Selimut Debu 49: Melihat Islam dari Mata Pashtun (1)
“Dalam Islam ada lingkaran. Dan kita tidak bisa keluar dari lingkaran itu,” kata Amin tegas.
Lelaki Pashtun di hadapanku ini berusia 33 tahun, dan telah melewatkan 29 tahun usianya di Pakistan. Dia pernah menjadi pengungsi, tapi dia tidak mau disebut sebagai pengungsi. Dia bicara bahasa Inggris teramat fasih, tapi dia menuding orang-orang Barat sebagai biang keladi dari masalah-masalah di negeri ini. Dan Amin sangat menghormati Taliban, yang dianggapnya sebagai Muslim terbaik.
Dulu Amin tinggal di daerah Mohmand Agency, bagian tribal area dari provinsi NWFP (North West Frontier Province) di Pakistan. Amin menolak menyebut daerah itu sebagai wilayah Pakistan. Dia selalu menggunakan istilah Pashtunistan, dan menganggap wilayah yang didominasi bangsa Pashtun itu adalah bagian dari Afghanistan. Nenek moyangnya berasal dari daerah Kandari, yang ada di sisi Pakistan maupun Afghanistan. Itulah sebabnya, Amin punya paspor kedua negara sekaligus.
Amin mengizinkanku menginap di rumahnya malam ini. Ada sebuah kamar khusus untuk tamu. Dalam tradisi Pashtun, para perempuan di rumah tidak boleh terlihat oleh lelaki asing. Karena itu, kamar bagi tamu selalu terpisah dari rumah utama.
Diskusi kami tentang Islam bermula ketika aku berbicara tentang Putri Indonesia yang bertanding dalam ajang Miss Universe, dan setuju untuk memakai bikini dalam lomba busana renang.
“Kamu beruntung, kamu punya kecantikan di negerimu,” komentar Amin.
Ini komentar yang bukan sepenuhnya memuji, karena Amin melanjutkan kalimatnya. “Di negeri kami, kecantikan perempuan bukanlah untuk ditunjukkan, karena itu tidak ada kecantikan di Afghanistan. Karena kami semua mengikut Islam. Dalam Islam ada lingkaran, dan kami tidak bisa keluar dari lingkaran itu.”
Mengenai lingkaran itu, ia menjelaskan lebih lanjut. “Islam mengatakan,”—Amin selalu menggunakan dua kata ini untuk mengawali kalimat-kalimatnya, menjadi tameng dari setiap argumennya, “adalah kewajiban para lelaki untuk menyediakan apa pun yang dibutuhkan oleh perempuan. Apa pun. Makanan, pakaian, kosmetika, apa pun yang mereka inginkan. Jadi tidak ada perlunya perempuan bekerja di luar. Tidak ada perlunya mereka keluar rumah.”
Di mata Amin, perempuan yang bekerja di luar rumah sudah melanggar aturan agama, karena para lelaki diciptakan sebagai penyedia dan pelindung.
“Bagaimana jika suami perempuan itu mati?”, tanyaku.
“Maka perempuan itu menjadi tanggung jawab sanak saudaranya yang laki-laki,” jawab Amin. “Dan jika perempuan itu tidak punya saudara lagi, maka barulah perempuan itu diizinkan bekerja.”
Hal ini sebenarnya cukup jamak di negeri perang seperti Afghanistan. Banyak lelaki yang tewas di medan perang atau terkena ranjau atau serangan bom atau roket, dan perempuan yang biasanya berada di bawah lindungan para lelaki tiba-tiba menyadari mereka harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Tetapi banyak dari para perempuan Afghan yang tidak mempunyai kemampuan atau pendidikan yang cukup untuk hidup mandiri. Banyak dari mereka yang terpaksa menjadi pengemis di jalanan.
Amin sangat religius. Buktinya? Dia tidak pernah menunjukkan istrinya kepada lelaki mana pun. Pernah sekali seorang temannya dari Jerman, teman yang sangat baik, bertanya apakah mungkin untuk bertemu dengan istri Amin. Ini adalah permintaan yang sangat wajar di negeri lain. Tetapi buat Amin, jawabannya jelas: NO.
“Jangan khawatir, aku akan memuji istrimu kalau dia cantik,” kata orang Jerman itu.
“Kalaupun aku setuju, anakku, saudara-saudara lelakiku, bahkan putraku tak akan setuju dengan hal itu,” kata Amin. Tidak ada seorang pun dari keempat anak Amin yang berusia lebih dari sepuluh tahun.
Penolakan untuk menunjukkan istri kepada lelaki lain dianggap sebagai bagian dari agama. Itulah salah satu “lingkaran dalam Islam” yang disebut-sebut Amin.
“Tidak apa perempuan keluar rumah,” kata Amin, “tapi mereka harus memakai burqa. Atau setidaknya purdah.”
Burqa adalah cadar Afghan yang populer, menutup seluruh tubuh perempuan termasuk wajah dan mata mereka. Sedangkan purdah menutup seluruh wajah pemakainya kecuali mata.
Sebagaimana yang kupelajari dari Islam di Indonesia, aurat perempuan tidak termasuk menutup wajah. Karena itu, jilbab seharusnya sudah cukup. Bukankah dalam Qur’an pun tertulis demikian?
Amin menolak definisiku. “Tidak. Perempuan hanya diizinkan menunjukkan wajah mereka saat bersembahyang. Ketika mereka sembahyang, jilbab tidak menutup wajah mereka. Tetapi ketika mereka keluar, mereka harus memakai burqa untuk menutup wajah mereka sepenuhnya. Itu yang dikatakan dalam Qur’an Karim. Kamu masih belum cukup belajar tentang Islam.”
Amin berkisah, suatu ketika Nabi Muhammad berjalan di jalanan dengan anak perempuannya. Si anak perempuan menatap pada wajah seorang pengemis laki-laki yang buta. Nabi berkata, “Wahai anakku, mengapa kau melakukan hal itu?” Si putri beralasan pengemis itu buta, sehingga tidak bisa menatap wajahnya. “Itu tidak adil, putriku,” kata Nabi, “dia memang buta, tapi kau tidak buta.”
Pesan moral dari kisah ini, Amin menggarisbawahi, adalah terlarang untuk melihat lawan jenis.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
wow…
wow…
numpang share ya mas……
Itulah islam yg sangat menghormati wanita…..!!
ku suatu saat akan kesana juga seperti Ko Agustinus…….