untuk hari-hari berikutnya di Restoran Khyber. Di Afghanistan, orang menyebut restoran sebagai “hotel”, karena memang berfungsi ganda sebagai penginapan. Persetujuannya adalah, aku boleh menginap gratis tidur di matras di ruang makan, asalkan aku membeli makanan di restoran ini. Tidak perlu lengkap makan pagi, siang, dan malam, cukup makan siang saja sudah menjamin matrasku di restoran ini.
Hadi berkata, dia akan berangkat sekitar pukul 10 pagi dari Bamiyan ke Kabul. Itu artinya, aku tidak akan berjumpa dengannya lagi.
Sorenya, aku kembali bertemu dengan Akbar Danesh, teman dari LSM yang kemarin menawariku bepergian keliling Bamiyan itu. Akbar adalah manajer regional dari sebuah LSM bernama Spring of Construction Rehabilitation Cultural and Social Organization (nama yang panjang, dan aku susah payah memahami susunan katanya, maknanya, visinya). Organisasi ini bermitra dengan agen donor Jepang JICA dan Kementerian Urusan Perempuan. Organisasi ini bergerak di bidang kesejahteraan perempuan.
Aku sungguh tidak tahu apakah proyek yang mereka kerjakan, tapi jelas si Akbar sangat sibuk membuat proposal untuk proyek dua minggunya keliling provinsi. Pekerjaan survei ini akan melibatkan sejumlah ahli, yang masing-masing akan dibayar US$ 15 per hari, sedangkan anggaran untuk transportasi sebesar US$ 650. Para juragan di Kabul tidak setuju, dan mereka ingin memangkas gaji itu menjadi US$ 10 per hari, dan US$ 350 untuk transportasi. Akbar harus berjuang keras untuk merevisi proyeknya.
“Menurutmu, kalau aku membayar US$ 15 per hari, apakah itu masuk akal?”
Aku mengira, dia menawariku pekerjaan itu. Buat aku yang berdompet supertipis ini, itu adalah angka yang sangat besar. Bahkan sedolar sehari pun akan aku terima. “Itu adalah kehormatan besar!” jawabku malu-malu.
“Tapi, tahu apa mereka di Kabul? Mereka tidak pernah turun lapangan! 650 dolar untuk transportasi itu sangat wajar di Bamiyan!” kata Akbar berapi-api.
Baru aku sadar, ternyata dia bukan sedang menawariku, dia hanya minta pendapat soal proposal yang dibuatnya. (Dan belakangan aku baru sadar, uang transportasi US$ 350 itu sangat wajar. Akbar hanya tertawa dan berkata, “Kalau tidak mark-up, bagaimana kita bisa bertahan hidup?”)
Akbar adalah pemuda yang baru berusia 24 tahun. Dia pernah tinggal bertahun-tahun di Iran sebagai pengungsi, dan baru saja kembali ke Bamiyan tahun 2003. Akbar pernah mendapat beasiswa untuk belajar di Bishkek, Kirgizstan, tapi anehnya dia malah ditempatkan di kota gersang Jalal-Abad di bagian selatan negara Asia Tengah itu. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Kabul dan mencoba peruntungan.
Di ibukota, dia bekerja untuk seorang Kanada keturunan Timur Tengah, seorang kaya raya yang memiliki perusahaan di Malaysia. Bekerja di perusahaan ini, semula Akbar mendapat gaji US$ 500 sebagai sekretaris lelaki itu, tetapi tiba-tiba majikannya berniat untuk menanam modal sebanyak US$ 2,6 miliar di Afghanistan, dan seketika menaikkan gaji Akbar menjadi US$ 2.000 per bulan. Bukankah ini peruntungan yang luar biasa bagi pemuda Afghan ini?
Tapi kemujuran itu tidak bertahan lama. Hanya enam bulan sesudahnya, insiden itu terjadi. Tentara Amerika mencurigai perusahaan itu sebagai organisasi teroris. Bos dan semua staf diringkus, dibui, dan kemudian dikirim ke penjara seram legendaris di Afghanistan: Bagram (Guantanamo versi Afghanistan).
“Aku sangat takut kalau mereka benar-benar akan mengirim kami ke Guantanamo!” kata Akbar.
Tapi mereka akhirnya dibebaskan setelah beberapa hari. Bos itu sangat marah sekaligus takut. “Ini adalah kesalahan luar biasa untuk berinvestasi di negara seperti Afghanistan! Aku tidak akan pernah datang kembali ke sini!” Dia langsung meninggalkan rencana investasinya, tak peduli lagi kerugian puluhan ribu dolar, segera meninggalkan negara ini, untuk selamanya.
Akbar masih tinggal di sini, dengan peruntungan US$ 11 ribu yang didapatkannya selama melayani majikan Kanada itu. Dia menjadi eksekutif dalam usia yang sangat muda. Hidupnya masih penuh mimpi-mimpi, ambisi yang jauh lebih tinggi.
Tapi ini masih di Afghanistan, di dusun kecil bernama Bamiyan.
Si eksekutif muda sibuk kelimpungan mencari layanan internet untuk mengirimkan surat proposal kepada para majikan di Kabul. Satu-satunya warung internet di Bamiyan lagi tutup gara-gara generator rusak.
“Mari kita ke Radio Bamiyan,” kata Akbar, “kita pakai internet si Hadi Ghafari!”
“Dia pulang kampung ke Kabul,” aku memberi informasi.
Akbar tak peduli.
Dia terus melangkah ke ujung jalan berdebu.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Leave a comment