Selimut Debu 43: Teror di Dalam Jiwa
Kemenangan dari teror adalah ketika ketakutan itu sudah merasuk-rasuk ke dalam jiwa. Kita bahkan tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang kita takuti.
Lam Li adalah seorang jurnalis Malaysia yang sudah dua bulan ini tinggal di Kandahar, menumpang di rumah seorang sahabatnya. Lam Li malah ingin mendapat pekerjaan di Kandahar. Dia sudah mengajukan surat lamaran ke banyak organisasi, seperti PBB, ANSO, UNAMA, dan sebagainya. Bukan cuma untuk mencari kerja sebenarnya, tapi Lam Li penasaran mengetahui ada apa di balik desas-desus penyelewengan dana miliaran dolar yang dilakukan oleh organisasi-organisasi raksasa di Afghanistan itu, yang tampaknya juga tidak memberi kemajuan berarti pada negeri ini.
Begitu banyak surat lamaran yang dia kirim, tapi tidak ada balasan positif sama sekali. Dua bulan berlalu di Kandahar, hanya menunggu dan menunggu. Paspornya sampai dipenuhi stiker perpanjangan visa Afghan. Jangan lupa untuk melihat tulisan besar di bagian “Tempat Penerbitan Visa” yang berupa nama salah satu kota terseram di dunia: “KANDAHAR”.
Memperpanjang visa di Kandahar juga berarti mengalami prosedur keamanan yang khas kota ini.
Kantor Departemen Luar Negeri terletak tidak jauh dari kantor gubernur, dikelilingi tembok padat yang tinggi. Seperti halnya kantor pemerintah dan organisasi kemanusiaan penting lainnya di kota ini, tidak ada tanda-tanda sama sekali di kantor ini. Tidak ada baliho, tidak ada papan nama, dari luar kelihatan seperti bangunan rumah biasa di sekelilingnya. Hanya warga lokal yang tahu kantor apa terletak di mana. Ini juga merupakan standar keamanan yang berlaku.
Mobil yang kami tumpangi diperiksa dengan detektor logam. Semua penumpang harus keluar dari kendaraan, dan menjalani pemeriksaan badan, diraba-raba oleh para petugas. Setelah semuanya clear, mobil diizinkan melintas melewati barikade gerbang masuk menuju area parkir. Masih ada jarak yang cukup jauh untuk berjalan menuju gedung utama. Prosedur keamanan yang harus dipatuhi: gedung vital tidak boleh berdekatan dengan jalan raya, khawatir apabila ada pelaku yang melempar bom dari luar.
Anehnya, para pegawai yang bekerja di kantor sepenting ini kebanyakan adalah bocah-bocah ingusan yang kelihatannya malah berumur di bawah 20 tahun.
Seorang lelaki, mungkin karena umurnya yang masih muda, menyatakan dugaannya bahwa Lam Li (31 tahun) adalah ibuku. Lam Li langsung mencak-mencak mendengarnya.
Prosedur berikutnya adalah pergi ke kantor polisi untuk menerima slip setoran bank. Kantor polisi terletak di dekat Perempatan Syahid. Pemeriksaan di sini juga sangat ketat, apalagi kantor ini pernah menjadi target serangan bom bunuh diri ketika masih menjadi lokasi basis tentara Afghan.
Lagi-lagi, lelaki tua yang bekerja di kantor polisi mengira Lam Li adalah ibuku. Mendengar ini, Lam Li berkata lebih baik dirinya bunuh diri saja karena dia yakin dia tidak setua itu. Si petugas minta maaf dan menawari makan siang.
Prosedur berikutnya adalah membayar ke bank, yang terletak di sebuah tempat tidak jauh dari Perempatan Syahid. Ini adalah proses yang bikin frustrasi berat karena birokrasi yang ruwet dan tidak efektif. Untuk perpanjangan visa seperti ini, Lam Li membutuhkan beberapa hari berkunjung ke berbagai kantor (belum lagi diingat, semua kantor yang dikunjungi adalah zona rawan serangan).
