Selimut Debu 103: Danau Mukjizat
Alkisah, keenam danau yang terletak di antara Yakawlang dengan kota Bamiyan tercipta berkat mukjizat Hazrat Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, yang makamnya menjadi ziarah penting di Mazar-e-Sharif. Ia diagungkan umat Syiah Afghanistan sebagai figur mistik dengan segala kekuatan magis yang tiada bandingan, menciptakan berbagai keajaiban di muka bumi.
Konon, Lembah Bamiyan dikuasai Barbar, raja zalim yang suka menyiksa dan membunuh rakyatnya. Hazrat Ali datang untuk memberi pelajaran pada Barbar, menyamar sebagai budak. Barbar memerintahkan budak ini membendung aliran sungai yang mengamuk sekaligus membunuh naga yang senantiasa memangsa penduduk Bamiyan.
Dengan kekuatan sihirnya, dalam sekejap enam bendungan raksasa tiba-tiba berdiri di tengah kepungan gunung cadas. Itulah keenam danau Band-e-Amir yang kini menghidupi seluruh Lembah Bamiyan. Ali pun melayang menuju pegunungan lainnya, menemui naga raksasa yang bersembunyi di Lembah Ajdahar.
Dengan sekali sabet menggunakan pedang sakti bernama Zulfiqar, ibu naga dan anaknya langsung mati, membatu, dan mengeluarkan air mineral yang dipercaya sebagai tangisan mereka. Barbar tercekat dengan kekuatan Ali, langsung memeluk agama Islam, diikuti oleh segenap penduduk Lembah Bamiyan.
Bagi para peziarah Syiah Hazara yang mengunjungi Band-e-Amir, kisah naga, mukjizat danau, dan Hazrat Ali bukan legenda kosong. Seperti halnya di makam suci Ali di Mazar, mereka rela menempuh perjalanan berat dan berbahaya ribuan kilometer ke danau suci ini demi mengharap cipratan mukjizat memecahkan segala permasalahan yang membelenggu hidup. Mereka membawa sanak saudara yang sakit keras atau anak cacat mental untuk memperoleh kesembuhan. Sugesti menggantikan pengobatan medis di negeri di mana dokter dan obat-obatan nyaris tak tersedia.
Di antara keenam danau yang diciptakan oleh Hazrat Ali, yang paling suci adalah Band-e-Haibat, atau ”Bendungan Hebat”. Danau ini seperti bak raksasa. Air biru kelam, mendekati hitam, laksana batu pirus di tengah gersangnya gunung-gunung jingga dan cokelat yang mengelilinginya. Danau terbendung oleh tembok bebatuan yang menjulang dari tanah setinggi lebih dari sepuluh meter, mengelilingi seluruh badan air. ”Tembok” batu ini hampir seragam lebarnya, seperti diciptakan dengan teliti, walaupun tak perlu diragukan kalau danau ini adalah karya alam yang menakjubkan. Kedalaman danau seperti kolam renang, dari tepian dinding batu, melewati sedikit daerah dangkal, kedalaman langsung melonjak drastis sampai ke dasar danau. Tak ada yang tahu berapa dalamnya danau ini. Pastinya dalam sekali, sehingga warna airnya biru gelap menyeramkan.
Dengan karakter fisik yang demikian istimewa, penjelasan ilmiah tak sanggup mengalahkan kepercayaan penduduk terhadap jawaban supranatural—kekuatan sihir Hazrat Ali. Di tepi Danau Haibat dibangun tempat sembahyang sederhana, dengan gundukan suci di dalamnya. Tempat ini dinamai Qadamjoy Aulia—tempat Ali turun dari kuda dan menginjakkan kaki di tanah.
Kaum perempuan menangis tersedu-sedu mengelilingi gundukan yang menjadi tempat ziarah. Mulut mereka komat-kamit membaca doa. Jiwa mereka dipenuhi pengharapan dan iman. Ziarah ini kemudian menanjak pada level yang lebih menyakitkan—menceburkan diri ke danau yang dalam dan dinginnya mematikan.
Ada tempat terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Kaum lelaki melepas bajunya, sedangkan yang perempuan terlepas dari cadarnya. Setiap peziarah diikat pinggangnya dengan tali tambang, kemudian melompat ke dalam danau.
“Ya… ALIIIII!!!!”
Teriakan lantang terdengar mengiring setiap ceburan. Lantang, melukiskan harapan yang luar biasa untuk pertolongan dari mukjizat Sang Hazrat. Tetapi kemudian teriakan penuh iman itu berubah menjadi isak tangis kesakitan karena dingin yang menusuk kulit. Danau begitu dingin. Tak banyak orang yang bisa bertahan berenang lebih dari lima menit di sini. Untuk kebanyakan orang, bahkan sepuluh detik pun sudah merupakan siksaan yang tak akan terlupa seumur hidup, beberapa menit bisa berujung fatal—kematian karena infeksi paru-paru bagi mereka yang tak kuat fisiknya. Apalagi sekarang sudah memasuki Oktober, musim dingin merambah daerah pegunungan ini.
Peziarah yang menangis kemudian dikerek ke tepian menggunakan tali tambang. Begitu sampai di daratan, isak tangis meledak. Tetapi juru kunci tak jatuh iba, mendorong si peziarah dengan kuat untuk kembali mencebur ke danau.
“Tiga kali! Minimal tiga kali! Berteriaklah ‘Ya Ali!’ sekeras-kerasnya! Ia pasti akan menolong. Ya Ali Madad!” kata juru kunci tegas.
”Ya… ALIIIII!!!”
Byurrrrr.
”Ya… ALIIIIII!!!”
Byurrrrrr……
Terdengar tangis. Terdengar sorak sorai para pengantar, ”Afarin! Afarin! Bravo!!!”
Melihat tangisan dan teriakan kesakitan para peziarah itu, aku yang sudah hampir sebulan tak mandi pun jadi hilang nafsu untuk ikut mencebur.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
Bungy jumping air dingin brrrrrrrrr
mau maunya dibodohin kepercayaan syiah.. kurang waras tuh orang2 syiah
asik buat arung jeram…
lebih tepatnya karomah bukan sihir. hhhheeee
Di negara islam sekalipun, mitos tetap bs mengakar dlm kehidupan masyarakat nya.