Selimut Debu 30: Universitas Bernama Kedai Teh
Tidak semua hal yang buruk membawa kesialan. Justru karena aku didepak dari Radio Bamiyan tempat Hadi Ghafari itu, aku malah mendapat mendapat kesempatan untuk belajar langsung dari sebuah universitas kehidupan bernama “kedai teh”.
Kedai teh, orang Afghan menyebutnya samovar, sedangkan buku panduan menyebutnya sebagai chaikhana (chai=teh, khana=rumah), bukan hanya sekadar tempat makan dan minum. Bagi orang Afghan di daerah pedesaan seperti ini, kedai teh adalah tempat untuk bercengkerama, berbagi cerita, dan mendengar tentang dunia. Para musafir (laki-laki, dan hanya ada laki-laki) bahkan menginap gratis di kedai teh, tidur di atas matras di ruang utama, berjajar-jajar tanpa sekat privasi, dan mensyukuri berkah karena masih ada tudung atap dan kehangatan untuk melewati malam yang dingin.
Aku terpesona dengan kedai teh, ketika tiga tahun lalu aku berjumpa musafir Jepang yang sudah lusuh, tidur dari kedai teh satu ke kedai teh lain, berkeliling negeri Afghanistan dengan kemampuan bahasa Farsi yang mengagumkan. Sekarang, sepertinya aku sudah mengikuti jejaknya yang sama persis, tinggal di kedai teh dan mengamati kehidupan Afghanistan yang sesungguhnya.
Aktivitas di kedai teh sudah bermula sejak pagi buta, kala orang-orang sudah sibuk mengambil wudu dan menunaikan ibadah. Alunan azan terdengar sayup-sayup, begitu lembut, dinyanyikan merdu dari kerongkongan yang sudah sangat terlatih.
Saat makan pagi, kedai teh pun mulai ramai. Para pengunjung duduk berbaris di sepanjang kain panjang yang digelar di atas lantai. Mereka sangat suka makan roti kering. Tentu tidak mudah menelan bulat-bulat roti sekering itu, sehingga perlu bantuan teh (jadi apa kedai teh kalau tanpa teh?).
Seperti di Indonesia, dan berlawanan dengan bangsa-bangsa berperadaban teh tinggi seperti China dan Jepang, orang-orang di sini sangat suka minum teh manis.
Orang-orang Persia, termasuk di Iran dan Afghanistan, punya cara yang sangat khas untuk meminum teh. Mereka menjepitkan sebuah permen atau gula batu di antara gigi depan, lalu meminum teh tawar sehingga rasa manis dihasilkan oleh gula yang pelan-pelan mencair bersama cairan teh hangat.
Tapi cara minum teh saat sarapan agak berbeda. Mereka menaruh gula pasir di dasar gelas (gelas kaca di Afghanistan, anehnya, mayoritas bertuliskan Made in Indonesia), lalu menuangkan teh panas ke gelas. Biasanya mereka tidak mengaduk teh. Tingkat kemanisan teh ditentukan oleh jumlah gula, temperatur cairan teh, sudut penuangan, dan kecepatan menuang.
“Choy siyah? Choy sabz?” adalah pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh para pegawai kedai teh sebelum melayani kita. “Teh hitam atau teh hijau?” Ini adalah dua jenis teh utama yang diminum orang Afghan, dan mereka sangat spesifik soal ini. Selama ini di Indonesia aku hanya tahu teh ya teh saja, tapi di sini baru aku tahu kalau orang Indonesia mayoritas cuma minum teh hitam. Jangan heran, orang Afghan umumnya tidak minum apa-apa selain teh. Mereka menganggap air putih itu mentah, dan mereka juga tidak punya tradisi minum kopi. Baru belakangan ini saja produk-produk minuman olahan masuk, mulai dari jus sampai Cola, tapi takkan sanggup menggeser dominasi teh di kalangan warga Afghan.
