Selimut Debu 50: Melihat Islam dari Mata Pashtun (2)
Langit telah gelap. Wajah dan bayangan Amin berkedip-kedip diterpa sinar lampu petromaks. Pada kegelapan dan keremangan ini, dia melanjutkan ulasannya mengapa pemisahan lawan jenis begitu penting dalam konsep agama.
Amin memberikan sebuah contoh. “Islam bilang,”—lagi-lagi Islam bilang, “perempuan terlalu cantik untuk pergi ke pasar untuk membeli kosmetik. Kalau dia memakai kosmetik, dia akan mengundang perhatian para lelaki, dan para lelaki akan ingin mendapatkannya, dan terkadang memakai kekerasan.”
Itu artinya, kalau perempuan diperkosa, maka itu kesalahan si perempuan karena terlalu menarik? Dan bukannya salah para lelaki yang tidak bisa mengontrol nafsu mereka?
Amin tidak menyangkal. Alih-alih, dia membuat perumpamaan lain. Dia mengambil sebuah permen dari piring kecil di samping poci teh.
“Lihat permen ini. Jika aku suka permen ini, maka aku akan berusaha mendapatkannya. Secara legal ataupun ilegal. Paham?”
Aku menggeleng. “Dan mengapa cara ilegal diperbolehkan? Kamu hanya boleh mengambil permen yang secara legal adalah milikmu. Ada hukum yang melindungi.”
Dia membuat perumpamaan lain.
“Kalau kau punya uang banyak, dan aku minta uangmu. Apakah kau beri?”
“Tidak,” jawabku.
“Maka aku akan membunuhmu,” kata Amin tegas.
“Tapi itu adalah uangku. Mau memberi atau tidak, itu adalah hakku.”
“Kenapa kau tidak berbagi?”
Tampaknya konsep “hak dan kewajiban” sangat kuat dalam pikiranku. Dalam nilai-nilai inilah aku dibesarkan di Indonesia. Tapi konsepku tidak sama dengan konsep Amin. Segala sesuatu yang bebas berkeliaran, bisa dimiliki oleh semua orang (lelaki) yang menginginkan. Dalam hal ini termasuk perempuan.
“Kamu tahu AIDS? Sampai sekarang tidak ada vaksin untuk mencegah AIDS. Tapi Islam kita yang suci punya cara yang paling manjur,” kata Amin. Dan itu adalah melarang hubungan antara lelaki dan perempuan, yang akhirnya mencegah terjadinya hubungan seksual di antara keduanya. “Buktinya,” kata Amin, “jumlah penderita AIDS di negara-negara Muslim sangat rendah. Coba kamu bandingkan dengan Barat!”
Dalam pandangannya tentang Islam, bahkan kontak mata antar lawan jenis adalah dosa, karena ini akan membawa menuju zina.
Aku berkata, burqa hanya ada di Afghanistan, dan purdah juga tidak populer di negara-negara Muslim seperti Indonesia dan Malaysia. Aku melihatnya sebagai perbedaan interpretasi antara Muslim di berbagai negara.
“Tidak!” Amin tegas membantah. “Islam hanya ada satu. Aturannya semua sama. Quran suci kita mengatakan, bakal ada 73 golongan di antara orang beriman, namun hanya satu yang di jalan yang benar.”
“Dan itu adalah Muslim Afghan?” tanyaku.
“Aku tidak bisa menjamin untuk semua Afghan.”
“Lalu siapa yang paling mendekati Muslim yang benar?”
Dia mengatakan, hanya orang-orang berbahasa Pashto di bawah pemerintahan Taliban yang mengikuti jalan Islam. Dia memandang rendah orang-orang berbahasa Dari. Para penutur bahasa Dari telah keluar dari lingkaran, katanya, karena para perempuan mereka ada di mana-mana.
Di Afghanistan, orang dibeda-bedakan berdasarkan bahasa yang mereka ucapkan. Dari dan Pashto adalah dua bahasa nasional Afghanistan. Penutur bahasa Dari terdiri dari Tajik, Hazara, dan Persia. Sedangkan penutur bahasa Pashto adalah orang-orang Pashtun.
Aku merasakan sukuisme yang kuat, bahkan berlebihan. Tadi dia menyesalkan aku belajar bahasa Farsi (Dari) dan bukannya Pashto. Dia mengatakan bahasa Dari adalah bahasa yang feminin, bahasa perempuan (kata “perempuan” di sini berkonotasi negatif, saat mengucapkannya, nada bicara Amin menyiratkan rasa jijik). Pashto disebutnya sebagai bahasa kaum lelaki.
