Selimut Debu 68: Agama Kita Adalah Kemanusiaan
Terkadang aku lupa, ini adalah Afghanistan. Di sini tidak ada burqa, dan kaum perempuan begitu bebas bercengkerama di jalanan.
Burqa tidak dikenal dalam kamus Bakhtali. Ia masih sering keseleo lidah menyebut kata itu, ”Bur-qa atau buq-ra? Apa sih namanya?” Bakhtali hanya tahu kata chadri, padanan kata burqa yang lebih banyak digunakan di sini.
Bagi perempuan Ismaili di Wakhan, chadri sungguh adalah barang yang asing, namun terkadang mereka tak bisa menghindarinya.
Bibi Sarfenaz, misalnya, pekerja sosial di Wakhan, selalu membawa chadri ke mana-mana. Ia adalah wanita tangguh, mengunjungi rumah-rumah penduduk di Desa Kret untuk survei. Ia bekerja untuk organisasi sosial milik Aga Khan. Dengan pengalaman kerjanya yang bertahun-tahun di wilayah umat Ismaili di Pakistan, kini ia kembali bekerja di kampung halamannya di Wakhan.
“Orang Ismaili adalah pecinta kebebasan. Dan sudah seharusnya ada kebebasan terhadap perempuan, karena perempuan itu sejajar dengan laki-laki.” Bibi Sarfenaz berapi-api. Di Afghanistan, perempuan Sunni tidak pergi ke masjid. Tetapi kaum perempuan Ismaili bersama-sama dengan kaum prianya juga pergi beribadah di jemaatkhana, rumah ibadah orang Ismaili, tiga kali sehari.
“Tetapi, kami juga terkadang harus memakai burqa,” lanjut Bibi Sarfenaz, ”yaitu ketika kami pergi ke kota. Di kota banyak orang-orang Sunni. Kalau tidak pakai burqa, mereka bilang darah kami halal.” Rasa takut senantiasa membayangi, dan burqa adalah penyebab sekaligus pemecahannya. Bibi Sarfenaz punya satu burqa putih di mobilnya. Dipakai kalau dia bepergian jarak jauh dengan mobil, terutama selepas dari Ishkashim.
Bibi Sarfenaz menunjukkan kepadaku bagaimana burqa itu dikenakan. Mula-mula bagian topi dipaskan ke kepala. Bagian itu kecil, mengikat, dan menekan. Jubah putih terjuntai dari kepala hingga menyentuh tanah, mengurung si pemakainya lekat-lekat. Penutup bagian depan hanya sampai ke pinggang. Dari jaring-jaring kecil di bagian mata, si perempuan bisa mengintip dunia. Ia terkurung. Ia menjadi sosok anonim tanpa identitas. Tepat pada detik hilangnya Bibi Sarfenaz dari pandangan, berganti dengan seonggok kain putih di hadapan, aku tercekat.
“Ini bukan tradisi kami. Kami hanya terpaksa,” suara Bibi Sarfenaz terdengar dari balik selimut burqa.
”Zdravstvui tovarech! Apa kabar, Kamerad!” begitu seorang penduduk desa menyapaku di jalan dalam bahasa Rusia. Hanya kalimat itu yang ia tahu. Tovarech, kamerad, adalah istilah zaman komunis yang bahkan sudah hampir lenyap dalam komunikasi orang Rusia. Desa ini masih bergulat dalam fantasi masa lalunya, dalam bayangan merahnya komunisme.
Tajikistan, negeri impian di seberang sungai, pernah hidup di bawah komunisme. Di mata Bibi Sarfenaz, komunis juga tidak ada buruknya, ”Lihat Tajikistan. Di sana perempuan juga bekerja. Tidak perlu burqa macam di sini.”
