Selimut Debu 37: Kesialan Mendatangkan Kesialan
“Jadi kamu pikir kami ini orang jahat?” Raut muka lelaki Hazara yang menginap di sini tiba-tiba berubah jadi serius. Mata sipitnya memicing. “Ayatullah orang jahat? Aku jahat? Dia jahat? Atau dia jahat?” Ia mengarahkan jari telunjuknya pada semua orang yang duduk di ruangan ini, berurutan dari Ayatullah sampai ke Qurban.
Ayatullah dan teman-temannya memulai pagi ini dengan mengolok-olokku, lagi-lagi membuat lelucon bodoh mengenai jijig.
Aku sama sekali tidak bernafsu dengan humor porno saat ini.
Ayatullah menuang teh hijau ke dalam cawan-cawan, menghirup asap teh yang harum dalam-dalam. Tak-tak-tak-tak. Tangannya terus memutar tasbih. Mereka melanjutkan ritual menertawakan orang Tajik yang bermental pencuri.
Aku menyanggah. “Orang Tajik itu tidak jahat. Mereka malah menawariku ongkos pulang.”
Aku tidak berniat membandingkan dengan orang-orang Hazara di hadapanku yang tidak berusaha membantu apa-apa tapi sibuk menertawakanku ini. Tapi kalimatku tadi sudah membuat seorang dari mereka terluka, marah. Lelaki yang duduk di samping Ayatullah itu tidak terima, ia menyergapku dengan sederet kalimat pedas bernada rasis.
Ayatullah tertawa terkekeh. “Kamu tidak perlu khawatir. Bukankah masih ada seratus dolar di dompetmu?”
Aku tidak punya uang sebanyak itu. Hanya ada selembar lima dolar dan beberapa uang receh Afghani. Ongkos paling murah ke Kabul 300 afghani. Dan aku tak punya uang lebih untuk membayar penginapan mahal di ibu kota. Lagi pula, apa urusannya Ayatullah dengan isi dompetku?
Orang-orang ini masih terus bercanda menertawakanku. Aku tak kuat lagi. Aku segera memanggul ransel, pergi jauh-jauh.
Pukul tujuh, matahari sudah terlalu tinggi. Hampir semua kendaraan telah berangkat menuju Kabul. Yang tersisa tak banyak, menunggu sampai penumpang penuh dulu baru berangkat. Sudah terlalu siang, cari penumpang juga tak mudah. Kebanyakan menarik ongkos 400 afghani, dan tak satu pun yang bersimpati mendengar ceritaku.
“Ah, mana ada orang asing tak punya uang?” seorang sopir berkata sinis, “Orang asing itu gajinya paling sedikit seratus dolar per hari!”
Setelah memohon-mohon, akhirnya aku berhasil mendapat kendaraan yang bersedia mengangkutku dengan ongkos 300 afghani. Belakangan aku tahu, ternyata semua penumpang memang membayar harga segitu. Entah kenapa aku harus dibikin memohon-mohon dulu, mengemis dan memelas, hanya untuk membayar dengan harga normal.
Terus-menerus memikirkan kesialan akan memanggil kesialan lainnya. Aku percaya itu. Aura negatif memenuhi seluruh energiku, lelaki muda yang hanya cemberut dan terus memikirkan nasib buruk yang baru terjadi. Aura negatif yang terpancar langsung disambut oleh lingkungan sekitar, yang juga membalasnya dengan negatif.
Kesialan pertama, hanya satu jam setelah berangkat meninggalkan Bamiyan, mobil yang kami tumpangi terdampar di dasar kubangan gara-gara para petani mengubah saluran irigasi ladang mereka, sehingga jalanan jadi kebanjiran.
Semua penumpang turun, mendorong mobil sampai ke pinggiran.
Semua penumpang naik lagi. “Bismillahirrahman irrahim,” para penumpang serempak membaca doa sementara sopir menstarter mobilnya.
Oh, oh, tidak bergerak. Kami semua disuruh turun lagi. Sepertinya ada yang rusak. Si sopir juga berperan sebagai mekanis, ingin memperbaiki mesin mobil, tapi dia tidak punya peralatan apa pun untuk membuka bagian dalam mobilnya.
Kami menunggu beberapa menit sampai mobil lain melintas, sehingga si sopir bisa pinjam peralatan. Dia mendapat pinjaman. Dia melepas kursi mobil depan, dan melongok meneliti mesin. Mesin malang penuh terisi air. Air harus dikeluarkan, mesin harus dijemur di bawah matahari panas.
Berapa lama? Satu jam? Dua jam?
Tak ada jawab.
Dua bocah petani hanya duduk di atas batu di tengah padang, memandangi semua pendatang dengan mobil mogoknya. Di alam yang masih natural ini, alat angkut utama adalah keledai dan kuda, setidaknya tak perlu mengalami mogok kalau tercelup air kubangan.
Dua jam lewat. Sopir memutuskan bahwa mesin sudah kering. Ia mengembalikan mesin yang sudah panas lalu menstarter mobil. Mobil berguncang, kami siap berangkat.
Mobil ini cuma berguncang, sayangnya.
Rodanya tidak berputar. Seorang penumpang melompat turun, mengamati, berteriak ngeri. Minyak hitam mengguyur deras dari dalam mesin. Motor mobil ini sudah tamat riwayatnya. Maida shod. Rusak. Tewas.
Betapa tidak beruntungnya terdampar di sini, padang hijau dikelilingi bukit-bukit berpuncak melengkung. Tak ada desa. Kalaupun ada, tak banyak pula gunanya, karena bengkel reparasi mobil terdekat ada di Bamiyan yang sekitar 20 kilometer jauhnya—satu jam perjalanan melewati jalan bergerunjal dan berlumpur ini.
Kami tak punya pilihan selain mengganti motor penggerak mobil. Tapi ganti dari mana?
Seorang penumpang, dokter dari Kabul, mengusulkan agar seseorang dari kami berangkat dengan mobil yang datang dari arah berlawanan menuju Bamiyan. Di Bamiyan, nanti kami bisa cari sopir dan mobil lainnya untuk mengangkut kami para penumpang yang terdampar ini menuju Kabul.
Usul brilian.
Tapi bicara memang selalu lebih mudah daripada kenyataan. Walaupun ini jalan utama yang menghubungkan Kabul dengan Bamiyan, kendaraan sangat langka. Dua jam duduk di sini, aku cuma menghitung hanya tiga mobil lewat.
Sepuluh menit menunggu, satu mobil melintas. Dokter itu bergegas menyetopnya, mencoba bernegosiasi dengan sang sopir. Belum lagi dia selesai, dari belakang tampak mobil lain datang. Sang dokter kehilangan konsentrasi. Begitu dia menoleh ke arah mobil di belakang, sopir mobil pertama langsung tancap gas kuat-kuat, kabur secepat-cepatnya. Sedangkan mobil kedua sama sekali tak sudi untuk sekadar berhenti.
Kami kembali ke kesunyian padang.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Leave a comment