Prosedur keamanan pula yang membuat kami tersekap sepanjang hari di rumah yang membosankan. Teman Kandahar kami, sebut saja namanya Kandahari, berkisah tentang keramahtamahan penduduk Kandahar, tentang kebun-kebun anggur yang berwarna-warni memasuki musim panen, tentang damainya kehidupan pedesaan, tentang hijaunya ladang dan lekukan gunung-gunung indah di kejauhan. Dengan wajah Kandahar sekarang, sulit bagiku untuk membayangkannya. ”Coba kalau sekarang keadaan tidak seperti ini, kamu pasti akan kuajak ke desa untuk melihat panen anggur,” kata Kandahari.
Lam Li sudah lumayan lama tinggal di Kandahar namun belum pernah mendapat kesempatan melihat desa-desa sekitar. Mendengar kisah-kisah fantasi ini, ia sangat antusias merayu si Kandahari.
”Ayo! Ayo! Bawa aku ke sana. Aku bisa menyamar. Pakai burqa. Tidak akan ketahuan. Tidak akan ada pengaruhnya buat kamu.”
”Aku bukannya takut, Lam Li. Kalaupun aku harus mati untuk melindungi kamu, aku juga siap. Tetapi membawa kamu ke desa akan membahayakan saudara-saudaraku di sana. Kenyataan bahwa aku kerja untuk organisasi asing sudah sangat membahayakan, sudah cukup menjadikan kami semua sebagai target incaran. Apa lagi kalau membawa orang asing ke desa. Terlalu mencolok. Aku bisa berkorban apa pun untukmu, tapi tentunya aku tidak bisa mengorbankan mereka yang juga kusayangi.”
Lam Li tertunduk. ”Kamu benar. Aku tak punya hak untuk membahayakan orang lain.”
Lam Li dan aku mungkin tidak terlalu memperhitungkan risiko lagi dalam bertualang. Kami sering diingatkan kawan Kandahar kami, bahaya memang tidak terlihat. Kami tahu, bom memang bisa terjadi sewaktu-waktu, di mana saja. Tetapi kami yang tak pernah mengalami sendiri, seolah selalu tak percaya bahwa bahaya itu benar ada. Ketika kami keluar dari tempat kami, melihat kota Kandahar dari balik mobil, tampak biasa saja. Setiap hari ribuan orang pergi ke pasar, ratusan berlalu lalang di jalan raya Kandahar, dan mereka masih terus hidup. Kebandelan kami selalu mengecilkan arti ”nyawa” dan ”bahaya”. Ledakan bom bunuh diri paling banter menewaskan puluhan orang. Penembakan liar di jalan tak pernah membunuh lebih dari lima orang.
Tetapi itulah hebatnya teror. Korban yang jatuh kadang memang tidak banyak, namun kengerian tercipta. Ketakutan tumbuh di dasar hati. Kepasrahan merebak, hidup memang harus dijalani seperti ini. Pasar tetap ramai. Jalan tetap sibuk. Toko tetap buka. Perekonomian Kandahar tampak sama sibuknya dengan di Kabul. Tetapi hati manusia sudah berubah. Ada selaput takut, pasrah, waspada dan curiga, berlapis-lapis membungkus jiwa.
Lam Li benar. Kalau kami berdua mau nekat, mau bunuh diri, silakan saja. Tetapi yang harus kami ingat, kami tak punya hak membahayakan orang lain. Kawan Kandahar ini sudah cukup banyak direpotkan oleh kehadiran kami berdua. Beberapa hari lalu, sehabis berinternet ria, kami menyusuri jalan-jalan Kandahar tanpa memberitahu siapa-siapa. Kapan lagi, pikirku, akhirnya bisa terlepas dari kungkungan Kandahari dan kawan-kawannya yang selalu ketakutan.
Betapa terkejutnya ketika kami pulang, Kandahari sangat marah. Dia mencari kami ke mana-mana. Tak ketemu. Ada dua orang asing diculik, kata siaran berita. Dia hampir menangis, khawatir, mengira kami berdua sudah dibawa Taliban.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Leave a comment