Perempuan-perempuan Wakhan bukannya tidak bekerja. Aku justru melihat mereka lebih aktif daripada kaum lelakinya. Sepanjang hari kulihat laki-laki desa duduk-duduk di pinggir jalan, atau berkeliling desa dengan bergandeng tangan mesra, atau mengisap candu macam Bakhtali. Sedangkan kaum perempuannya, bukan hanya memetik rumput, memanen gandum, mengayak tepung, dan memanggang roti, mereka juga tidak segan bergulat dengan semen untuk membangun pagar atau dapur, berkotor-kotor dengan tahi sapi untuk dijemur di atap rumah, disambung menyalakan api untuk merebus bahan pewarna untuk benang-benang yang baru dipintal. Sambil bekerja mereka juga menyusui bayinya, terkadang bahkan dilakukan di tengah jalan.
Di seberang sungai sana, ada Tajikistan, yang dipercaya sudah sangat modern. Ada komunisme yang katanya membawa kebebasan. Ada sosialisme yang katanya membawa kemakmuran bagi semua orang. Penduduk desa tahu dengan jelas—walaupun belum pernah ke sana—bahwa Tajikistan adalah negeri yang sempurna.
Tajikistan, komunisme, sosialisme, semuanya itu cuma mimpi. Sekarang yang berkibar adalah bendera tiga warna Republik Islam Afghanistan. Di negeri ini, umat Ismaili adalah orang pinggiran. Orang Syiah bilang, Ismaili sudah bukan bagian dari Syiah. Orang Sunni bilang, Ismaili sama saja dengan semua orang Syiah, sesat.
“Bagi kami yang paling penting adalah insaniat. Kemanusiaan. Semua manusia, apa pun agamanya adalah sama. Agama itu letaknya di dalam hati,” begitu ucapan Shah dari Panja. Insaniat, kemanusiaan, adalah prinsip dasar Ismaili. Umat diajarkan untuk mencintai sesama manusia tanpa melihat apa pun suku dan agamanya.
Walaupun ini tanah yang miskin dan terbelakang, tapi pandangan mereka sungguh jauh ke depan. Penduduk desa sepanjang Koridor Wakhan, tidak pernah sekali pun—tidak barang sekali—bertanya apakah aku Muslim. Mereka tidak pernah bertanya apa agamaku. Padahal pertanyaan tentang agama hampir selalu menjadi pembuka pembicaraan di Afghanistan.
Seorang kakek tua dari Kret, begitu melihatku, langsung mengawali percakapan dengan pertanyaan, ”Berapa tahun kamu sekolah? Bapak ibu kamu masih hidup?”
Baginya, pendidikan dan keluarga jauh lebih penting daripada apa agamaku. Walaupun di sini tak ada sekolah, orang-orang tak bisa baca tulis, bahkan umur sendiri pun tak ada yang tahu, tetapi mereka mendambakan pendidikan, seperti yang dinikmati orang-orang dari seberang sungai sana.
Orang-orang Wakhan, para penganut Ismaili ini, juga tidak berambisi untuk pergi ke Mekkah untuk naik haji. Bagi mereka, membantu musafir yang kelaparan jauh lebih berarti daripada membayar mahal-mahal pergi ke luar negeri. Ada rasa kemanusiaan yang dalam yang kurasakan dari penduduk desa ini. Mereka memang tak punya uang, tetapi mereka punya kasih sayang.
Teh, roti, dan genangan nasi berminyak selalu disajikan dengan ketulusan. Tak pernah sekalipun orang-orang ini meminta bayaran akan keramahtamahan mereka. Aku sering jadi malu sendiri, karena aku juga tak punya apa-apa untuk membalas kebaikan mereka.
”Tashakor. Zahmat dadam. Muftah khordam,” aku selalu mengakhiri undangan mereka dengan terima kasih yang dalam, dan minta maaf karena banyak merepotkan dan sudah makan gratis.
