Selimut Debu 75: Mantan Komunis
Wakhan masih memimpikan datangnya kemajuan peradaban menjamah lembah pegunungan. Namun sesungguhnya Afghanistan adalah negeri tua di mana peradaban mulai berayun, berputar, berjalan. Kota-kota kuno tegak, kejayaan masa lalu berpendar, kehidupan spiritual berbaur dengan adat dan embusan napas penduduk.
Umm-al-Belad, Ibunda Semua Negeri, demikian orang Arab menjuluki kota tua Balkh di utara Afghanistan. Umurnya sudah lebih dari 3.000 tahun. Kota ini dulunya dipenuhi kuil-kuil megah untuk dewa-dewi Zoroaster, agama kuno pemuja api dari Persia. Iskandar Agung menjadikannya sebagai benteng setelah ia menaklukkan kota terakhir Persia yang semula bernama Baktria ini. Di awal-awal Masehi, kota ini bertabur kuil Buddha yang berhiaskan zamrud dan permata, bahkan menjadi pusat ziarah umat Buddhis seluruh dunia. Hingga pada abad ke-7, Islam datang, dan menjadikannya pusat peradaban yang melahirkan pujangga dan filsuf kelas dunia.
Sekarang, Balkh adalah kota kecil yang terlupakan, terbungkus selimut debu jalanan.
”Khaak!” seru Khan Agha Arvin di dalam mobil kecil yang kami tumpangi, ”Tutup jendelanya rapat-rapat!”
Gilasan ban mobil melintasi jalan tak beraspal yang penuh bulir lempung halus langsung menyemburkan badai debu ke sekelilingnya. Naik mobil di Balkh hanya ada dua pilihan—kepanasan akibat teriknya matahari dalam kendaraan berjendela tertutup atau bermandi debu. Di antara dua opsi buruk, kami memilih yang pertama.
Ada lima lelaki di kendaraan kami, sebuah taksi yang disewa Arvin Agha, untuk mengunjungi semua tempat ziarah yang bertaburan di kota kuno Balkh. Arvin, 47 tahun umurnya. Tubuhnya kurus namun kekar. Kumisnya lebat, tak berjenggot. Garis wajahnya keras, kaca matanya tebal. Ia mengenakan shalwar qamiz putih bersih, dipadukan dengan rompi mahal berkualitas, sementara tangannya tak pernah berhenti memutar tasbih. Di puing reruntuhan Benteng Bala Hissar, kami memandang dataran yang terbentang di segala penjuru. Debu tebal mengepul, menenggelamkan semua makhluk yang melintas. Kaum peziarah rela berjalan berkilometer jauhnya menuju tempat ini untuk menunaikan ziarah di puncak bukit. Dari puncak, kita dapat melihat panorama amat permai: lembah hijau terhampar dan sungai kecil bergemercik.
”Di sini dulu aku menaruh pasukanku. Aku membagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok di sini, satu kelompok lagi di sana, satunya lagi di belakang benteng sana. Kemudian musuh datang dari arah sana. Kami punya persenjataan lengkap dan kami pantang menyerah. Oh iya, yang di sana itu adalah pos kami. Di belakang batu ini, aku dulu pernah berlindung, sementara musuh terus menembaki dari arah bawah. Pasukan kami…. Ah, betapa kompaknya. Musuh mana pun pasti gentar.”
Bala Hissar, sekarang tak lebih dari sebuah lapangan datar dan luas di atas bukit yang berbentuk seperti meja. Konon benteng ini sudah ada sejak zaman Dinasti Kushan mendirikan patung Buddha Bamiyan. Dinasti Timurid pernah membangunnya, benteng ini pastilah pernah teramat megah dan kokoh. Namun sekarang, tempat ini adalah tanah kosong yang setiap kali angin menerpa, debu halus beterbangan mengaburkan pandangan. Sejak kedatangan bangsa barbar Mongol yang tega meluluhlantakkan semua peninggalan peradaban dan membantai umat manusia, Balkh tidak pernah benar-benar kembali lagi ke masa kejayaannya.
Pertempuran terus berlanjut hingga milenium berganti milenium. Bangsa demi bangsa bergantian menaklukkan Balkh. Balkh tetap menjadi medan perang manusia dari berbagai zaman dan dinasti. Dua belas tahun lalu, Arvin Agha sudah menjadi komandan batalion dari 400 tentara. Musuh utama Arvin adalah kaum Mujahiddin yang berusaha merongrong kekuasaan pemerintahan Najibullah. Mujahiddin adalah gerakan perlawanan yang muncul dari pelosok Afghanistan untuk melawan invasi Uni Soviet dan pemerintahan komunis Afghanistan.
Masa lalu komunisme justru sangat lekat di hati Arvin yang pernah dapat beasiswa belajar di Moskow. Uni Soviet kala itu berusaha keras mendapat simpati dari generasi muda Afghan, mencipta kader-kader prokomunis dengan menawarkan pendidikan bermutu di berbagai negara blok Timur. Bahasa Rusia Arvin masih cukup fasih.
”Kamu boleh belajar berbagai bahasa, tetapi ada dua kata yang tak boleh kamu lupa, yaitu krasivaya devushka,”—gadis cantik dalam bahasa Rusia—“Sekarang aku sedang belajar bahasa Prancis, dan pelan-pelan kosakata bahasa Rusia pun terhapus dari ingatan. Tetapi aku tak mau kelupaan dua kata itu, krasivaya devushka. Ah, betapa cantiknya….”
Gadis-gadis Rusia yang cantik selalu terbayang dalam benak Arvin. Ia pernah punya banyak pacar, dan masa belajarnya di Moskow begitu indah. Ia pun pecinta vodka dan anggur. Sebaliknya, ia tak suka dengan pria Rusia yang ”dingin seperti tank”, ”tak pernah tersenyum”, dan ”tak bersahabat”.
Aku bertanya apakah Arvin juga masih mengidolakan ajaran-ajaran komunis.
”Aku bukan komunis,” jawabnya, ”Aku ini Muslim!”
Entah apakah dua belas tahun lalu Arvin mengatakan kalimat yang sama. Yang jelas, sekarang ia berusaha menemukan kembali jati dirinya. Salah satu buktinya adalah tasbih hijau yang terus berdetak di antara jari-jarinya, tak pernah berhenti diputarnya meskipun ia sedang bicara atau mendaki perbukitan.
”Aku sekarang lebih tekun mempelajari Islam. Islam adalah agama yang indah, sempurna. Aku belajar jadi Muslim yang baik dan taat, karena aku sekarang menyadari betapa indahnya dunia spiritual itu.”
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Apa ada rencana menulis buku baru Mas Agustinus Wibowo ??
Kan perjalanan di Asia tenggara dan Cina Timur blm dibukukan
cakep mas agus, kasian banget kota kuno yang terlupakan,