Titik Nol 57: Kawan Lama
Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis.
Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi.
Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura.
Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional konon sanggup memanggul kerbau. Galon air dan besi bangunan pun bisa dipanggul di punggung, bertumpu pada kepala mereka yang kuat. Kaum perempuannya pun sangat perkasa, di hari-hari biasa selepas bekerja di ladang, mereka merokok sambil bercengkrama melewatkan hari.
Lapangan terbang Dusun Humde terhampar di tanah lapang, diapit gunung tinggi. Sukar membayangkan bagaimana pesawat bisa mendarat di sini, bermanuver di antara tebing curam bak tembok yang menggapai angkasa. Di seluruh lintasan Sirkuit Annapurna, ada dua lapangan terbang lokal. Satu di Humde, satunya lagi di Jomsom, beberapa puluh kilometer setelah turun dari Puncak Thorung La. Penerbangan Annapurna cukup populer di kalangan turis. Rutenya hanya sampai ke Pokhara. Yang lebih umum adalah Pokhara – Jomsom, ada penerbangan setiap hari. Sedangkan Pokhara – Humde hanya kadang-kadang saja, walaupun semestinya penerbangan ini sangat dibutuhkan oleh para pendaki yang sakit parah.
“Tak ada pilihan lagi,” kata seorang pria dalam rombongan turis Israel, pasukan ‘jalan mundur’ yang gagal mencapai puncak Thorung La, “kawan kami ini sudah sakit parah. Kami sudah mencoba beristirahat di Manang berhari-hari, tetapi tak sembuh penyakitnya. Terpaksa kami harus mundur lagi, berjalan seminggu lagi untuk balik ke Besisahar.”
Membayangkan harus membalik perjalanan yang sudah ditempuh sejauh ini sungguh menyeramkan. Lintasan di sekeliling Annapurna lebih mudah ditempuh berlawanan arah jarum jam, dari Pokhara menuju timur, lewat Puncak Thorung La, turun ke Jomsom, lalu kembali ke Pokhara. Kalau ditempuh dari arah sebaliknya, banyak tebing tinggi yang harus didaki dan lereng curam yang harus dituruni. Bukankah kalau sudah sakit begini lebih baik naik pesawat saja langsung dari Humde menuju Pokhara?
“Kami sudah menunggu empat hari di Manang,” keluh si turis Israel, “tetapi sama sekali tak ada pesawat. Katanya penerbangan berikutnya baru ada setelah delapan hari lagi, itu pun penerbangan khusus dengan tarif 1200 dolar. Tak ada jalan lain, kami harus menapaki jalan yang sama seperti yang telah kami gapai dengan susah payah. Sungguh menyakitkan rasanya.”
Orang-orang Israel itu memang kurang beruntung, karena di hari yang sama, saya berjumpa dengan Nef, si backpacker Indonesia yang urung berangkat dari Besisahar karena sakit.
“Gus!!!” pundak saya ditepuk pria berkaus merah itu. Saya sampai terloncat.
“Nef!!! Bagaimana bisa sampai di sini?”
Hari itu, ketika saya dan Keith mulai perjalanan mendaki, Nef kembali ke Pokhara dengan bus. Di kota tepi danau itu dengan memandangi puncak barisan gunung salju, Nef memulihkan kembali kesehatannya. Hatinya sempat diliputi kegalauan, karena rencananya berjalan-jalan di Nepal jadi amburadul gara-gara sakit ini.
Tak semua orang bisa seberuntung Nef. Ia berhasil mendapat karcis pesawat kecil dari Pokhara menuju Humde.
“Jadwal keberangkatan tidak pasti. Kalau tidak berangkat hari itu, mungkin malah bisa tertunda tiga atau empat hari lagi.”
Nef punya setumpuk rencana jalan-jalan. Selain melihat Nepal, dia juga harus sesegera mungkin berwisata di India karena visa Indianya sudah hampir habis. Visa negara itu memang aneh, dihitungnya bukan dari tanggal masuk pemegang visa ke India, tetapi sejak visa itu dikeluarkan dari Kedutaan India di Jakarta. Alhasil, Nef harus kalang kabut mengejar jadwal.
Tiga hari tertambat di Pokhara, akhirnya Nef jadi berangkat juga ke Humde. Dalam setengah jam perjalanan di udara, Nef langsung diangkut menuju sebuah dunia lain di awang-awang. Dari kota Pokhara yang hanya berapa ratus meter di permukaan laut, Nef sampai di Humde, ketinggian tiga ribu meter lebih. Efeknya, seperti diduga, tubuh Nef langsung lemas dan kepalanya pusing. Hampir pasti ia kena Acute Mountain Sickness gara-gara berpindah ketinggian secara drastis.
Di tengah kepusingannya di Humde, tiba-tiba ia melihat Keith yang masih segar bugar berjalan dari titik awal. Mereka berdua berjalan sampai ke Manang, di mana Nef langsung lemas lagi. Bukan hanya karena pusing di tempat tinggi yang kurang oksigen, Manang juga desa yang dingin untuk ukuran orang Indonesia yang sudah memakai jaket tebal berlapis-lapis sekali pun.
Dalam keadaan terjepit di Manang – balik tak mungkin karena tak ada pesawat, dan maju ke depan pun sudah ada puncak setinggi 5400 meter menanti, Nef memilih untuk tetap bertahan mengumpulkan serpihan kekuatan.
“Manusia enggak ada apa-apanya dibandingkan alam yang maha luas itu, di hadapan gunung-gunung tinggi bersalju itu…”
Bendera doa warna-warni orang Tibet yang bertuliskan mantra suci berkibar-kibar di hadapan gunung salju Annapurna III. Puncaknya berwarna emas, diterpa matahari senja. Di hadapan gunung raksasa ini, manusia memang hanya sebuah noktah tanpa arti.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 21 Oktober 2008
Leave a comment