Tak apa, sudah kewajiban, begitu jawab mereka.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Seandainya ormas keagamaaan di Ind mau berkaca pada mereka…
what a strong pic Gus, itu di kota apa? lagi bersihin clay tandoor? atau menambang?
setuju…agama yang sesungguhnya adalah kemanusiaan…saling tolong menolong, menerima Orang lain apa adanya, menghargai antar sesama…itulah sifat yg utama, bukan formalitas2 berdasarkan dogma2 zaman batu…
dalam Islam, Akhlak, Aqidah dan ibadah adalah satu kesatuan…. prinsipnya adalah hablumminnalloh (hubungan dgn Allah ) dan Hamblumminannas (hubungan dengan manusia) …. Ketimpangan dalam menjalankannyalah yg mendapat ancaman yaitu dosa dan neraka… seorang muslim yg kuat beribadah tapi tidak peduli dengan realita sekitarnya dipandang salah besar dan sebaliknya juga seorang muslim jika lebih mengutamakan dunia tapi menyepelekan ibadah juga salah besar… Bagi seorang muslim sejati, ada pertanggungjawaban kelak terhadap tingkah laku selama di dunia dihadapan Allah SWT kelak di hari Akhir, Makanya tujuan risalah kenabian Muhammad SAW itu pertama membenarkan akhlak manusia dan tata cara beribadah kepada Allah….semua mesti seimbang, tidak boleh timpang….. Ini konsep Islam sebenarnya… tidak meninggalkan kesolehan sosial dan kesolehan spiritual… Suatu negeri muslim diberkahi dengan kedamaian dan kemakmuran berlimpah apabila berhasil menjalankan konsep ini secara berimbang. Kenyataannya banyak negeri Islam sekarang gagal menjalankan itu, karena umatnya gagal menerapkan konsep ini.
Agama bukan kemanusiaan. Tapi di dalam agama ada kemanusiaan. Termasuk dalam islam.
Kearifan lokal juga masih jamak dijumpai di pelosok negeri Indonesia dan mereka dilatar belakangi agama yang berbeda.
Hampir semua agama mengedepankan aspek Ketuhanan (bahkan hampir semuanya menyebutkan nama Tuhannya bahkan untuk yang PolyGod sekali), kemanusiaan adalah bagian dari konsep ketuhanan. Agama Ismaili adalah Kemanusiaan apakah artinya Tuhan nya orang Ismaili adalah Kemanusiaan?
Perjalanan dan Pengalaman yang luar biasa, menginspirasi…
Ditunggu terus tulisannya…
Salam kenal..
kok makin lama tulisanya makin menyudutkan ya, baca terus mungkin ya kali penulisnya dapet hidayah tinggal orang afghanistan yang baik budiman akhlahknya, pemeluk islam taat tapi bukan jenis taliban, bukan mainstream, bukan fundamentalis, bukan yang berfikir terbelakang jadi penulis bisa lebih mengenal islam yang sesungguhnya dengan baik dr perjalanan panjang di afghanistan, mungkin telat juga sih tau ini blog, tertarik karena latarnya afghanistan, keep reading mau nunggu moment tulisan yang disebutin diatas ^^
Lhah jika memang orang afghan memang budayanya seperti itu mau gmana lagi mbak? Ini kan reportase, kalo mau pemanis bibir ya baca buku anaknya amin rais saja. Lagipula sebagai org indo memang mbak mau tba2 kmana2 disuruh pake burqa kayak org afghan? Kalau saya sih, no
Anda sudah pernah berkunjung ke Afghan?
Belum.
Merasa lebih tau kehidupan Islam di Afghan?
Iya.
Bangun. Sadar. Ngaca. Hidup bukan cuma utopia di dalam batok kepala kamu. Kesana sendiri, lihat sendiri, dengar sendiri, baru nilai Islam seperti apa yang mereka anut.
Ngomongnya biasa aja kali bro’…gak usah ngegas gitu..sampean juga belum tentu pernah ke afghan sana…
Jika suka dibaca, klo gk suka jangan membaca. Gitu aja kok repot
Pengen tau aja orang afganistan makan nasi darimana berasnya? Apakah mereka menanam padi jg?