Untuk meminum teh pun ada caranya. Teh dari poci tidak langsung diminum. Mereka akan menuang sedikit ke dalam cangkir atau gelas mereka, dikocok-kocok, lalu dibuang ke lantai. Tuangan berikutnya baru diminum. Mungkin untuk membersihkan dasar gelas. (Tapi, untuk gelas umum yang dipakai ramai-ramai seperti ini, bukannya yang paling penting adalah membersihkan bibir gelas?)
Seperti halnya di Pakistan, kegiatan makan pun kebanyakan dilakukan di atas lantai, yang dilapisi semacam taplak panjang dari plastik disebut dastarkhon. Lebarnya sekitar setengah meter, tapi panjangnya bisa mencapai sepuluh meter, dan orang-orang duduk berbaris di kedua sisinya. Mereka biasanya makan tanpa sendok garpu, hanya dengan tangan telanjang. Dimulai ucapan Bismillah dan diakhiri Amin, kegiatan makan berlangsung dengan penuh percakapan dan cerita. Para bocah kecil pegawai restoran (kebanyakan berusia belasan tahun, bahkan ada pula yang di bawah 10 tahun) kemudian akan membersihkan taplak itu, menggulungnya kembali, dan menyapui lantai dengan sapu lidi.
Tinggal di chaikhana ini membuatku menyelami kehidupan seorang musafir, dalam artian yang sesungguhnya. Musafir adalah manusia yang berjalan dengan begitu sederhana, tanpa banyak bawaan, tanpa beban-beban berat, sepenuhnya menggantungkan nasib pada kemurahan orang-orang sekitar.
Di Afghanistan, mereka sangat memahami makna musafir. Perjalanan di negeri ini begitu berat. Jalanan tidak ada, penginapan pun hanya selapis matras dan selimut bau. Bahkan bantal kumal berkutu pun sudah merupakan rahmat tak terhingga.
Toh kita juga tetap hidup walaupun tanpa kenikmatan yang bermewah-mewah. Toh kita juga tetap berbahagia.
Menjadi musafir itu sungguh sederhana!
Dengarlah bagaimana kisah-kisah disebarkan dari mulut ke mulut. Dengarkan suara gemercik air teh mengisi cangkir-cangkir, menemani manusia-manusia melewati perputaran waktu. Nikmati udara yang dipenuhi persahabatan dan kenikmatan.
Orang Afghan punya pepatah: tidak ada hal apa pun yang tidak kaudengar atau kau pelajari dari chaikhana.
Inilah universitas kehidupan, tempat orang makan, minum teh, berbagi cerita, dan tiduran di atas matras.
Di zaman sekarang, nuansa chaikhana juga diperkaya dengan kedatangan teknologi modern: tape recorder, radio, televisi, dan DVD yang tidak henti-hentinya memainkan video klip lagu India (yang penuh adegan cium-ciuman seksi, perut langsing perempuan berkulit putih mulus, dada bidang lelaki dengan otot bergumpal-gumpal, dan sebagainya).
Chaikhana tempat aku menginap ini bahkan memiliki sebuah meja karambol. Para lelaki bermain karambol setelah menyantap makanan. Ketika siang semakin tinggi, dan jam makan siang sudah lewat, para musafir yang telah kenyang menyantap teh hijau bersama nasi palao Kabuli akan kembali menggelar matras, membaringkan tubuh mereka, dan tidur. Suasana dingin di Bamiyan memang paling cocok untuk bermalas-malasan.
Selamat menikmati kehidupan musafir di kedai teh ini. Sementara kau masih mereguk teh hangatmu, izinkan aku membilas diri dengan air hangat di pemandian umum di seberang jalan sana.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Mas Agustin, saya mau coba pesan buku Selimut Debu dan Garis Batas, tp di Gramedia Online tidak ada. 🙁
Dulu waktu saya sedang ambil master sekitar 2008-2009 dan sehari2 melakukan eksperimen, saya selalu nunggu edisi lepas dari selimut debu di Kompas. Sembari nunggu eksperimen sambil baca tulisan Agustinus Wibowo selalu menyenangkan.