Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau
Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini.
Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah.
Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”).
Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari jam itu, para anjing jadi malas.
Afghanistan sudah mendapat pelatihan pembersihan ranjau sejak 20 tahun lalu, ketika masalah ranjau mulai menjadi momok di negeri berkecamuk perang ini. Ketika penggunaan anjing pertama kali diperkenalkan dalam tugas pembersihan ranjau, anjing didatangkan langsung dari Amerika. Tetapi anjing Amerika ternyata kurang cocok untuk medan Afghanistan. Kemudian didatangkanlah anjing terlatih dari Jerman. Para pembersih ranjau Jerman ini kemudian juga memberikan pelatihan kepada orang Afghan. Sekarang justru Afghanistan telah menjadi pakar dalam hal pembersihan ranjau, dan memberi pelatihan kepada negara-negara perang lainnya di Timur Tengah dan Afrika.
Detektor logam yang digunakan diimpor langsung dari Eropa, terutama Italia. Alat ini bekerja dengan baterai. Setiap petugas survei mendapat sebuah koper yang penuh dengan suku cadang alat ini, plus jaket dan helm keselamatan.
Ada beberapa jenis peledak yang harus ditangani. Bom atau ranjau menjadi aktif apabila bagian yang disebut safety pen ditarik. Bom jenis ini dapat meledak kapan pun setelah diaktivasi. Proses aktivasi bisa menggunakan berbagai jenis rangsangan yang berbeda, bisa berupa tekanan atau berat. Ranjau menggunakan stimulus berat, artinya kalau kita melangkah di atas ranjau maka ranjau teraktivasi dan akan meledak. Beberapa jenis bom diaktifkan dengan listrik, timer, dan remote control. Misalnya bom dahsyat yang meledak di Kuta, Bali.
MCPA dan MDC adalah organisasi di bawah PBB, tepatnya di bawah badan United Nations Mine Action Center for Afghanistan (UNMACA). Keduanya mendapat dukungan dari negara-negara Eropa. Pelaksanaan tugas mereka mengikuti petunjuk dari kantor pusat di Kabul. Gaji para staf di medan berbahaya ini dihargai cukup tinggi dalam standar lokal Afghanistan tetapi masih teramat murah dibanding nilai nyawa mereka, sekitar US$ 400 sebulan. Moto kerja mereka adalah: less talk, more actions.
Pembersihan ranjau di area patung Buddha Bamiyan dikerjakan berdasar laporan staf UNESCO yang bekerja dalam pemeliharaan dan rekonstruksi situs bersejarah ini. Ada beberapa penduduk Bamiyan di sekitar patung Buddha yang menjadi korban ranjau, sehingga UNESCO mengajukan permintaan pembersihan ranjau demi keamanan penduduk dan pekerja mereka. Korban yang dilaporkan adalah seorang lelaki berusia 30 tahunan yang harus diamputasi kakinya setelah menginjak ranjau, dan setelah itu tidak bisa bekerja apa-apa, hanya terbaring di rumah. Juga ada beberapa hewan ternak yang menjadi korban. Jatuhnya korban baik manusia ataupun hewan adalah pertanda keberadaan ranjau.
Seorang profesor Jerman yang bekerja untuk UNESCO di daerah Patung Buddha Besar datang menemui Wais. Dia meminta tim pembersih ranjau untuk mendahulukan pembersihan di daerah patung Buddha, karena para pegawai konstruksi (yang berhelm warna kuning) baru saja menemukan ranjau aktif di antara bebatuan reruntuhan patung. Ini artinya, kemungkinan masih ada ranjau lain yang tersembunyi. Semua pekerja jadi cemas.
Wais menggeleng-geleng kepala. “Tidak semudah itu,” katanya, “ada prosedurnya.”
Tim pembersih ranjau hanya boleh melakukan survei di daerah yang telah dipetakan. Profesor Jerman itu terus mendesak Wais untuk mengabulkan keinginan mereka. Wais hanya bisa menghubungi atasannya di Kabul yang bernama Mr. Kayumi via telepon. Atasan dari Jepang itu akhirnya setuju untuk mengirimkan tim lain ke Bamiyan untuk melakukan survei. Profesor Jerman itu pun pergi dengan wajah puas.
Waktu makan siang adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Itu artinya, nyawa mereka masih menyambung lagi selama sehari ke depan. Menu makan siang mereka punya ritme jelas: satu hari daging, satu hari vegetarian. Selalu ada nasi dan roti, plus yoghurt dingin yang dicampur air. Setelah makan siang, mereka tidur siang. Semua orang tidur siang setelah sembahyang. Seragam digantung di dinding, mereka kembali jadi orang biasa.
Ketika matahari berkurang kegarangannya, tibalah waktu bersuka ria. Para pembersih ranjau ini adalah orang dari luar Bamiyan, dan mereka juga ingin berpiknik di lembah Hazara yang indah ini. Aku ikut jip mereka yang menuju Ajdahar, sekitar 8 kilometer ke arah Yakawlang. Sepanjang perjalanan mereka memutar kaset lagu tradisional Afghan yang mereka sewa dari pasar. Kualitas rekamannya buruk sekali, sampai suara batuk penonton juga masuk dalam rekaman. Tapi itu tidak menyurutkan keriangan mereka. Sepanjang jalan mereka bersenda gurau dan tertawa, dengan topik pembicaraan favorit: jijig.
Ajdahar adalah barisan bukit berbentuk aneh, konon adalah seekor naga yang dibunuh oleh pedang Ali bin Abi Thalib—menantu sekaligus sepupu Nabi Muhammad. Naga ini dulu selalu merongrong penduduk Bamiyan, dan Ali berhasil membelah tubuh naga menjadi dua bagian. Sekarang badan naga raksasa ini teronggok di Lembah Ajdahar. Untuk naik ke puncaknya, kita harus mendaki bukit curam. Bukit ini memanjang, dan bagian puncaknya tak lebih dari semeter lebarnya. Di kiri jurang, di kanan jurang. Di ujung bukit ada mata air yang menghasilkan air berwarna kuning, dipercaya sebagai air mata naga, rasanya seperti soda. Sementara di padang seberang tersebar formasi bebatuan yang bentuknya aneh, mengingatkan pada alam zaman prasejarah.
Di atas bukit yang merupakan kepala naga, ternyata kami tidak sendiri. Ada sepasang suami istri, turis dari Perancis, kemungkinan adalah pekerja sosial di Kabul. Mereka datang dengan menyewa mobil sendiri, dengan sopir khusus.
Para pembersih ranjau ini adalah para lelaki malang yang sudah berbulan-bulan terpisah dari istri (kalau punya). Yang jelas, mereka jarang melihat perempuan. Hidup memang keras, Kawan! Dan begitu melihat perempuan kulit putih tinggi semampai, teman-teman satu jip yang tadi sibuk mendiskusikan berbagai teori jijig, kini menatap si perempuan bule dengan wajah berseri-seri, dan tawa tanpa henti.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Whew…
Nice…. Amazing.
antara Hidup dan mati didepan ‘kasat’ mata
Very well written story. I love your blog and book 🙂