Amin menyatakan bangga, bangsa Afghan termasuk dalam dua bangsa kuat yang disebut oleh Adolf Hitler (bangsa satunya tentu saja Jerman). Padahal setahuku yang disebut oleh Adolf Hitler itu adalah bangsa Arya, dan ini utamanya adalah orang-orang Persia berbahasa Farsi, juga orang di India utara yang berkulit putih.
Kembali soal masyarakat Muslim di bawah Taliban, dia mengatakan masyarakat Muslim yang paling ideal adalah masyarakat Syariah di bawah kepemimpinan Nabi dan Khalifah, 1500 tahun lalu. “Kita mengikuti cara Islam. Apabila seseorang mencuri, maka tangannya harus dipotong, sehingga orang tidak berani lagi mencuri. Itu adalah cara yang paling adil.” Dia bukan orang pertama yang kutemui yang memuji keamanan yang dibawa Taliban pada Afghanistan. “Pada zaman Taliban, kamu tidak akan takut bepergian dengan membawa ribuan dolar, tidak ada yang merampok kamu.” Taliban berhasil menyingkirkan para perampok terkenal di Jalur Selatan dengan cara memberikan hukuman mati pada mereka, lalu kepala perampok diletakkan di sisi jalan, dan badannya di sisi jalan yang lain. Ini adalah terapi kejutan bagi calon perampok lainnya. “Sekarang, berapa banyak negara yang berusaha menerapkan hukum mereka di Afghanistan? Dan mereka semua gagal membawa keamanan ke negara ini!”
Amin bahkan melarang keluarganya menonton televisi. Aku terkejut. “Televisi itu tidak Islami?”
Amin menjawab. “Ayahku dulu berkata, kalau kamu menonton televisi, maka besok istrimu juga akan menonton televisi. Kamu dan istrimu akan menonton televisi bersama. Lalu dia akan meniru film-film televisi itu. Dia akan berdandan, dia akan keluar rumah. Itu sumber maksiat. Mereka juga akan beli kosmetik, barang yang tidak berguna, dan bukannya membelanjakan uang untuk barang-barang yang dibutuhkan keluarga.”
Bahkan mendengarkan musik pun diharamkan. “Karena kalau ada musik, aku akan menari. Lalu kau melihat aku, kau pun menari. Lalu ada perempuan yang lewat….”
Baiklah. Televisi haram. Musik pun haram, karena bisa membawa interaksi antara lelaki dan perempuan, dan hubungan ini selalu dianggap dosa, zina. Intinya, mereka ingin mempertahankan garis batas yang kuat antara kedua jenis kelamin hingga tidak ada interaksi sama sekali, dan apa pun yang membahayakan dianggap dosa.
Amin juga memendam kebencian mendalam terhadap tentara asing yang masuk Afghanistan tanpa menghormati orang Afghan. Sudah berapa kali tentara ISAF seenaknya saja menangkapi orang dan membunuh orang yang tidak berdosa. Suatu hari, dia pergi melamar kerja ke kantor ISAF. Seorang tentara Amerika yang mewawancarainya berkata, “Kamu mirip Al Qaeda.” Dia menjawab, “Kalau kamu menyebut Muslim sebagai Al Qaeda, maka iya, aku Al Qaeda.”
Tapi Amin bukan orang yang sama sekali menolak hal-hal berbau asing. Dia pernah bekerja sebagai penerjemah di kantor PBB. Teman dari luar negeri pun banyak. Jepang, Jerman, Amerika, dan sekarang Indonesia. Pandangan Amin tentang Islam mungkin tidak diterima oleh orang Afghan lainnya, atau Muslim lainnya di belahan dunia yang lain. Tapi dia yakin, jalan yang dilaluinya adalah yang paling benar. Seperti dikatakannya, di antara 73 golongan umat Islam, hanya ada satu yang benar. Manakah itu, walahualam.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
HAPPY NEW YEAR.
terima kasih mas Agus tulisannya
sangat menarik si Amin ini.
Aku setuju dgn pikiran amin ttg pelarangan kebebasan perempuan dan pemberlakuan hukum syariat islam terhadap kriminal…karena lihatlah betapa rendahnya harga diri wanita yg diberi kebebasan, dan betapa banyak maksiat yg d timbulkannya…lihat juga para kriminal yg tdk kapok2,walaupun sdh bolak balik masuk penjara..
Kamu lupa ya, Istri Pertama nabi Muhammad adalah seorang Saudagar Kaya Raya, bukan wanita yang dikekang cuma untuk urusan dapur dan kasur